Bab 3

1234 Words
Ganindra kembali mereject panggilan Sandra dan fokus dengan pekerjaannya, ia tidak peduli walau ponselnya berdering tanpa henti. Salah satu klien yang menemaninya mulai tidak nyaman dan memberi kode agar Ganindra segera mengangkat ponselnya. "Silakan diangkat dulu pak, siapa tahu ada berita penting," ujar klien itu dengan sopan. Ganindra pun merasa tidak enak dan mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. Ia memilih menjauh agar kliennya tidak mendengar caci makiSandra. "Halo." Suara Ganindra sangat ketus dan tidak bersahabat, ia tahu Sandra akan memakinya setiap hari dan hari ini pun ia yakin Sandra akan memakinya lagi. "Ayahhhhh, kenapa lama sekali mengangkat teleponnya Hanin. Hanin kan pegal neleponin ayah terus, huh!" Suara Hanindiya membuat Ganindra panik, sekali lagi ia melihat layar ponselnya dan nama tertulis di layar itu Sandra bukannya Hanindiya. Ia mencoba melunakkan suaranya agar anaknya tidak kecewa. "Loh ponsel kamu mana?" "Itu nggak penting yah, yang terpenting ibu sakit. Ayah harus cepat pulang." "Sakit? Sakit apa?" "Nggak tahu, tadi ibu masak dan setelah makan ibu langsung pucat dan megang perutnya. Sekarang ibu lagi tidur dan ponsel aku nggak ada pulsanya hehehehe." "Ya sudah, biarin saja ibu kamu tidur. Ayah lagi banyak kerja, nanti juga sembuh." "Gitu ya, oh iya Hanin izin ke rumah opa ya. Nanti pulang kerja ayah jemput Hanin di sana ya, bye bye ayah Hanin love you." "Love you too." Ganindra menyimpan kembali ponselnya dan kembali bersikap kaku setelah percakapannya dengan Hanindiya selesai. Ganindra kembali mendekati kliennya yang setia menunggu. "Putrinya pak?" tanya klien itu. "Iya," jawabnya singkat. "Bapak beruntung punya putri yang menyanyangi bapak," klien itu menepuk-nepuk bahu Ganindra dan setelah itu mereka kembali membicarakan produk-produk pabrik yang akan dieksport keluarnegeri. Hanindiya meletakkan kembali ponsel Sandra di atas nakas, ia melihat Sandra sedang meringkuk di ranjang sambil memegang perutnya. Peluh mulai membasahi wajah Sandra. Hanindiya mengedarkan matanya melihat kondisi kamar ibunya. Sejak lahir baru kali ini ia masuk ke kamar ibunya itu pun gara- gara Sandra menyuruhnya menelepon Ganindra dan decak kagum keluar dari mulut Hanindiya, kagum melihat kamar ibunya yang seperti kapalpecah. "Mana dia?" tanya Sandra dengan suara berat. "Dia siapa? Ngomong yang jelas bu," tanya Hanindiya. "Ayah kamu lah, siapa lagi," jawab Sandra ketus. "Ayah sibuk kerja katanya biarin saja ibu tidur, nanti juga sembuh sendiri," balas Hanindiya dengan lugu. Emosi Sandra langsung naik, maksud hati mau minta Ganindra mengantarnya ke rumah sakit tapi ucapan Hanindiya tadi membuat rasa sakit di perutnya semakin menjadi. Sandra mencoba untuk berdiri dan berencana ke rumah sakit tanpa bantuan Ganindra walau sudah tujuh tahun lamanya ia tidak pernah pergi keluar rumah tanpa Ganindra di sampingnya. "Ibu bisa sendiri? Mau aku bantu nggak?" tanya Hanindiya saat melihat Sandra kesulitan mencari bajunya. "Nggak usah! Mending kamu keluar," usir Sandra. "Ya sudah kalau nggak mau, Hanin mau ke rumah opa saja," Hanindiya pun meninggalkan Sandra. Senandung kecil selalu keluar dari mulut Hanindiya dan itu membuat Sandra jengkel. "Ayah dan anak sama saja, bisanya bikin gue kesal! Awas lo! Bisa-bisanya dia lebih milih kerjaannya daripada gue, aduhhhhhh sakit bangetttt." Sandra meringis menahan rasa sakit di perutnya. Ayunda merapikan selimut yang berserakan saat Hanindiya tertidur di sofa saat menunggu Ganindra menjemputnya. Ayunda menghapus airmatanya saat melihat Hanindiya ia kembali teringat Alexander, rasa rindu dan sayang hanya bisa ia limpahkan ke Hanindiya, anak yang ditinggalkan Alexander. "Hanin sudah tidur bunda?" suara dingin Ganindra membuat Ayunda langsung berdiri. Ganindra melihat mata Ayunda sembab dan merah, ia yakin Ayunda kembali menangisi Alexander dan ia benci itu. "Sudah, dia kecapean nungguin kamu. Kamu sudah makan? Mau bunda masakin apa? Kenapa pulang malam? Jangan terlalu sibuk nanti sakit loh," tanya Ayundabertubi-tubi. "Nggak usah," tolak Ganindra singkat dan ia langsung mendekati Hanindiya lalu menggendongnya. Ayundakembali merasa kecewa dengan penolakan Ganindra. "Ganin, kamu masih sulit menerima bunda?" tanya Ayunda pelan. Dadanya sesak dengan penolakan- penolakan Ganindra. Ganindra pun menatap Ayunda setelah berhasil menggendong Hanindiya dengan wajah tanpa ekspresinya. "Aku pulang dulu," ujar Ganindra tanpa mau menjawab pertanyaan Ayunda, ia melewati Ayunda begitu saja. Isak tangis mulai keluar dari mulut Ayunda, ia memegang dadanya yang masih terasa sesak melihat penolakan demi penolakan dari Ganindra. Ganindra yang mendengar Ayunda menangis langsung menutup matanya dan mencoba untuk tidak memeluk Ayunda agar hatinya tidak semakin sakit. Maaf bunda, ini cara terbaik agar kelak kita tidak semakin sakit, ujarnya dalam hati. Rabian sejak tadi melihat interaksi antara Ganindra dan istrinya, ia juga melihat bagaimana Ganindra mencoba menutupi hatinya dengan sikap acuhnya. "Sampai kapan kamu menolak bunda nak, tahukah kamu kalau bunda sangat sayang sama kamu, hiksssss." Ayunda masih menangis tersedu-sedu dan Rabian pun mendekati Ayunda lalu menenangkannya. "Kenapa dia sulit menerimaku sayang?" tanya Ayunda dengan wajah penuh airmata. Rabian membuang napasnya. "Mungkin sudah waktunya kamu berhenti menganggap dia sebagai pengganti Alex. Ganin punya hati dan perasaan, selama tujuh tahun dia diam dan batas kesabaran orang ada masanya," balas Rabian. "Tapi... tapi ... dia ..." Ayunda semakin membenamkan wajahnya di d**a Rabian. Rabian kembali membuang napasnya, Ayunda yang masih sulit melupakan Alexander dan menganggap Ganindra sebagai pengganti Alexander menjadi alasan kenapa dulu ia menolak rencana Ayunda mengadopsi Ganindra dan kini ia hanya bisa pasrah menunggu Ganindra bisa membuka hatinya untukAyunda. **** Rasa lelah membuat Ganindra ingin berendam air hangat dengan aroma therapi untuk menghilangkan rasa lelah fisik dan juga bathinnya. Ganindra menatap dirinya melalui cermin besar di kamar mandi. "Sampai kapan aku hidup sebagai pengganti Alex? Sampai kapan!" Teriak Ganindra dan tangannya meninju cermin tadi. Ia tidak peduli dengan rasa sakit dan darah yang mulai mengucur deras. Rasa sakit di tangannya tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya. "GANIN! Berani ya elo ..." Sandra membuka pintu kamar mandi tanpa izin dan melihat Ganindra sedang berdiri hanya memakai handuk yang melilit di pinggangnya. Matanya melihat cermin yang pecah dan juga tangan Ganindra. "Bisa izindulu?" "Ini rumah gue, terserah gue mau masuk atau nggak. Berani ya elo tadi ..." Sandra berhenti memaki Ganindra saat ia melihat Ganindra acuh dengan keberadaannya di kamar mandi seakan dirinya hanya angin lalu. Ganindra lalu membuka handuknya dan masuk ke dalambathup. Sandra membuang mukanya dan darahnya berdesir saat melihat Ganindra tanpa sehelai benang pun. Sudah sangat lama ia tidak melihat laki-laki tanpa busana sejak kematian Alexander. "Mau gabung?" ajak Ganindra. "Gila lo!" maki Sandra. Gila karena kamu, balas Ganindra dalam hati. Sandra memutuskan keluar dari kamar mandi sebelum mukanya berubah jadi merah. Sandra membanting pintu kamar mandi dan mengedarkan matanya ke seluruh ruangan kamar Ganindra. Ia melihat baju Ganindra tergantung rapi dan rencana jahat muncul di kepalanya. Ia mengambil gunting lalu menggunting baju itu sampai tak berbentuklagi. "Rasain! Siapa suruh elo belagu!" setelah puas merusak baju Ganindra barulah Sandra kembali ke kamarnya, setelah mendengar pintu kamarnya dibanting Sandra barulah Ganindra bisa bernapas lega. Ia mulai membenamkan seluruh tubuhnya dalam bathup. Cukup lama ia membenamkan tubuhnya di dalam air, agar Tuhan mencabut nyawanya saat ini juga tapi bayangan dan gelak tawa Hanindiya membuat Ganindra langsung sadar kalau Hanindiya akan sangat terluka kalau sampai dirinya pergi begitu saja. "Ya Tuhan!" Ganindra mengangkat tubuhnya dari air dan mengambil napas dalam-dalam. Hampir saja ia melakukan kebodohan yang akan disesalinya nanti. "Mati tidak akan merubah apapun, aku tetaplah pengganti Alex di rumah ini. Mungkin sudah waktunya Sandra sadar kalau aku adalah suaminya," Ganindra bangkit dari bathup lalu membersihkan sisa sabun dari tubuhnya. Ia mengambil handuk yang berserakan di lantai lalu keluar dari kamarnya menuju kamar Sandra. Tanpa seizin Sandra ia masuk lalu mengunci pintu. "Hey, berani banget elo masuk ke kamar gue dengan hanya mengenakan handuk? Maksud loe apa?" maki Sandra. "Mau b******a?" ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD