Hari itu, Niken baru saja resmi pindah ke paviliun Permaisuri. Ia masih bingung dengan status barunya. Bukan tabib, bukan selir… tapi dia sudah kayak “manager istana full time”.
Belum sempat menikmati teh hangat, seorang dayang berlari tergopoh.
“Nona Xin! Yang Mulia Kaisar memanggil Anda ke ruang sidang kecil!”
Niken mematung. “Hah? Saya? Panggilannya sudah kayak manajer HRD mau rapat anggaran…”
Beberapa menit kemudian, ia sudah berdiri di hadapan Kaisar Zhen yang duduk anggun di kursi ukir emas. Para pejabat membungkuk, suasana tegang.
“Xin Yao,” suara Kaisar berat dan dingin. “Kau sekarang orang kepercayaanku. Maka aku ingin mendengar pandanganmu. Istana Hanyuan sedang mengalami krisis keuangan. Dana untuk membayar upeti sudah habis. Apa yang sebaiknya kulakukan?”
Niken nyaris keselek ludah. Ya Allah, aku ini dokter! Bukan Menteri Keuangan!
Tapi tatapan dingin Kaisar membuatnya tak bisa lari. Semua pejabat juga melirik penuh rasa ingin tahu.
Ia mengangkat tangan pelan. “Yang Mulia … boleh saya tanya dulu, kenapa uangnya bisa habis? Apakah pembukuannya sudah transparan?”
Para pejabat terdiam. Salah satu bendahara terbatuk gugup. “Pembukuan … masih manual, Tuan Putri…”
Niken mendesah panjang. “Pantesan! Masih zaman batu. Gini lho, kalau uang keluar-masuk tidak dicatat rapi, ya pasti banyak bocor. Harus ada … hmm, istilahnya … ‘audit tahunan’.”
“Audit?” Kaisar mengerutkan alis. “Apa itu?”
“Ya semacam sidang internal buat ngecek kemana saja uang itu keluar dan masuk,” jawab Niken santai. “Jadi, kalau ada pejabat yang tiap bulan laporannya minus, tapi tiba-tiba punya rumah baru, berarti jelas-jelas dia korupsi.”
Semua pejabat pun melongo tak mengerti.
Kaisar memandang tajam ke arah Niken. “Apa itu korupsi?”
“Korupsi itu kayak pejabat yang memakai uang kerajaan untuk kepentingan pribadi,” terang Niken sambil memainkan kuku di tangannya.
Kaisar langsung menggebrak meja hingga membuat semua orang yang disana ketakutan. “Bendahara! Katakan, apa yang dikatakan Xin Yao itu benar?”
Bendahara langsung gemetar. “H-hamba … hamba akan segera membuat laporan ulang, Yang Mulia!”
Niken mengangguk mantap, semakin percaya diri. “Selain itu, coba deh bikin anggaran pakai tabel. Misalnya, pengeluaran untuk beras, kayu, batu bata, gaji prajurit. Semua dipisah. Jangan dicampur. Kalau dicampur, jadinya kayak orang yang sakit panas tapi dikasih obat batuk, bukannya sembuh, yang ada malah tambah sakit!”
Beberapa pejabat menahan tawa. Kaisar justru menatap lekat-lekat. Dingin, tapi ada kilatan heran sekaligus kagum.
“Kau berbicara seakan memahami aturan tata negara.”
Niken buru-buru melambaikan tangan. “Ah, tidak-tidak. Dulu saya eh hamba … ehm, sering ngurusin laporan keuangan rumah sakit. Kalau bocor, ya rumah sakit bisa bangkrut. Sama aja kayak istana, kalau anggaran keuangannya kacau, ya dana bisa habis dan rakyat bisa ngamuk.”
Kaisar menyandarkan tubuhnya sambil menautkan jemarinya. “Baiklah. Mulai hari ini, aku akan membentuk dewan pengawas bendahara. Dan kau, Xin Yao, akan ikut memantaunya.”
“Hah?!” Niken hampir jatuh dari kursi. “Tunggu dulu, Yang Mulia! Saya ini dokter bedah yang bisanya mengoperasi orang, bukan auditor KPK!”
Semua pejabat melongo, tidak paham apa itu KPK.
Kaisar menatapnya dalam-dalam. Bibir dinginnya terangkat samar. “Entah siapa kau sebenarnya, Xin Yao. Tapi setiap kali kau bicara … aku selalu menemukan kalimat baru yang tidak aku mengerti artinya.”
Deg. Jantung Niken berdetak kencang. Wajahnya memanas. Ya ampun, ini Kaisar kok makin lama makin kayak bos CEO dingin yang jatuh cinta sama sekretaris bawelnya?!
***
Kabar tentang Xin Yao yang tiba-tiba menjadi kepercayaan Kaisar dan Permaisuri menyebar ke seluruh penjuru istana. Apalagi, Kaisar dengan entengnya berdiskusi dengan Xin Yao seolah wanita itu adalah penasehat pribadinya. Para dayang berbisik-bisik, para kasim saling pun bertukar pandang, bahkan beberapa menteri diam-diam gelisah.
“Seorang tabib buangan … sekarang punya kedudukan khusus di sisi Kaisar dan Permaisuri,” salah satu pejabat membisik pada rekannya saat keluar dari aula istana atau biasa disebut balairung.
“Kalau hanya tabib biasa, tidak masalah. Tapi ini terlalu dekat … bisa berbahaya,” balas yang lain dengan nada khawatir.
Namun tak seorang pun berani menyuarakan protes secara terbuka. Kaisar sudah menyetujui keputusan itu. Menentang sama saja dengan melawan kaisar sendiri.
Hanya satu orang yang tak bisa menahan diri—Selir Pertama Min Hua. Sejak awal, ia merasa posisinya terusik. Kini, melihat Xin Yao semakin menanjak, amarah dan kecemburuan membakar hatinya.
Malam itu, ia berani mengambil langkah besar. Ia menyiapkan kereta dan nekat menuju ke Istana Chun Ming, kediaman Ibu Suri, nenek Kaisar yang berkuasa dan masih disegani.
Suasana istana Chun Ming berbeda dari bagian istana lain. Disana lebih sunyi, namun aura wibawanya terasa mencekam. Para kasim membungkuk hormat saat Min Hua memasuki aula.
Tak lama, Ibu Suri keluar dengan langkah tenang, didampingi dayang seniornya. Meski rambutnya sudah putih, sorot matanya tajam dan senyumnya masih berwibawa
“Selir Min,” sapa Ibu Suri dengan nada datar namun penuh arti, “ada apa kamu kemari malam-malam begini? Tidak mungkin kan, kamu datang hanya ingin mengunjungiku? Apalagi, kangen padaku?”
Min Hua segera berlutut, wajahnya tertunduk patuh. “Ampun, Yang Mulia Ratu … kedatangan saya kemari hanyalah ingin menyampaikan kegelisahan hamba.”
Alis Ibu Suri terangkat sedikit. “Kegelisahan? Tentang apa?”
Suara Min Hua dibuat lirih namun penuh tekanan. “Tentang keputusan Kaisar dan Permaisuri yang … menurut hamba, terlalu terburu-buru. Mereka mengangkat seorang tabib buangan menjadi orang kepercayaan Kaisar dan Permaisuri, hanya karena dia bisa menyembuhkan penyakit. Padahal, siapakah dia? Tak pernah ada yang tahu asal usulnya. Dia hanyalah seorang pencuri yang tertangkap basah tengah mengambil tanaman obat di taman istana.”
Ibu Suri menyipitkan mata, lalu berjalan pelan mengitari Min Hua. “Hmm … jadi menurutmu, Permaisuri telah salah dalam menilai orang?”
“Hamba tidak berani menyalahkan Permaisuri,” Min Hua menunduk makin dalam. “Namun, demi kehormatan istana ini, hamba merasa perlu menyampaikannya pada Yang Mulia Ratu. Bagaimana mungkin seorang tabib buangan mendapat kedudukan lebih tinggi daripada pejabat yang sudah lama mengabdi? Ini bisa jadi bahan tertawaan di luar istana.”
Keheningan menyelimuti ruangan. Para dayang menahan napas, takut Ibu Suri murka.
Namun tiba-tiba, Ibu Suri tertawa pelan. Tawanya dingin, membuat bulu kuduk Min Hua meremang.
“Hahaha … jadi itu yang membuatmu gelisah?” Suaranya menusuk. “Baiklah, kau boleh pergi. Tidak perlu kau risaukan masalah ini. Biar aku yang mengurus semuanya.”
Min Hua terbelalak, lalu cepat-cepat menunduk lebih dalam. “Ampun, Yang Mulia Ratu … hamba hanya ingin yang terbaik bagi istana.”
“Pergilah,” ulang Ibu Suri dengan senyum samar. “Kamu sudah melakukan tugasmu. Mulai sekarang, lihatlah bagaimana aku akan menyingkirkan tabib bernama Xin Yao itu.”
Min Hua tersenyum puas di balik wajah patuhnya. Ia bangkit, menunduk hormat, lalu melangkah keluar dengan hati yang penuh kemenangan.
Sementara itu, Ibu Suri duduk kembali di kursinya, mengetuk meja pelan. “Seorang tabib buangan … menarik sekali. Berani-beraninya dia mengguncang kedudukan di istana. Mari kita lihat, apakah dia hanya gadis biasa yang pintar … atau ada sesuatu yang lebih besar yang disembunyikannya.”