Bab 7

958 Words
“Nona Xin, Ibu Suri memanggil Anda ke istana Chun Ming!” Ucap salah satu dayang Ibu Suri yang malam itu masuk ke kamar Xin Yao. “Sekarang?” Tanya Xin Yao kebingungan karena tak biasanya Ibu Suri memanggilnya seorang diri. Pelayan itu mengangguk. Xin Yao pun segera bersiap dan menuju ke istana Chun Ming dengan hati yang dag dig dug. Para pelayan saling berbisik, saat ia memasuki istana. Tanpa banyak kata, ia dibawa ke ruang kediaman Ibu Suri. Begitu memasuki ruangan, aroma dupa cendana yang lembut memanjakan indera penciumannya. Ibu Suri duduk anggun di kursinya, wajahnya penuh wibawa namun terselip senyum samar yang sulit ditebak. Di sampingnya, Min Hua berdiri dengan wajah penuh kemenangan, seakan yakin rencana yang sudah dia susun rapi akan berhasil. Xin Yao menunduk. “Hormat, Yang Mulia Ratu!” "Xin Yao," suara Ibu Suri bergetar tenang, tapi penuh kuasa, "aku mendengar banyak tentangmu. Katanya, kau bukan hanya bisa mengobati penyakit, tapi juga memiliki pandangan luas tentang ilmu kenegaraan. Benarkah itu?" Xin Yao segera berlutut dengan tenang. "Hamba hanya seorang tabib biasa, Yang Mulia Ratu. Namun, bila diizinkan bicara, tentu hamba akan menjawab sesuai dengan apa yang hamba tahu." Wanita tua itu tersenyum samar. "Bagus. Aku ingin mengenalmu lebih dalam. Katakan, menurutmu, bagaimana seorang Kaisar harus menghukum pejabat yang terbukti mencuri tapi berjasa besar bagi kerajaan?" Xin Yao terdiam sejenak. Dia tahu, ucapan Ibu Suri secara halus menyindirnya. Namun, dia akan menjawab sesuai dengan ilmu tata negara yang pernah dia baca dulu. Juga sejarah tentang negara ini. Sejenak, ia menghela napas pelan lalu berkata, "Menurut hamba, pejabat itu tetap harus dihukum, Yang Mulia. Jika tidak, rakyat akan kehilangan kepercayaan pada hukum. Namun ... mungkin hukumannya bisa diubah menjadi lebih ringan dari seharusnya, mengingat, kerajaan juga membutuhkan jasanya. Jadi, ia bisa menebus dosanya dengan pengabdian, bukan dengan darah." Beberapa menteri yang mendengar dari luar aula berbisik sinis. “Tabib bodoh, mana ada hukum seperti itu.” Namun Ibu Suri mengangkat alisnya, tertarik. "Hmm, jawabanmu berbeda dari kebanyakan orang. Tapi, aku masih bisa menerimanya." Min Hua langsung menyela dengan nada sinis, "Tapi, Yang Mulia Ratu, bukankah itu artinya membiarkan pengkhianat tetap hidup? Bukankah itu bisa jadi ancaman bagi kerajaan?" Xin Yao menoleh sekilas, matanya jernih namun menatap tajam Min Hua. "Hamba tidak bilang dibiarkan hidup tanpa pengawasan, Selir Min Hua. Hamba hanya berkata: lebih baik tenaga orang itu diarahkan untuk membangun kerajaan, daripada sekadar dipenggal tapi kerajaan kehilangan orang terhebatnya." Ibu Suri menepuk meja kecil di sampingnya sambil tertawa kecil. "Kau pandai juga bicara, anak muda." Ia mencondongkan tubuhnya, menatap lekat-lekat Xin Yao. "Baiklah, satu lagi pertanyaan. Bagaimana seharusnya seorang Kaisar memilih selir, menurutmu?" Pertanyaan itu membuat para kasim dan dayang menahan tawa. Min Hua bahkan menutup mulutnya dengan kipas, pura-pura kaget. Xin Yao terdiam sejenak, lalu menjawab dengan tenang, "Hamba bukan orang istana, jadi mungkin pendapat hamba kurang pantas. Tapi ... Menurut hamba sebaiknya seorang Kaisar memilih selir bukan hanya karena kecantikan, apalagi karena keindahan tariannya, tapi juga karena kecerdasan dan juga kesetiaannya. Karena ... wajah yang cantik bisa memudar, tapi akal yang tajam akan membantu kerajaan meski telah mencapai usia senja." Ruangan kembali hening. Ucapan Xin Yao begitu menohok hati di hati Min Hua, karena dulu, dia adalah seorang penari yang dipilih oleh Kaisar untuk dijadikan Selir. Wanita itu pun diam tak bisa menjawab. Ibu Suri menatap Xin Yao lama sekali, lalu tersenyum tipis. "Jawabanmu memang sedikit aneh ... tapi aku suka." Xin Yao pun tersenyum. Wanita itu pun kembali ke kamarnya. Sementara Min Hua, wanita itu kesal karena tak mampu menjatuhkan Xin Yao di hadapan Ibu Suri. *** Seminggu kemudian “Xin Yao, ganti pakaianmu dengan yang ini. Kita akan pergi ke istana Chun Ming sekarang!” Perintah Kaisar saat Xin Yao sedang membaca buku pengobatan milik tabib istana. “Paduka, kan yang berurusan dengan Ibu Suri hanya paduka dan Permaisuri. Kehadiranku tidak dibutuhkan disana. Lebih baik, aku disini saja,” sahut Xin Yao yang sebenarnya malas melihat wajah licik Min Hua. Kaisar pun mendekat. Lelaki tampan itu berbisik di telinga Xin Yao. “Ganti sekarang, atau aku yang menggantikan bajumu!” Mata Xin Yao membulat sempurna mendengar ucapan m***m sang Kaisar. “Dasar Kaisar m***m! Pantas saja selirnya banyak! Karena yang ada di otakmu hanya wanita, wanita dan wanita saja!” gumam Xin Yao tanpa sadar. Kaisar mendelik tajam. “Apa kamu bilang?” Xin Yao segera menutup mulutnya dan menampilkan senyum paling manis. “Tidak-tidak, hamba tidak berkata apa-apa.” “Apa kamu pikir aku tuli? Jelas-jelas aku mendengar kau bicara tadi!” Kaisar mulai mengeluarkan taringnya. Xin Yao menundukkan kepalanya, pura-pura malu. Padahal, di hatinya dia merasa mual. “Tidak, Paduka salah dengar. Hamba hanya bilang, kalau hamba malu berganti pakaian di hadapan Paduka yang tampan ini.” Lelaki itu kembali berbisik. “Benarkah, menurutmu aku ini tampan?” Xin Yao mengangguk malu-malu. Kaisar pun berbalik. Namun sebelum keluar, lelaki itu berkata, “Aku ini tidak m***m. Tapi, kalau kamu ingin aku berbuat m***m padamu. Dengan senang hati aku akan melakukannya. Hahaha” Xin Yao mendelik sambil mengacungkan bogeman tangannya. “Dasar Kaisar m***m!” Beberapa saat kemudian … Balairung Agung malam itu dipenuhi cahaya lentera dan wewangian bunga. Para selir, pejabat, hingga bangsawan berkumpul untuk merayakan ulang tahun Ibu Suri. Musik lembut mengalun, tarian dayang-dayang mengisi suasana. Hanya Xin Yao yang tak tahu jika malam ini adalah ulang tahun Ibu Suri. Niken atau Xin Yao duduk agak ke belakang, berusaha tak menampakkan diri. Dia takut, kalau sampai salah bergerak, yang akan membuat malu dirinya. “Ya ampun, ini acara apa sih? Kok kayak acara gala dinner?” Sementara itu, Selir Min Hua duduk anggun di kursinya, bibirnya tersenyum sinis. Hari ini kau akan jatuh, Xin Yao. Mari kita lihat apa kau masih bisa berdiri tegak di depan Ibu Suri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD