"Yang Mulia, hamba mohon, saat hamba meracik obat, tak ada yang boleh masuk ke ruangan hamba. karen hamba tak ingin, ada yang menyabotase ramuan hamba nanti," pinta Xin yao sebelum masuk ke ruangan obat.
Kaisar terdiam sesaat kemudian mengangguk. "Perintahkan penjaga untuk berjaga di depan. Jangan ada yang boleh masuk selain aku!"
Dua penjaga itu pun mengangguk kemudian keluar dan berjaga di depan kamar.
Xin Yao duduk bersila di ruang obat, dikelilingi kotak-kotak berisi bahan herbal kering. Para tabib lain hanya berdiri di pinggir, mengintip penuh rasa penasaran dan keraguan. Bagaimana mungkin tabib buangan itu dipercaya Kaisar untuk mengobati Permaisuri?
Di depan meja kayu, ia menyalakan tungku kecil. Tangannya cekatan mengambil akar, daun, dan serbuk herbal. Tidak asal comot, melainkan ditimbang, dipotong, lalu dipisahkan ke dalam wadah mungil seakan ia sedang berada di laboratorium modern.
“Daun Qingcao—efeknya seperti detoksifikasi hati. Serbuk Lianhua—bisa menetralkan racun darah. Hmm… tambahkan sedikit getah Heimu, biar sistem pencernaan nggak bablas.” Ia bergumam sendiri, tapi tangannya lincah seperti mesin.
Kaisar yang sejak tadi berdiri bersandar di tiang, memperhatikannya dengan mata tajam. “Kau bahkan menimbang setiap potongan daun. Tabib biasanya hanya mencampurnya secara kasar. Dari mana kau belajar cara itu?”
Xin Yao menoleh sekilas, lalu nyengir tipis. “Rahasia perusahaan, eh maksud saya … rahasia keluarga, Paduka.”
Kaisar menajamkan mata. “Kau berani bercanda di hadapanku?”
Xin Yao cepat-cepat menunduk, pura-pura fokus lagi. Ups, refleks dia memegang mulutnya, CEO tradisionalku lagi marah. Gawat kalau aku kelepasan ngomong soal laboratorium klinik segala.
Dia mengambil air mendidih, menuangkannya perlahan ke campuran herbal. Uap harum bercampur getir langsung memenuhi ruangan. Namun yang membuat para tabib melongo adalah cara Xin Yao menyaring ramuan itu. Ia menggunakan kain tipis yang dilipat beberapa kali, persis seperti filter modern.
“Apa-apaan itu?!” salah satu tabib berbisik. “Dia menyaring obat dengan … kain?!”
Xin Yao tersenyum miring, mendengar komentar itu. “Yup, biar ramuannya lebih bersih. Kalau kotoran ikut terminum, racunnya malah tambah parah. Logika dasarnya seperti itu.”
Kaisar menyipitkan mata, tapi kali ini bukan karena marah. Ada sesuatu dalam diri perempuan itu yang membuatnya tak bisa memalingkan wajah.
Xin Yao terus mengaduk cairan itu untuk menjaga kekentalannya. Sesekali wanita itu mencicipi sedikit cairan dengan ujung jarinya untuk menakar rasanya.
“Tidak … ini belum pas,” gumamnya pelan. Ia menambahkan akar ginseng kering, lalu menumbuk biji pahit yang hanya ia yang tahu apa khasiatnya.
Kaisar diam dan terus memperhatikan Niken. Rambutnya yang berantakan dan sebagian jatuh ke pipi justru membuat wanita itu terlihat cantik alami. Jemarinya yang berlumuran serbuk obat terlihat sangat anggun seolah wanita itu sedang menari melambaikan tangan padanya. Kaisar pun menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran liarnya
Ketika Xin Yao meniup debu halus dari permukaan meja, sehingga helaian rambut indahnya berayun, Kaisar pun tersenyum tipis.
Mengapa aku bisa terpesona padanya hanya dengan melihatnya meracik obat? batin Kaisar sambil memegang dadanya yang bergejolak hebat.
Setelah beberapa saat, ramuan berwarna hijau pekat itu siap. Xin Yao menuangkannya ke dalam mangkuk porselen. Wajahnya serius, tapi matanya berbinar penuh percaya diri.
“Ramuan ini harus diminum dalam tiga tegukan. Setiap tegukan harus dipisahkan sepuluh menit. Kalau berhasil, Permaisuri akan mulai berkeringat, tanda racun keluar dari tubuhnya,” jelas Xin Yao mantap.
Kaisar melangkah maju, berdiri tepat di hadapannya. “Apa kau yakin?”
Xin Yao mendongak, menatap lurus ke mata Kaisar. “Paduka, saya tabib. Kalau saya tidak yakin, lebih baik saya jadi tukang jamu keliling. Percayalah, ramuan ini akan bekerja.”
Sejenak, ruangan hening. Kaisar menatap matanya lekat-lekat. Ada keberanian dan kejujuran di sana—sesuatu yang jarang ia temui di istana penuh tipu daya.
Akhirnya, Kaisar tersenyum tipis. “Baiklah, Xin Yao. Jika Permaisuri selamat, aku akan memberi hadiah besar. Tapi jika gagal …”
Xin Yao cepat-cepat memotong, mengangkat dagunya. “Saya tahu, saya tahu. Kepala saya akan dipenggal. Tolong, bisa tidak ganti ancaman yang lain? Soalnya telinga saya agak kurang enak mendengarnya.”
Para tabib terkesiap, nyaris pingsan karena berani sekali perempuan itu menyela Kaisar. Namun Kaisar sendiri hanya menahan senyum, menunduk menatap wajah Xin Yao lebih lama daripada seharusnya.
Perempuan ini … benar-benar berbeda.
Ruangan hening ketika ramuan hijau pekat itu diminumkan pada Permaisuri. Semua orang menahan napas. Xin Yao sendiri ikut berdebar. Ya ampun, kalau teori modernku salah, beneran kepalaku melayang nih!
Dengan bantuan dayang, Permaisuri meneguk ramuan itu perlahan. Sesuai instruksi, tiga tegukan, jeda sepuluh menit setiap kali teguk.
Sepuluh menit pertama … wajah Permaisuri sedikit memerah. Lima belas menit berikutnya, keringat mulai bermunculan di pelipisnya. Semua orang terkejut.
“Lihat! Permaisuri mulai berkeringat!” seru salah satu dayang.
Xin Yao mengangkat alis dengan percaya diri. “Tunggu saja. Itu tandanya racun mulai keluar.”
Dan benar saja. Setelah setengah jam, Permaisuri membuka matanya, napasnya jauh lebih lega.
“Yang Mulia …” suara lirih permaisuri terdengar, membuat suasana kamar yang semula tegang kini merasa lega.
Kaisar segera mendekat, menggenggam tangan istrinya dengan penuh emosi. “Jangan bicara terlalu banyak. Istirahatlah."
Air mata menggenang di sudut mata Permaisuri. Lalu, ia menoleh pada Xin Yao yang masih berlutut, wajahnya penuh peluh. “Tabib Xin … kau telah menyelamatkanku. Aku berhutang nyawa padamu.”
Kaisar berdiri tegak, matanya menyapu ruangan. “Permaisuri benar. Tabib Xin pantas mendapat penghargaan. Bagaimana kalau …” Ia berhenti sebentar, seolah berpikir keras. Lalu dengan suara mantap, ia berkata, “… Tabib Xin kita angkat menjadi Selir. Dengan begitu, ia bisa setiap saat memantau kesehatan Permaisuri karena tinggal di dalam istana.”
Ruangan sontak gaduh. Dayang-dayang terbelalak, para tabib saling pandang panik. Sementara Xin Yao nyaris jatuh saking kagetnya.
APA?! Jadi tabib aja udah bikin hidupku penuh spot jantung, sekarang malah mau dijadiin selir? Ini Kaisar atau HRD yang suka mutasi orang seenaknya?! batin Xin Yao berteriak.
Permaisuri menatap Kaisar, lalu tersenyum lemah. “Kalau itu memang bisa membuat Tabib Xin selalu ada untukku, aku setuju, Paduka.”
Xin Yao meneguk ludah. “Tunggu … tunggu dulu! Saya ini tabib, bukan—”
Namun, suara tajam memotongnya.
“Tidak! Hamba menolak keras!”
Semua mata menoleh ke arah Selir Pertama yang berdiri angkuh di sisi kanan. Wajahnya cantik, tapi penuh amarah. “Paduka, bagaimana mungkin seorang tabib buangan, yang bahkan tidak tahu sopan santun istana, diangkat menjadi Selir? Itu penghinaan bagi kami semua yang telah melewati aturan dan tradisi ketat!”
Suasana langsung memanas. Kaisar menatap Selir Pertama dengan wajah dingin. “Apa kau meragukan pilihanku?”
Selir Pertama menunduk, tapi suaranya masih keras. “Bukan begitu, Paduka. Hamba hanya … tidak rela seorang perempuan rendahan merebut perhatian di istana. Apalagi jika alasannya hanya karena… ia menyembuhkan Permaisuri.”
Xin Yao langsung mendengus dalam hati. Astaga, drama kompetisi antar selir dimulai. Aku cuma pengen hidup tenang, kerja sesuai passion, kenapa malah jadi rebutan beginian?!
Kaisar mengangkat dagunya tinggi, matanya menatap tajam Selir Pertama. “Cukup. Keputusan ada di tanganku. Dan aku sudah memutuskan.”
Ia lalu menoleh pada Xin Yao, menatapnya dengan sorot mata penuh makna yang membuat gadis itu merinding sekaligus panas dingin. “Mulai hari ini, Tabib Xin … bukan lagi sekadar tabib. Dia adalah Selir Xin Yao, selir yang aku pilih sendiri.”
Ruangan terdiam. Permaisuri hanya mengangguk setuju dengan senyum tulus. Selir Pertama mengepalkan tangan di balik lengan bajunya, hatinya menjerit menahan amarah.
Xin Yao, di sisi lain, hanya bisa mengeluh dalam hati. Ya Tuhan, hidup macam apa yang akan aku jalani? Mati ditusuk mantan, lalu hidup lagi di tubuh tabib kuno, dan sekarang dipaksa jadi selir Kaisar. Tidaaakkk!"