Percaya Padaku

1445 Words
Bagaikan ular yang ada di permainan ponsel jadul, Raymond membawa Lamborghini Urus nya meliuk-liuk di sepanjang jalan. Melewati satu per satu kendaraan yang lalu lalang di sekitarnya, satu mobil merah melesat cepat, terlihat berusaha menghindari dari kejaran lima mobil berwarna hitam dibelakangnya. “Carol. Bisa tolong ambilkan earpod milikku di dalam kompartemen di depanmu? Aku harus menghubungi Timmy.” “KAU AMBIL SAJA SENDIRI!!! RAYMOND MOBIIIIL!!! AWAAAS!! RAYMOND LIHAT KEDEPAAN!!” Caroline yang sudah sangat panik dan ketakutan mencengkeram erat jok kursi yang sedang didudukinya sambil terus meneriaki Raymond. “Ck. Tidak perlu berteriak-teriak, Carol, Sayang. Aku belum tuli dan aku sangat mendengarmu, Sayang.” Raymond berdecak dan terkekeh keras melihat Caroline yang begitu ketakutan hingga nyaris memucat. Caroline tertegun sejenak saat mendengar perkataan Raymond. “Kau panggil aku apa?” Mendadak, perhatian Caroline tak lagi terpusat pada keadaan jalan raya, melainkan pada satu kata yang terlontar dari bibir Raymond yang sedang tersenyum lebar. “Hahaha! Kenapa kau lebih panik saat kupanggil sayang daripada saat kuajak kebut-kebutan?” Raymond tertawa keras melihat respon Caroline. “A-aku… Ti-tidak… Tadi kau minta apa? Earpod ya?” Caroline cepat-cepat memalingkan wajahnya yang mulai merah dan memanas lagi, kemudian segera membuka kompartemen yang berada di depannya dan mengambil sebuah kotak berwarna hitam, membukanya dan menyerahkan isinya kepada Raymond. Senyum lebar menghiasi wajah tampan Raymond, ketika melihat wajah Caroline sudah tidak lagi pucat dan panik ketakutan. Saat ini dia tidak bisa menggoda Caroline dengan memeluknya ataupun melakukan yang lain karena kedua tangannya sedang sibuk. Jadi, cara satu-satunya adalah mengalihkan perhatian Caroline dengan kata-kata dan rencana Raymond berhasil. Meraih sepasang benda hitam yang disodorkan oleh Caroline, Raymond memasang keduanya di telinganya. Tangannya yang masih di kemudi menekan salah satu tombol dari sekian banyak tombol yang ada. “Ya, aku sudah tahu. Mereka sedang mengejarku sekarang. Aku sedang mengarah ke jalan bebas hambatan menuju kota B. Aku yakin mereka akan menyelesaikannya tepat di jembatan panjang yang berada di tengah jurang itu. Mereka akan membuatnya seperti kecelakan.” “…..Hmm, baik. Aku mengerti.” “....Tidak. Tidak disana. Buat di kilometer 152, kau tahu…tempat favoritku...” Raymond terkekeh kecil saat mendengar tanggapan dari orang yang sedang berbicara di seberang sambungannya. “Pastikan saja semua berjalan sesuai rencanaku. Oh ya, katakan juga pada Gina untuk menyiapkan makan siang untukku. Aku akan membawa seseorang ke villa nanti.” “...Ya, ya, ya. Kau cerewet sekali, Tim. Daaaah. Tut…” Tak menunggu lawan bicaranya selesai berbicara, lagi-lagi Raymond langsung memutuskan pembicaraan mereka. Meski samar, Caroline masih dapat mendengar lawan bicara Raymond yang berteriak-teriak frustasi. “Ray, kita akan kemana? Siapa mereka?” Caroline sedikit terkejut saat melihat Raymond mengarahkan mobilnya menuju jalan bebas hambatan yang mengarah ke luar kota. “Kita akan pergi ke Villaku di kota B. Aku sudah meminta Gina untuk menyiapkan makan siang untuk kita.” Raymond menjawab dengan santai. “La-lalu, sss…si-siapa me-mereka…sssst…?” Sesekali Caroline masih mendesis ketakutan saat Raymond menyalip kendaraan lain dengan cepat dan terlalu dekat. “Hanya beberapa cecunguk mantan anggota Sky Dragon yang tidak senang dengan aturan yang baru kubuat dan mencoba melawanku.” “Mereka ingin membunuhmu?!” Caroline membuat pernyataan bukan pertanyaan. “Ya. Mereka adalah mafia sejati, Carol. Cara apalagi yang para mafia tahu untuk menyelesaikan masalah selain pertumpahan darah? Sayangnya mereka memilih lawan yang salah.” Raymond melirik sekilas ke kaca spion di sisinya. Melihat kelima mobil hitam yang masih berusaha mengejar mobilnya dengan susah payah. “Ck, dasar amatir.” Raymond kembali berdecih kesal, dan kembali menekan pedal gas mobilnya dalam-dalam dan membuat banteng merah kembali menyeruduk dengan cepat. Semakin menjauh dari ibukota, jalanan semakin lengang, hingga akhirnya hanya tersisa mobil Raymond dan kelima mobil yang terus membuntutinya sedari tadi. “Aneh, padahal jalanan sudah kosong, tetapi kenapa mobil-mobil itu tidak mencoba mendahului dan menghentikan mobil kita? Apakah mobil mereka tidak mampu mengejar mobil ini?” Caroline bergumam sendiri, tetapi suaranya cukup kencang untuk di dengar Raymond. Raymond kembali melirik ke belakang dengan dahi berkerut dalam. Merasakan ada yang salah seperti apa kata Caroline, Raymond kembali menjejakkan pedal gasnya dalam-dalam. Dia sudah bosan dengan permainan kejar-kejaran ini dan ingin menyelesaikannya segera. Mereka sudah melewati tanda jalan yang menunjukkan kilometer 150. Hanya tersisa 2 kilometer lagi dari tempat yang tadi di sebut-sebut Raymond. 1 kilometer pertama mereka melewati jalanan yang menanjak tinggi, dan begitu sampai di puncak, akan tersisa 1 kilometer lagi jalanan menurun tajam yang berakhir di jembatan sepanjang 1 kilometer dengan jurang di sisi kiri dan kanannya. Setelah memasuki area jembatan itu, Raymond tidak akan lagi memiliki jalan keluar dari apapun yang terjadi. Dia harus bertahan sepanjang 1 kilometer sebelum memiliki celah untuk melarikan diri. Raymond harus secepatnya melewati jembatan itu, sebelum musuhnya memojokkannya disana. Tanpa mengurangi kecepatannya sedikitpun, mobil Lamborghini Urus Raymond terus melesat dengan cepat mendaki jalan menanjak hingga mencapai puncak tertinggi. Jalan di hadapan mereka terlihat sampai berkilo-kilo jauhnya. “Ray?…Ray? Apa mataku salah melihat? Kita akan mati! RAY KITA AKAN MATI!” Caroline menjerit histeris, ketakutan kembali merasuki hatinya. Air mata mengalir deras dari matanya tak terbendung. “Tidak, Carol, sayang. Kita tidak akan mati!” Raymond berusaha menenangkan Caroline yang mengalami serangan panik. “KITA AKAN MATI, RAY! AKU BELUM MAU MATI, RAY!” Caroline kembali menjerit ketakutan sekuat-kuatnya di tengah isak tangis. “CAROLINE NELSON! DENGARKAN AKU!” Raymond membentak Caroline dengan suara menggelegar dan tegas. Membuat wanita yang duduk disebelahnya ini langsung diam tergugu. Air matanya sontak berhenti. Seumur hidup Caroline mengenal Raymond, pria yang usianya lebih tua darinya itu tidak pernah sekalipun membentaknya ataupun berbicara keras padanya. Selama ini Raymond lebih banyak memanjakannya seperti seorang kakak kepada adiknya. “Carol, Carol, jangan panik. Kau percaya padaku, kan?” Merasa Caroline sudah lebih tenang, Raymond kembali melembutkan suaranya, meski wajahnya masih terlihat sangat serius. Caroline beberapa kali menarik dan menghembuskan nafas, mencoba mengatasi kepanikan yang terus menyerang. “Y-ya.” Caroline menjawab dengan mata masih menatap nanar ke arah dua buah truk besar yang berjalan dengan cepat menuju ke arah mereka, dan membalas Raymond dengan ragu-ragu. “Carol, lihat aku! Kau percaya padaku, kan? Kau ingat janjiku saat kau terluka dulu?” Nada suara Raymond kembali terdengar tegas dan semakin meninggi, sebisa mungkin Raymond berusaha menarik perhatian Caroline. “Y-ya. Ya aku ingat.” Caroline menata sisi wajah Raymond. Suara Carline masih bergetar, tetapi dia sudah tidak lagi dikuasai panik. “Percayalah padaku, ok. Percaya padaku seperti saat itu kau mempercayaiku. Aku janji semua akan baik-baik saja. Kau percaya padaku, kan?” Raymond kembali mengulang kata-kata itu seperti sebuah mantra. “Ya, Ray. Aku percaya padamu.” Kali ini Caroline membalas dengan suara lebih kuat dan tegas, sambil menghapus air matanya. “Bagus. Semua akan baik-baik saja. Aku tidak pernah berbohong padamu. Aku selalu menepati janjiku. Sekarang, berpegangan yang erat dan tutup matamu. Perjalanan kita akan bergejolak.” Raymond masih tetap mempertahankan suara lembutnya, walaupun sorot matanya terlihat semakin dingin saat jarak kedua truk besar yang melaju kencang ke arah mobilnya hanya tersisa beberapa ratus meter lagi. Kali ini, Caroline sudah bisa menguasai diri, meski dia masih tidak yakin mereka akan selamat, tetapi setidaknya Caroline tidak ingin mengganggu konsentrasi Raymond dan membuat rencana pria itu berantakan. Sekarang, Caroline hanya bisa memasrahkan semuanya pada Raymond. Dengan cepat Caroline memejamkan matanya erat-erat, meski sesaat sebelum semuanya gelap, Caroline masih bisa melihat dua truk besar yang terus berjalan cepat menuju ke arah mereka. Kedua tangannya menggenggam erat kedua sisi kursi yang didudukinya. Raymond melirik sekilas ke arah Caroline. Sudut bibirnya sedikit terangkat saat melihat Caroline yang sudah menuruti perkataannya dan tidak lagi terlihat pucat. Raymond mengembalikan pandangannya lurus kedepan. Kedua tangannya memegang kemudi dengan erat. Kegeraman dan kemarahan terlihat jelas di sorot matanya saat menatap dua truk besar yang sudah berada di ujung jembatan siap melewati jembatan itu. Mata Raymond dengan cepat melirik ke kaca spion dan melihat kelima mobil yang tadinya menjaga jarak dibelakangnya, sekarang menambah laju mereka dan mengejar mobilnya dengan cepat. Wow! Mereka benar-benar berniat membuatku jadi bubur hari ini. Sayangnya mereka memilih waktu yang tidak tepat. Kalau tidak ada Carol, aku akan meladeni permainan mereka, tapi sekarang aku harus mematikan gadis bodoh ini baik-baik saja. “Baiklah, teman-teman, maaf, permainan harus kita akhiri sekarang.” Raymond menyeringai sambil menekan pedal gasnya semakin dalam. Jarum di meter kecepatan terlihat bergerak ke kanan semakin cepat nyaris menyentuh tanda batas. Mobil merah Raymond berlari semakin cepat dikejar oleh lima mobil hitam yang memastikan Raymond tidak dapat melarikan diri kemanapun. Meter demi meter dilalui, hanya dalam hitungan detik, mobil Raymond akan berhadapan dengan dua truk tronton yang juga melaju ke arahnya dengan cepat dan lima mobil SUV yang akan menghajarnya dari belakang. 5… 4… 3… 2… 1… CKIIIIT! VROOM! “AAAAA! RAYMOOOOND!” BRAK! BRAK! PRANG! DUAAAAR!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD