Menghadapi kenyataan kalau dirinya ditinggal saat sedang cinta-cintanya, Caroline tidak dapat lagi menahan kesedihannya. Rasa sedih yang menggerogoti hatinya inilah, yang membuat Caroline memutuskan untuk pergi ke salah satu klub malam yang disarankan oleh temannya dan minum sepuasnya untuk melupakan sejenak semua masalah yang menimpanya.
“Nona, Anda sudah mabuk. Jangan minum lagi.” Bartender tampan yang berada di belakang meja bar tempat Caroline duduk, menatap Caroline dengan tatapan kasihan.
Sejak kedatangannya dan duduk di hadapannya, wajah cantik gadis itu terlihat begitu murung. Matanya terus berkaca-kaca, suaranya terdengar serak dan setiap kata-kata yang keluar dari bibirnya, terdengar sarat dengan kesedihan dan rasa lelah.
Sudah lebih dari 5 gelas minuman cocktail dengan warna-warna indah yang dipesan oleh Caroline. Kepalanya terasa pening karena mabuk, tetapi tidak membuat Caroline mengendurkan niatnya untuk semakin mabuk.
“Tidak…aku tidak maaaabuuuuuk. Berikan aku minuman lagi. Aku masssih belum bisa melupakan pria brеngsеk itu! Berarti aku belum maaabuuuk….” Caroline meracau. Wajahnya sudah memerah seperti udang rebus.
“Halo, gadis manis. Kenapa minum sendirian. Apa kau mau kutemani?” Tiba-tiba seorang pria berwajah lumayan tampan mendekati tempat Caroline duduk dan langsung mengangkat tangannya dan mengusap punggung Caroline, perlahan tangan itu bergerak turun dan meremas bоkong Caroline.
PLAK
“Dasar pria brеngsek! Kau sama saja dengan dia! Jangan sentuh aku!” Meski mabuk, tetapi Caroline sadar kalau dia tidak mengenal pria yang tiba-tiba mendekatinya. Caroline juga tidak terima dirinya dilecehkan seperti itu, tangannya spontan terangkat dan menampar wajah pria yang mencoba menggodanya dengan sekuat tenaga.
“Siаl! Awas kau, jаlang!” Pria itu lalu bergerak menjauh dari Caroline, namun bukan berarti pria itu menyerah begitu saja. “Dasar pelаcur sombong. Lihat saja, jangan sebut namaku Geovanni kalau aku tidak bisa mendapatkanmu di ranjangku malam ini!”
Pria bernama Geovanni itu kemudian meraih tangan seorang pelayan yang lewat di dekatnya. “Hei, kau. Kuberikan 500 ribu untukmu, belikan minuman untuk nona dengan rambut sebahu yang duduk di dekat bartender dan masukkan bubuk ini ke dalam minumannya. Bisa?”
“Baik.” Dengan wajah acuh tak peduli, pelayan itu mengambil bungkusan bubuk berwarna putih dan uang yang disodorkan oleh Geovanni. Bagi pelayan itu, permintaan yang dilakukan Geovanni sudah menjadi makanan sehari-hari di tempat ini.
Biasanya wanita yang menjadi korban, meski di awal mengatakan kalau mereka dipaksa, tetapi pada akhirnya, wanita-wanita itu juga menyukai permainan seperti ini. Apalagi jika ternyata pelakunya adalah seorang pria kaya raya.
Wanita-wanita itu bahkan dengan sukarela akan membuka kedua kaki mereka lebar-lebar. Sehingga, selama ini, tidak pernah terjadi masalah bagi pelayan itu untuk membantu pria-prіa hіdung bеlаng macam Geovanni.
Dengan sikap normal, pelayan itu menghampiri bartender dan memesan minuman, lalu dia menuangkan bubuk putih yang diberikan oleh Giovanni ke dalam minuman yang dipesannya, dan meletakkan minuman itu di depan Caroline.
“Pesanan Anda, Nona.”
Caroline yang memang sudah mabuk, tidak ingat apakah dirinya memesan atau tidak minuman itu, karena warna minumannya yang juga menarik, Caroline tidak mau ambil pusing dan langsung menenggak minuman itu hingga nyaris tak bersisa.
Dari jauh, Geovanni yang terus memantau Caroline, melihat kalau gadis itu mulai terlihat lemas, langsung saja menghampiri pelayan yang sama. “Tambahan 200 ribu, bawa gadis itu ke atas. Nomor kamarku 336.” Geovanni menyelipkan dua lembar uang ratusan ribu dan juga sebuah kartu kunci kamar.
Pelayan itu mengangguk mengerti, dan Geovanni berlalu kembali ke kamarnya dengan senyum sumringah menghiasi wajahnya
“Ugh…kepalaku pusing sekali, dan kenapa tubuhku terasa sangat gerah, ya…” Caroline mulai berdiri, sambil mengipasi tubuhnya dan terhuyung-huyung melangkah keluar dari kursinya.
“Hati-hati, Nona.” Seorang pelayan langsung menyambar tubuh Caroline yang nyaris terjatuh.
“Ugh…” Tangan sang pelayan yang tak sengaja menyentuh kulit lengan Caroline, langsung menghasilkan desahan menggoda.
Sang pelayan terpaksa menelan air liurnya sendiri saat merasakan wanita yang berada di dalam pelukannya mulai menggesek-gesekkan tubuh sintalnya ke tubuh sang pelayan.
Astaga, aku harus segera membawa wanita ini ke kamar yang dikatakan pria itu, jika tidak bisa-bisa aku sendiri yang menggarapnya…Siаl! Habis ini aku sepertinya akan butuh mandi air dingin…
Tak ingin berlama-lama, pelayan yang sudah dibayar Geovanni itu, segera membawa Caroline ke lantai atas klub malam itu yang merupakan bangunan hotel. Dengan tertatih-tatih sang pelayan membawa Caroline menuju kamar yang sudah ditentukan oleh Geovanni.
Begitu sampai di depan kamar yang dituju, pelayan itu berniat mengetuk, tetapi baru tangannya menyentuh ringan pintu yang memiliki nomor 336, pintu itu terbuka dengan sendirinya. Pelayan itu mengira Geovanni sengaja tidak menguncinya untuk memudahkannya.
Dengan sedikit kesulitan, sang pelayan setengah menyeret Caroline, yang sudah nyaris memeluk tubuh kurusnya seperti seekor monyet sedang memeluk batang pohon pepaya, memasuki kamar dengan penerangan minim itu.
Tangan Caroline mengalungi leher sang pelayan, sambil salah satu kakinya berusaha melingkari kaki panjang sang pelayan. Beberapa kali Caroline terlihat sedang melompat-lompat berusaha mengaitkan kakinya di tubuh sang pelayan.
Meski selalu berhasil dihalau oleh pelayan itu, tetapi gerakan-gerakan Caroline membuat payudаra montoknya beberapa kali membentur lengan atau dаda kurus sang pelayan, membuat pria ceking itu merasakan keringat dingin mulai mengalir di punggungnya.
Begitu masuk ke dalam kamar, hanya lampu tidur yang berada di sisi tempat tidur yang menyala redup. Meski samar, sang pelayan masih bisa melihat bayangan besar seseorang yang sedang tergeletak di atas kasur.
Tidak ingin tersiksa lebih lama lagi, pelayan itu segera melepas paksa pegangannya Caroline di tubuhnya dan bergegas keluar.
“Aaah….jangan pergi…jangan tinggalkan aku… kembali…” Caroline mengerang kesal saat merasakan sumber yang membuat tubuhnya sedikit nyaman mendadak menghilang.
Pelayan kurus itu setengah berlari keluar dari kamar, dan tak lupa menarik gagang pintu untuk menutup pintu.
Ck! Aku benar-benar harus mandi air dingin…
Tanpa menunggu pintu itu tertutup sempurna, sang pelayan segera berjalan kembali ke lantai dasar sambil menatap nelangsa ke arah juniornya yang mulai menggembung dan menonjol di balik celananya.
“Siapa kau..”
Sesaat sebelum pintu tertutup, samar sang pelayan masih dapat mendengar suara pria yang bertanya kebingungan di dalam kamar, namun tak lagi terdengar setelah suara pintu yang tertutup dan terkunci secara otomatis terdengar.
Tling…
Sebuah denting suara yang tak biasa membuat sang pelayan sempat menengok ke arah kamar tempatnya meninggalkan Caroline untuk sesaat.
Sepertinya tadi ada suara pria yang menanyakan siapa wanita itu? Bagaimana dia tidak mengenali wanita yang diincarnya? Apakah dia bukan pria itu? Apa aku salah masuk kamar? Tetapi, tadi nomornya benar-benar 336, dan aku tidak salah lihat. Ah, sudahlah, yang penting tugasku sudah selesai, aku juga sudah dibayar. Sekarang yang kuperlukan adalah kehangatan Marsha. Aah…juniorku semakin membesar…siаl!
Merasa tak ada yang salah dan juga setengah tidak peduli, pelayan itu hanya mengangkat bahu dan melanjutkan langkahnya.
Tanpa diketahui olehnya, begitu pintu kamar yang ditinggalkannya itu tertutup, angka 6 di nomor kamar yang sepertinya sudah copot sebelumnya dan ditempel kembali secara sembarangan, terjatuh begitu saja, dan tak lama setelah pelayan itu pergi, beberapa pintu dari kamar tempat sang pelayan memasukkan Caroline, Geovanni terlihat keluar dengan wajah kesal karena menunggu terlalu lama.