Kerisauan Raymond

1202 Words
Hampir satu jam lebih Caroline berendam di air hangat yang mulai mendingin. Merasakan otot-otot tubuhnya sudah lebih bersahabat, Caroline bergegas keluar dari bathtub dan membilas seluruh tubuh, menghilangkan sisa-sisa busa sabun. Meski cara berjalannya masih sedikit aneh, Caroline meneruskan langkahnya menuju kamar pakaiannya. Beruntung, butik langganannya dapat mengirimkan pakaian dengan cepat, hanya dalam beberapa jam setelah kejadian rumahnya terbakar, seluruh koleksi pakaiannya, dari baju santai, baju kerja, baju tidur, pakaian dalam, sepatu, tas yang sesuai dengan selera Caroline sudah mengisi kamar pakaian di paviliun tempat tinggalnya sekarang. Caroline meraih selembar kemeja berkerah bundar dan berwarna biru pastel, dipadukan dengan celana panjang berwarna putih dan blazer hitam serta sepatu berhak 10 senti, membuat penampilannya terlihat formal tetapi tetap menggemaskan. Dengan riasan tipis di wajahnya, Caroline segera meraih tasnya. Meski tubuhnya masih terasa lelah dan sedikit lemas, tetapi Caroline memilih tetap berangkat kerja. Hanya diam dirumah akan membuat pikirannya terus mengingat kejadian semalam, yang sebisa mungkin tidak ingin dihadapinya dalam waktu dekat. “RS Saint Mirrae, ya paman.” Caroline memberikan tujuannya kepada supir yang mengantarnya pagi ini. “Baik, Nona.” Begitu mobil yang ditumpanginya bergerak, Caroline meraih ponselnya dan mendapati benda itu mati. Caroline segera meraih kabel pengisi daya yang tersedia di mobilnya dan mengisi daya ponselnya yang habis total. Baru saja ponselnya bisa kembali dinyalakan, puluhan pesan dan notifikasi ratusan panggilan tak terjawab langsung menyerbu ponsel Caroline. Semuanya datang dari satu nomor yang sama. Nomor yang pemiliknya, kalau bisa, ingin Caroline hindari seumur hidupnya. Caroline meletakkan kembali ponselnya, tetapi detik berikutnya, ponsel itu kembali bergetar dengan nomor dan nama yang sama yang membanjiri sejak tadi kembali muncul di layar ponselnya. Pria Menyebalkan menelpon…. Caroline menatap layar ponselnya dengan pandangan tak acuh. Caroline masih belum ingin berbicara dengan playboy cap kaki kuda itu. Jadi, Caroline memutuskan untuk mematikan nada dering ponselnya, menutup mata dan beristirahat selama perjalanan. Tak lama, ponselnya berhenti bergetar, Caroline pikir, sang penelpon sudah menyerah, tetapi berikutnya sebuah pesan masuk ke dalam aplikasi pesan berwarna hijau yang membuat Caroline murka. Pria Menyebalkan Angkat teleponnya, atau aku akan mengatakan tentang kejadian semalam pada Sierra. Aku yakin begitu kakakmu tahu, besok kita akan menikah. Detik berikutnya, ponsel Caroline kembali bergetar dengan nama yang sama tampil di layarnya. Kali ini meski enggan, Caroline terpaksa mengangkatnya. “Aku tidak ingin membicarakannya. Lupakan saja. Anggap saja semalam aku sedang siаl. Tidak perlu dibahas.” “Carol…” Belum sempat pria itu mengatakan apapun, Caroline sudah menutup sambungan ponselnya dan mematikan ponselnya kembali. Kepala Caroline sudah cukup pusing dan tubuhnya lelah. Dia benar-benar hanya ingin melupakan semuanya yang telah terjadi. Supir Caroline melirik sesekali melalui kaca tengah, memperhatikan Nona Mudanya yang terlihat seperti sedang dalam masalah besar. “Paman M, jangan ceritakan apapun pada kak Sierra, ya. Aku tak ingin menambah beban pikirannya. Dia sudah sangat sibuk dengan Saint Mirrae.” Caroline berkata sendu sambil menatap ke luar jendela. “Baik, Non. Saya mengerti. Tetapi, Nona baik-baik saja, kan?” Supir paruh baya itu melirik khawatir ke arah Caroline. Bagaimanapun juga, Milano, yang selalu dipanggil Caroline dengan sebutan Paman M, sudah menjadi supir keluarga Nelson sejak Caroline masih bayi. Dia sudah menganggap Caroline seperti putrinya sendiri. “Ya, aku baik-baik saja, paman. Hanya sangat merindukan ayah.” Caroline menjawab kembali dengan mata berkaca-kaca. Air matanya kembali mengalir saat mengingat ayahnya. “Sabar dan relakan, ya, Non. Jangan menangis lagi. Tuan Besar sekarang sudah berbahagia bersama Nyonya Besar. Kalau Nona terus bersedih, kasihan Tuan dan Nyonya Besar. Nanti mereka jadi tidak tenang.” Paman M berusaha membujuk Nona Mudanya. “Hmm…aku mengerti, Paman. Terima kasih telah mengingatkan.” Caroline kembali memejamkan matanya, tak ingin melanjutkan pembicaraan dan membiarkan air matanya mengalir pelan. “Nona Carol. Kita sudah sampai.” Paman M menepuk lutut Caroline pelan. Dia tak ingin membuat Nona Muda-nya terbangun dengan terkejut. “Mmh…kita sudah sampai, paman?” Caroline membuka matanya perlahan. Menyadari dirinya ketiduran selama perjalanan dan sekarang mereka sudah tiba di RS. Saint Mirrae. “Ya, Nona. Kita sudah sampai.” “Baik, aku turun dulu, Paman. Aku akan hubungi paman lagi nanti kalau sudah mau pulang.” Caroline berkata sopan sebelum turun dari mobilnya. Begitu keluar dari mobil, tak ingin orang-orang melihat matanya yang sembab dan sedikit bengkak karena habis menangis, Caroline menggunakan kacamata hitamnya dan menyelinap masuk menuju ruang kantornya. Sesampainya di ruang kantor, Caroline bergegas menuju kamar mandi. Melalui kaca di kamar mandi, dia melihat wajahnya yang sedikit bengkak karena terlalu banyak menangis, mata sembab dan kantung mata yang menghitam. Secara keseluruhan, penampilannya terlihat mengerikan. Caroline menghela nafas lelah. Dia kembali menyiramkan air dingin ke wajahnya. Berharap, semoga dapat membuat wajahnya terlihat lebih segar. Caroline juga menambah sedikit riasan yang sudah menghilang terkena air. Setelah yakin penampilannya lebih baik, Caroline keluar dari ruang kantornya, bertepatan dengan Sierra yang baru akan melewati ruangannya. “Pagi, Kak.” Carol menyapa dengan lesu. “Hei, pagi adikku sayang. Kenapa wajahmu kusut seperti itu? Kantung matamu bahkan lebih parah daripada panda.” Sierra mencubit pipi tembam Caroline. “Kaaak…” Carol merengek manja. “Kakak coba saja, jadi direktur sekaligus dokter magang. Kapan aku bisa istirahat dengan benar? Aku mau liburan, kaaak…” Caroline memeluk tangan Sierra dan menggoyangkannya dengan manja. “Baik, baik. Ini juga yang ingin kubicarakan denganmu, dan mungkin juga dengan Franklin. Oh, ya, mana dia? Sepertinya sudah beberapa hari ini aku tidak pernah melihatnya baik di Universitas ataupun di RS?” “Ah…itu…” Caroline terlihat ragu-ragu untuk bercerita. “Kalian ada masalah?” Sierra kembali bertanya dengan lembut. Perlahan Sierra mengajak Caroline untuk duduk di kursi tunggu yang berada di dekat mereka. “Tidak kak…aku…dia…” Caroline terlihat memucat dan gugup. “Carol… kau sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Profesor Gerald sudah menitipkan dirimu padaku. Jika kau ada masalah, berceritalah kepadaku. Apapun itu. Aku akan siap membantumu. Jangan membuatku merasa tidak berguna karena tidak tahu apapun tentangmu.” Sierra mengusap lembut puncak kepala Caroline dengan penuh kasih sayang. Carol menghela nafas lelah. Akhirnya mengalirlah cerita tentang Caroline dan Franklin. Tentang perasaan Caroline pada pria itu, dan bagaimana sikap Franklin yang mendadak berubah, dan terakhir bagaimana Franklin mendadak menghilang tanpa jejak. Sierra termangu sesaat setelah mendengarkan cerita Caroline. Perlahan, Sierra meraih bahu Caroline yang bergetar menahan tangis dan memeluknya erat. “Sudah, jangan menangis. Percaya saja, jika dia memang jodohmu, seperti apapun jalannya, maka dia pasti akan kembali padamu. Sekarang yang perlu kau lakukan adalah bergerak maju. Jangan berhenti dan terus bersedih di masa lalu. Perbaiki dirimu, jadilah Caroline yang lebih baik lagi, sehingga suatu saat ketika kau bertemu dengannya, dia akan menyesal telah melepaskanmu. Mengerti?” Caroline mengangguk mengerti sambil mengusap air mata dari wajahnya. Tiba-tiba sekilas kejadian semalam berkelebat di benak Caroline. “Kak…aku…” Caroline terlihat ingin bercerita, tetapi ragu-ragu. “Kau kenapa?” Sierra menatap Caroline dengan risau. Sierra dapat melihat Caroline seperti sedang menanggung banyak beban di pikirannya, dan Sierra merasa sangat menyesal dan kecewa pada dirinya sendiri, yang dianggapnya telah gagal menjaga Caroline. Semasa hidupnya, Profesor Gerald selalu berusaha sebisa mungkin untuk membuat Caroline selalu hidup santai dan tenang tanpa beban. Dan sekarang, setelah kepergian Profesor Gerald, sudah seharusnya Sierra yang mengemban tugas itu, menggantikan Profesor Gerald untuk menjaga Caroline, memastikan Caroline selalu bahagia. “Kak, a..aku…” “CAROLINE ALTHEA NELSON!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD