“Ibu Suri tiba!”
Balairung Agung hari itu diguncang kehadiran sosok wanita tua yang masih berkuasa meski putranya sudah menjadi Kaisar. Dayang-dayang langsung bersujud begitu Ibu Suri masuk. Kaisar Zhen, yang sedang membaca laporan, terpaksa meninggalkan pekerjaannya dan berdiri tegak menyambut kedatangan ibunya.
“Ibu Suri,” Kaisar memberi salam hormat. “Apa yang membawa Anda ke balairung?”
Ibu Suri menatap lekat ke arah putranya.
“Anakku … Ibu mendengar kabar bahwa engkau mengangkat seorang tabib buangan yang dulunya adalah tahanan istana menjadi orang kepercayaanmu.”
Kaisar mengangguk pelan. “Benar, Ibu. Tabib itu telah menyelamatkan nyawa Permaisuri yang bahkan tabib lain tak mampu melakukannya. Kesetiaan dan kepandaiannya patut dihargai.”
Ibu Suri tersenyum samar, namun matanya penuh perhitungan.
“Kesetiaan? Itu kata yang berat. Ingatlah, seorang tabib bekerja demi upah dan reputasi. Bila suatu hari ada musuh yang menawarkan dia emas lebih banyak, bagaimana engkau bisa yakin ia tidak akan membocorkan rahasiamu?”
Kaisar terdiam sejenak, menimbang kata-kata itu.
Ibu Suri mendekat, suaranya lebih lembut, nyaris berbisik.
“Dulu, ayahmu pun pernah percaya pada seorang pelayan biasa. Akhirnya, pelayan itu menikamnya dari belakang dengan bersekutu pada pihak yang berlawanan. Kau masih ingat bagaimana istana hampir terguling karena itu?”
Kaisar menggenggam gulungan laporan, ragu. “Tapi, tabib itu berbeda, Ibu. Ia tidak punya ambisi politik.”
Ibu Suri tersenyum tipis, menepuk tangan putranya. “Anakku … justru karena ia tampak tanpa ambisi, ia lebih berbahaya. Orang tanpa kedudukan bisa menyelinap tanpa terduga. Jika benar engkau ingin menghargainya, beri ia kedudukan yang pantas, sebagai tabib misalnya. Jangan lebih dari itu.”
Kaisar menarik napas panjang. Keraguan mulai terlihat di wajahnya.
Niken yang berdiri di samping Kaisar langsung pucat. Ya ampun, ini nenek tua bawel banget! Baru juga masuk kerja, udah langsung dituduh macam-macam …
Akan tetapi, beberapa saat kemudian, Kaisar pun kembali bersuara, “Ibu benar. Tapi, Xin Yao tak hanya bisa menyembuhkan, tapi juga bisa membantuku melihat kelemahan dalam sistem keuangan Hanyuan.”
Para pejabat menahan napas. Ibu Suri melangkah maju, matanya menatap Niken seakan hendak menelanjangi jiwa. “Kau. Siapa namamu?”
“Eh … Ni—Xin Yao, Yang Mulia Ratu,” jawab Niken kaku.
“Dari mana kau belajar soal keuangan negara? Berani sekali kau mempengaruhi putraku untuk mengubah aturan negara!”
Niken gelagapan. “Ehm, saya eh hamba … hanya terbiasa menyusun laporan rumah … rumah sakit, Yang Mulia Ratu. Dimana-mana, sistem keuangan itu hampir sama cara kerjanya, uang keluar-masuk, harus jelas dan juga seimbang. Kalau nggak, bisa jebol. Sama kayak bendungan kalau bocor sedikit, lama-lama bisa banjir”
Beberapa pejabat menahan senyum, tapi Ibu Suri justru mendengus. “Perumpamaanmu sungguh aneh. Tapi … masuk diakal.”
Kaisar menatap ibunya mantap. “Ibu Suri, izinkan aku yang menilai orang kepercayaanku sendiri. Apa pun masa lalunya, sekarang dia berada di sisiku. Dan bisa membantuku menyelesaikan masalah negara. Bukankah itu yang terpenting?”
Suasana menegang. Min Hua yang ikut hadir menggertakkan gigi. Rencananya membuat Ibu Suri murka pada Xin Yao ternyata malah berbalik arah.
Ibu Suri akhirnya menghela napas panjang. “Baiklah. Jika kau bersikeras, aku tak akan menghalangi. Tapi ingat, putraku, jangan sampai kau menyesal karena menaruh kepercayaan pada orang yang salah.”
Kaisar menunduk sedikit. “Aku tidak akan pernah menyesal, Ibu.” Tatapannya melirik singkat ke arah Niken, membuat pipi wanita itu memanas.
Astaga … ini Kaisar bisa nggak sih jangan menatap aku kayak begitu di depan Ibu Suri? Ntar dikiranya aku ini cewek ganjen yang suka menggoda lelaki.
***
Seminggu telah berlalu. Namun gosip tentang Xin Yao bukannya semakin mereda tetapi malah semakin memanas. Banyak menteri yang kini mulai berani menyuarakan pendapatnya saat Xin Yao memberikan nasehat pada Kaisar.
Mendengar hal ini, Ibu Suri pun tak tinggal diam. Dia datang kembali ke istana putranya agar membatalkan keputusannya.
Kaisar yang duduk di singgasananya dengan wajah letih langsung berdiri saat melihat ibu kandungnya tiba-tiba datang bersama Permaisuri.
“Anakku, apakah keputusanmu soal tabib itu tak bisa diubah? Ingat, tak pantas seorang rakyat jelata duduk di lingkaran kepercayaan Kaisar.” Ibu Suri mengatakannya dengan nada yang tenang tapi terdengar tajam.
Permaisuri menunduk hormat, lalu menatap Ibu Suri “Mohon ampun, Yang Mulia Ratu. Namun tanpa tabib itu, hamba mungkin sudah tiada. Nyawa yang ia selamatkan bukan sekadar nyawa seorang istri, tapi juga kehormatan keluarga kerajaan.”
Ibu Suri menyipitkan mata, senyumnya terlihat dingin. “Ibu takut, bagaimana jika suatu hari ia menyalahgunakan kepercayaan yang kalian berikan?”
Permaisuri menahan emosinya. “Justru orang yang diberi kepercayaanlah yang biasanya menunjukkan kesetiaan sejati. Bila kita terus-menerus mencurigai, siapa yang mau berbakti dengan tulus?”
Kaisar menunduk, jemarinya mengetuk lengan kursi singgasana, tanda pikirannya bercabang.
Ibu Suri mendekat, suaranya meninggi:
“Engkau terlalu polos, Permaisuri! Istana ini bukan tempat untuk bermain perasaan. Satu orang asing yang diberi kepercayaan bisa mengguncang seluruh dinasti!”
Permaisuri berani menatap balik Ibu Suri.
“Dan satu orang asing itu juga yang menyelamatkan darah dinasti ini. Apa salahnya bila Kaisar menunjukkan rasa terima kasih dengan menempatkan dia di sisi beliau?”
Ruangan mendadak hening. Kaisar mengangkat wajah, tatapannya bergantian antara ibunya dan istrinya.
“Cukup. Aku yang akan memutuskan. Tabib itu … akan tetap berada di sisiku,” kata Kaisar dengan nada tegas.
Ibu Suri menahan napas, matanya berkilat tajam. Permaisuri menunduk, seulas senyum kemenangan terlukis samar di bibirnya.
Kaisar pun meninggalkan balairung bersama Permaisuri. Suasana di istana mulai lengang, hanya tersisa Ibu Suri dengan dayang-dayangnya.
Ibu Suri berdiri diam, wajahnya tenang, namun jemarinya mengetuk pelan gagang kursi. Wanita itu sedang memikirkan cara, bagaimana dia bisa menjatuhkan tabib buangan itu tanpa harus mengotori tangannya.
Wanita tua itu pun menoleh pada kasim kepercayaannya, Lao De, yang sudah lama berdiri dan menunduk di belakang.
Ibu Suri berbisik di telinganya. “Tabib itu terlalu cepat mauk ke dalam istana. Seperti rumput liar, dia harus dicabut sebelum akarnya menusuk lebih dalam.”
Lao De menunduk makin dalam. “Perintah apa yang harus hamba jalankan, Yang Mulia?”
Senyum tipis melintas di wajah Ibu Suri.
“Awasi setiap langkahnya. Cari celah, entah itu masa lalunya, atau kelemahannya. Bila perlu, buat ia terlihat seakan mengkhianati Kaisar. Tidak ada yang lebih cepat menghancurkan seseorang di istana ini selain tuduhan pengkhianatan.”