“Tabib Xin, kamu tidak apa-apa?” Suaranya dalam, berat, tapi juga mengandung nada khawatir.
Xin membeku. Otaknya yang masih mode dokter modern langsung meledak dengan pikiran absurd.
Wait—wait—siapa nih model majalah historical cosplay yang tiba-tiba manggil aku?
Dia refleks mengangkat tangan, ingin menahan cahaya lilin yang menyilaukan matanya. “Aku … aku di mana? Ini IG live prank, ya? Atau … pasienku lagi halu?”
Pengawal di belakang Kaisar saling pandang. “IG … apa itu, Paduka?” bisik salah satu.
Xin makin kaget. Ia menoleh, matanya membulat. “Hah?! Mereka beneran pakai baju kerajaan semua?!”
Kaisar mendekat, wajahnya serius. “Aku tidak tahu apa yang kau katakan barusan. Katakan saja, bagian tubuhmu yang sakit di mana? Aku yang memukulmu … maaf.” Nada suaranya terdengar penuh penyesalan.
Xin terperanjat. What?! Cowok sekeren ini… ngakunya barusan mukul aku?
Ia refleks memelototi pria itu, meski wajahnya masih pucat. “Kamu … kamu itu siapa sih, sampai main pukul tabib sembarangan?! Kalau aku gegar otak gimana? Siapa yang tanggung jawab, hah?!”
Suasana hening. Semua pengawal menahan napas. Hanya Permaisuri yang lemah di ranjang masih terbatuk pelan.
Kaisar sendiri tertegun, lalu menegang. Ia jarang—atau malah belum pernah—ada orang yang berani membentaknya seperti itu. Namun anehnya, melihat mata Xin yang berkilat marah, justru ada sesuatu yang menggelitik di dadanya.
“Berani sekali kau bicara begitu pada Kaisarmu,” ucapnya dingin.
Xin langsung melongo. “KAISAR?!” jeritnya nyaris tercekat. Ia meraih pinggiran ranjang, mencoba duduk tegak. “Astaga … jangan-jangan aku kecemplung ke film kolosal. Atau … aku udah mati dan reinkarnasi, ya?”
Kaisar makin bingung dengan ucapan-ucapan anehnya. Namun yang jelas, ia tak bisa mengalihkan pandangan dari wajah Xin. Rambut panjang perempuan itu terlihat berantakan, tetapi ada pesona asing yang membuatnya sulit berpaling.
“Entah siapa kau sebenarnya,” desis Kaisar, “tapi mulai detik ini, kau tidak boleh pergi dari istana. Kau harus menyembuhkan Permaisuri!"
Xin tercekat. “Hah?! Tunggu dulu, siapa yang mau stay di … istana?! Aku bahkan nggak tahu cara pake baju yang ribet kayak kalian!”
Kaisar tersenyum tipis, entah kenapa, dia justru terpesona dengan kepanikan Xin. “Kau akan terbiasa, Tabib Xin. Atau … mau aku pakaikan?” Kaisar sedikit berbisik mengatakannya.
Lin mendesah frustasi. “Duh, Tuhan … aku ditusuk mantan, bangun-bangun malah diklaim sama Kaisar super posesif dan m***m. Hidup macam apa ini?!”
Xin masih terduduk di ranjang, berusaha mengatur napas setelah bangun dari pingsannya. Melihat Xin Yao yang baik-baik saja, Kaisar kembali ke setelan awalnya. Lelaki itu berdiri tegak di depan Xin Yao, tatapannya mengintimidasi semua yang ada di ruangan.
“Tabib Xin,” suara Kaisar dalam, dingin, “mulai sekarang kau bertanggung jawab penuh atas kesehatan Permaisuri. Jika dalam tiga hari ia tidak membaik …” Kaisar berhenti sejenak, matanya menyipit, “… kepalamu akan dipenggal.”
Xin langsung menelan ludahnya dengan kasar. Ya ampun! Ini orang cakep-cakep tapi barbar banget! Baru tadi dia mukul aku sampai pingsan, terus bilang menyuruhku stay di istana. Dan sekarang, ngancam mau penggal kepala segala. Dasar Kaisar arogan! Awas aja, kalau aku berhasil nyelamatin Permaisuri, bakal aku sumpahin dia bisulan di b****g! Biar nggak bisa tidur semalaman!"
Tapi wajah Lin tetap terpaksa pasrah. Daripada kepalanya dipenggal. “Baiklah, Paduka. Saya … akan berusaha.”
Kaisar menunduk sedikit, wajahnya mendekat. “Tidak, Tabib Xin. Bukan berusaha. Kau harus berhasil.” Tatapan matanya tajam menusuk, nyaris membuat Xin Yao kehabisan oksigen.
“Ya ampun,” gumam Lin lirih, pura-pura batuk untuk menutupi groginya, “ini Kaisar apa debt collector, sih …”
“Apa kau bilang?” Kaisar mengerutkan alis.
Xin buru-buru mengibaskan tangan. “Eh, nggak! Maksud saya … betul sekali, Paduka! Saya akan bekerja sepenuh hati dan sepenuh tenaga!”
Para selir lain yang hadir di ruangan hanya bisa berbisik-bisik, menatap Xin Yao dengan tatapan meremehkan.
“Tabib baru ini berani sekali.”
“Hanya jadi selir buangan saja, sudah berani menantang Kaisar.”
Xin mendengarnya jelas-jelas, tapi memilih pura-pura tuli. Sudahlah, aku pernah menghadapi operasi jantung terbuka 8 jam, masa kalah sama ancaman penggal kepala?
Ia lalu mendekati ranjang Permaisuri. Wajah wanita itu pucat, napasnya tersengal, bibirnya membiru samar. Xin duduk di sisi ranjang, mengambil pergelangan tangan Permaisuri.
“Baiklah, mari kita cek dulu nadinya …” Xin bergumam, penuh konsentrasi. Namun begitu menyentuh pergelangan tangan, ia kaget sendiri. Astagaa, ini nadi beneran beda banget sama pasien modern! Kayak main teka-teki tanpa mesin EKG!
Xin Yao pun membuka mata Permaisuri kemudian menyentuh leher Permaisuri.
Kaisar berdiri di belakang, menatap setiap gerakan Lin dengan mata penuh selidik. “Bagaimana keadaannya?”
Lin menggigit bibir. “Hmm … kalau saya bilang jujur, Permaisuri keracunan. Gejalanya jelas: tubuhnya lemah, lidah membiru, napas pendek. Racunnya bukan racun biasa … ada campuran herbal yang membuatnya makin sulit terdeteksi.”
Ruangan hening. Kaisar menatapnya dengan serius, lalu mengerutkan alis. “Bagaimana kau bisa tahu hanya dengan menyentuh nadinya?”
Lin mendongak, refleks tersenyum miring. “Halo, saya ini dokter jenius, tahu? Eh maksud saya … tabib jenius.”
Kaisar menatapnya lama, nyaris terpesona. Tapi ia cepat-cepat mengeraskan wajah. “Kalau begitu, buktikan ucapanmu. Sembuhkan Permaisuri, Tabib Xin. Jika gagal, kau tahu akibatnya.”
Cin menarik napas panjang, lalu menunduk sambil bergumam pelan, “Ya Tuhan, cobaan macam apa ini? Dikhianati mantan aja udah cukup bikin trauma, sekarang ditambah ancaman penggal kepala. Tolong kuatkan aku.”
Sambil menyiapkan ramuan dari kotak obat tabib, Lin melirik Kaisar sekilas. Meski wajahnya tegas dan aura dinginnya bikin merinding, Lin justru merasa jantungnya berdebar aneh.
Ya ampun, ini Kaisar musuh atau calon pacar sih?