Tanpa Pengaman

1962 Words
Setelah beberapa kali nyaris membuat janji temu dengan malaikat maut, ketika jantungnya beberapa kali hampir berhenti berdetak karena ketakutan, akhirnya Caroline tak dapat lagi menahan perasaannya. “Ray, pelankan mobilmu. Aku masih ingin hidup dan berumur panjang. Menikah dan punya anaaak!!!” “Tenang saja setidaknya dua setengah dari empat keinginanmu, sudah kukabulkan. Hanya satu yang diluar kuasaku.” Raymond berkata santai, namun dengan nada tak acuh. Matanya tetap memandang lurus ke jalan raya, tangan dan kakinya masih sigap bergerak untuk mengarahkan mobilnya menyalip ke kanan dan kekiri, tanpa ada niatan mengurangi kecepatannya sedikitpun. “Apa maksudmu?! Keinginan yang mana yang sudah kau kabulkan? Kau malah sedang berusaha menggagalkan satu keinginanku! Kau membuat usiaku semakin memendek akibat stres, khawatir akan mati kecelakaan!” Caroline membalas dengan setengah menjerit kesal. “Hmm, bisa saja, tetapi buktinya kau masih tetap hidup dan bernafas dengan baik sampai saat ini. Bahkan paru-parumu juga bekerja dengan baik, sebab kau bisa memaki-maki diriku hanya dengan satu tarikan nafas.” Raymond membalas masih dengan jawaban sesuka hatinya. “Dasar pria brеng…! Sssst….” Caroline kembali berdesis kencang, sambil memejamkan matanya erat-erat dengan wajah meringis ketakutan. Kedua tangannya memegang erat sisi jok kursinya, saat tubuhnya nyaris terpelanting, ketika Raymond menghindari truk besar yang tiba-tiba saja muncul di depan mobilnya. “Tenanglah, tidak perlu ketakutan seperti itu. Bagaimanapun juga, aku sudah mengabulkan beberapa impianmu. Satu, kau masih tetap hidup sampai sekarang. Dua, setidaknya kau sudah merasakan kawin, hanya belum di sah kan jadi pernikahan. Yang terakhir tinggal menunggu satu bulan lagi untuk mengetahui kau hamil atau tidak, jika hamil maka kau akan punya anak, jika belum, aku siap untuk membantumu mengadon anak lagi. Lihat, kurang baik apa aku?” Kali ini Caroline sudah melupakan ketakutannya. Matanya melotot saat mendengar kata-kata Raymond yang seenak jidatnya. Sekuat tenaga Caroline memukul kencang bahu Raymond berkali-kali. “Dasar brеngsek! Apa maksudmu berkata seperti itu! Sudah kukatakan, lupakan saja kejadian semalam, kenapa harus kau ungkit-ungkit lagi!” Caroline membabi buta, kemarahan dan semua rasa frustasi yang terpendam di hatinya selama ini meledak seperti sebuah gunung berapi. Raymond mengerutkan dahinya dalam-dalam, dia sudah mengenal Caroline sejak kecil, dan Raymond sangat tahu, Caroline bukan seorang wanita yang akan marah meledak-ledak hanya karena sedikit candaan. Dengan cepat, Raymond melirik ke sekelilingnya, dan membanting setirnya untuk menepi. Rem mobil mewah itu diinjak dalam-dalam, membuat mobil berwarna merah itu berhenti mendadak. Beruntung Caroline sudah menggunakan sabuk pengamannya, sehingga tubuh mungilnya tidak terlempar ke kaca. “Aaagh…Raymond sіalаn! Kenapa kau berhenti mendadak. Dadаku sakit sekali!” Caroline menarik nafas pendek-pendek, sambil mencoba mengendurkan sabuk pengaman yang menekan dadanya sehingga terasa sangat sesak. Melihat kondisi Caroline yang kesakitan bercampur shock, Raymond meraih sebotol air mineral yang selalu tersedia di mobilnya dan membuka tutupnya, lalu menyodorkan ke depan wajah Caroline. “Minum. Kau sedang shock.” Masih dengan wajah meringis dan tangan gemetar, Caroline meraih botol yang disodorkan Raymond dan meminumnya perlahan. “Sekarang, bisa kita bicara?” Raymond membalik tubuhnya menatap Caroline dengan seksama. Wajah tampannya sudah tidak lagi terlihat marah, tetapi sangat serius. Caroline menarik nafas panjang beberapa kali, meski masih tidak ingin melihat ke arah Raymond, Caroline menganggukkan kepalanya perlahan. Terlihat sekali dirinya menyetujui dengan sangat terpaksa. “Bagaimana tubuhmu? Apakah baik-baik saja? Apakah masih sakit?” Raymond kali ini bertanya dengan nada lembut. Sesaat Caroline terpana dengan pertanyaan itu. Tak pernah dikiranya, Raymond akan menanyakan pertanyaan itu sebagai pembuka. Masih tak berani melihat Raymond, Caroline menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil menatap jari-jemarinya yang tiba-tiba saja terasa sangat menarik. “Aku baik-baik saja. Tadi sudah sempat berendam di air panas dengan sabun aroma terapi. Jadi sudah tidak terlalu sakit.” “Ok. Baguslah. Aku tahu, semalam adalah pengalaman pertamamu. Apapun alasanmu melakukan itu, aku tetap ingin mengatakan maaf dan terima kasih. Maaf, karena aku tidak mampu menahan diriku sendiri hingga aku merusakmu. Terima kasih, karena kau telah memberikan mahkotamu kepadaku, meski secara tidak sadar dan sukarela.” Raymond mengusap lembut kepala Caroline yang masih betah menunduk. Mendengar kata-kata Raymond, ingatan Caroline kembali lagi ke aktivitas panas mereka semalam. Meskipun aku tidak pernah mengharapkan kejadian itu terjadi, tetapi jika harus berkata jujur, pengalaman pertamaku dengan Raymond tidaklah buruk. Bahkan, aku sebenarnya cukup menikmatinya. Selama ini aku hanya tahu secara teori dan melihat ataupun memegang benda tumpul itu karena harus memeriksa pasien. Aku tidak menyangka kejаntanan seorang pria bisa terasa begitu penuh di dalam vag…azzz…Caroline gilaaa!!! Wajah Caroline mulai memanas. Menyadari, otaknya sudah mulai berpikir tidak waras, Caroline cepat-cepat menepis pikiran gilanya, dan kembali memfokuskan dirinya pada Raymond. “Ray…A-apakah kita bisa…melupakan semua yang sudah terjadi semalam?” Caroline bertanya lirih dan terdengar ragu-ragu. “Tidak bisa, Carol. Kita tidak bisa melupakan begitu saja. Setidaknya, tidak dalam satu bulan ini.” Raymond mengusap wajahnya yang terlihat lelah. “Kenapa?” Caroline mengerutkan keningnya kebingungan. “Semalam adalah pengalaman pertamamu, dan aku tidak menggunakan pengaman, Carol.” Lirikan maut Raymond terlihat setengah tidak percaya dengan pertanyaan Caroline dan setengah marah. “Pengam…? Ooh…OOH….” Bibir Caroline membulat sempurna saat dia menyadari apa yang dikatakan oleh Raymond. “ASTAGA…RAYMOND! Bisa-bisanya kau lupa tidak menggunakan pengaman! Dasar playboy gagal cap Buaya Ompong! Kuda Jingkrak! Badak Cula Satu!....Mmph…” Jeritan kekesalan Caroline terbungkam oleh bibir tebal Raymond. Matanya melotot hingga nyaris melompat keluar. Jantungnya berdebar sangat kencang. Seluruh wajahnya memerah hingga ke leher dan telinga. “Bernafas, Carol…” Raymond berbisik parau di telinga Caroline setelah melepaskan bibir merah mudanya. Caroline langsung menghembuskan dengan cepat oksigen, yang tanpa disadarinya, telah tertahan di paru-parunya sejak tadi. Nafasnya terengah-engah. Paru-parunya menuntut pasokan oksigen yang cukup. Gunung kembar Caroline yang cukup besar, naik turun dengan cepat seiring dengan nafasnya, tiba-tiba saja menarik perhatian Raymond. “Jaga matamu!” Caroline menampar lengan Raymond dengan keras. “Besar.” “Kucolok matamu, jika kau masih terus menatapnya.” Dengan wajah yang masih sematang apel merah, Caroline membelalakkan matanya dengan tatapan menantang, dengan dua jari telunjuk dan jari tengah yang terjulur, siap mencolok mata Raymond. “Ok. Ok. Jangan mengamuk lagi. Jika kau terus mengamuk dan aku terus menciummu, bukannya kita menyelesaikan masalah kita, tapi aku yakin kau akan kembali telаnjang di kursi belakang dengan aku berada didalammu.” PLAK! Tangan Caroline memukul keras bibir Raymond. Wajahnya cemberut dengan bibir yang sudah maju lebih dari 5 senti. “Aku tidak hamil.” Caroline berniat menyelesaikan masalah ini lebih cepat. Kepalanya mulai terasa nyeri karena terus menerus marah-marah. Caroline yakin saat ini tekanan darahnya pasti sudah melonjak sangat tinggi. “Bagaimana kau bisa begitu yakin? Apakah kau langsung meminum obat pencegah kehamilan, setelah berpisah dariku?” Caroline mengerutkan dahinya dan menatap Raymond dengan sorot mata kebingungan. Kenapa dia terdengar kecewa? Apakah dia ingin aku hamil anaknya? Apa aku mau hamil anaknya? Aargh…Caroline jangan berpikir yang tidak-tidak…ayo otak, sadar! “A-aku tidak tahu, ha-hanya saja ini bukan masa suburku…da-dan aku memang belum meminum pil pencegah kehamilan, tetapi masih sempat jika aku meminumnya sekarang.” Caroline berkata dengan gugup, sambil mengalihkan pandangannya dari Raymond. Sebisa mungkin dia tidak ingin menatap Raymond. “Y-ya, seharusnya ka-kau mi-minum pil itu se-segera…” Meski mulut Raymond menyetujui perkataan Caroline, tetapi di hatinya yang terdalam, mendadak timbul satu perasaan tak rela, jika ada kemungkinan calon benihnya yang dia tanam di rahim Caroline semalam harus dimatikan. “Ya. Apakah pembicaraan kita sudah selesai? Bisakah kau mengantarku pulang? Kita bisa mampir sebentar di salah satu apotik yang searah.” Caroline menghembuskan nafasnya pelan. Carol bodoh. Kau seorang dokter, bagaimana bisa kau melupakan tentang pil pencegah kehamilan? Bagaimana bisa, tak sedikitpun tentang kemungkinan hamil terlintas di kepalamu? Pantas saja kak Sierra selalu khawatir padaku, ternyata aku memang bodoh. Andai tidak ada Raymond di dalam mobil, Caroline ingin sekali menarik-narik rambutnya sendiri, saat teringat dengan kebodohannya yang sudah dilakukan berkali-kali. “Ya, pembicaraan kita tentang kehamilan sudah selesai untuk saat ini. Aku akan mengantarmu pulang.” Raymond mengangguk dan kembali mengarahkan pandangannya ke jalan raya. Tak lama Lamborghini Urus berwarna merah kembali membelah jalan raya. Namun, kali ini mobil mewah itu berlari dengan kecepatan normal. Sesaat, perjalanan Raymond dan Caroline hanya diisi dengan keheningan. Caroline terus memandang keluar jendela. Seperti ada pemandangan yang begitu menarik sehingga pandangannya terus terarah kesana. “Carol…” “Hmm…” “Ada apa denganmu? Aku tahu kau bukan wanita yang menyukai hubungan bebas, apalagi bersikap liar seperti semalam. Apa yang terjadi padamu? Kenapa semua itu bisa terjadi?” Raymond bertanya pelan dengan nada berhati-hati. Raymond tak ingin Caroline kembali mengamuk. “Semalam…huff” Caroline menghembuskan nafas sangat panjang sebelum memulai ceritanya. “…semalam aku memang mabuk, tetapi aku masih cukup sadar untuk mengetahui mana yang benar dan salah, tapi, sepertinya ada seseorang yang berusaha menjebakku dengan memberikan obat perangsang ke dalam minumanku.” “Seseorang menjebakmu di klub malam milikku?” Suara bariton Raymond terdengar sedikit meninggi. “Klub malammu?” Kali ini Caroline menatap Raymond dengan kedua alis terangkat tinggi. “Ya, aku baru saja membeli klub itu seminggu yang lalu. Bagaimana bisa orang itu menjebakmu? Apakah kau mengenal pelakunya?” Raymond menuntut jawaban dari Caroline dengan sesekali menatap ke arah wanita disebelahnya. “A-aku tidak tahu pasti. Hanya samar-samar yang kuingat.” Caroline menggosok-gosok dahinya yang kembali terasa nyeri. “Saat itu ada seorang pria yang berusaha mengajakku pergi. Aku menamparnya karena dia bersikap kurang ajar padaku. Setelah dia pergi, tak lama datang seorang pelayan membawakanku minuman. Meski seingatku, aku tidak pernah memesan minuman itu, tetapi karena tujuanku memang ingin mabuk di klubmu, aku tak menaruh curiga dan langsung menghabiskan minuman itu. Tak kuduga minuman itu ternyata sudah di campur…” Caroline menyelesaikan ceritanya. Raymond tak berkata apapun. Hanya saja, Caroline bisa melihat kegeraman menghiasi wajah tampan Raymond. Sorot matanya terlihat dingin dan memendam kekesalan. Lalu, Raymond meraih ponselnya dan menekan satu angka. “Tim, cek seluruh CCTV di klub malam tempatku menginap semalam. Cari sampai dapat, pelayan dan pria yang menjebak Caroline.” Raymond langsung menembakkan perintahnya, begitu mendengar kata “halo…” dari seberang sambungan, dan langsung menutup tanpa menunggu balasan dari Timmy. “Untuk apa kau mencari mereka?” Caroline bertanya keheranan. “Membalas perbuatan mereka padamu.” Raymond menjawab singkat. “Jangan terlalu berlebihan.” Peringatan Caroline dijawab hanya dengan anggukan cepat oleh Raymond. Caroline bukanlah baru sehari atau dua hari mengenal Raymond. Sedikit banyak, Caroline tahu bagaimana cara sang ,ketua mafia membalas kepada orang-orang yang membuatnya marah. Caroline sendiri bukan seorang wanita pemaaf, meski sedikit tidak tega, tetapi dia juga ingin agar kedua orang, yang membuatnya terpaksa kehilangan mahkota yang dijaganya seumur hidupnya, mendapatkan hukuman. “Tenang saja, orang-orang yang berniat menjebakmu itu akan mendapatkan hukuman yang setimpal. Sekarang, lanjutkan ceritamu. Kenapa kau berada di klub untuk mabuk? Kau sedang memiliki masalah besar?” Kali ini, Raymond bertanya tepat pada inti permasalahannya. Dengan kedua tangan yang saling meremas, Caroline merasa ragu untuk bercerita pada Raymond tentang Franklin. Bagaimanapun juga, Caroline tahu hubungan kedua pria itu. Raymond dan Franklin adalah sahabat akrab. Keduanya sudah mengenal cukup lama. Mereka bahkan sudah saling mengangkat saudara, bagi Raymond, yang selama ini tumbuh besar sendirian di keluarganya, Franklin sudah seperti kakak kandungnya sendiri. Caroline tidak dapat mengira-ngira, apakah Raymond akan percaya dengan kata-katanya. Kalaupun dia percaya, Caroline tidak bisa membayangkan berapa besar sakit hati yang akan dirasakan Raymond. “A-aku…I-tu…” “Carol, cek sabuk pengamanmu. Pastikan sudah terpasang dengan benar. Setelah itu pegangan dengan erat.” Belum sempat Caroline memutuskan akan bercerita atau tidak, tiba-tiba suara Raymond kembali terdengar dengan nada tegang dan penuh amarah. Dengan cepat Caroline menatap ke arah Raymond yang berkali-kali melirik ke belakang melalui kaca spion. Dari gelagat Raymond, Caroline sudah bisa menebak apa yang terjadi. Caroline ikut menatap dari kaca spion di sisi bagiannya. Di belakang mobil Raymond, terlihat beberapa mobil berwarna hitam yang berusaha mengejar mereka. Meski gugup, Caroline langsung mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Raymond. “Aku sudah siap.” “Baik. Pegangan yang erat. Mari kita meluncur.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD