Bab 1
“Maaf, Sayang. Aku tidak bisa datang ke acara wisudamu, ada meeting penting sekali di kantor. Nanti sore kita rayakan, ya.”
Sebuah pesan dari Bima kekasihnya membuat Niken merasa kecewa. Di hari bahagianya ini, tak ada satupun orang yang menemaninya menerima penghargaan dari kampus sebagai wisudawan terbaik dengan predikat cumlaude. Sejak kedua orang tuanya meninggal, Niken hidup bersama Paman dan Bibinya.
Semasa tinggal bersama Bibi, Niken tak ubahnya seperti pembantu yang melakukan semua pekerjaan di rumah itu.
Setelah acara wisuda selesai, ia langsung menuju kantor Bima. Dia ingin merayakan kelulusannya sekaligus hari jadian mereka. Dia sudah membayangkan, pelukan hangat dari sang kekasih yang akan dia terima karena telah lulus kuliah.
Namun, ketika sampai di depan pintu ruang kerja kekasihnya, Niken menghentikan langkahnya. Suara aneh terdengar samar, membuat bulu kuduknya meremang seketika.
“Ahh … Mas … pelan-pelan …” suara desahan wanita terdengar.
Disusul dengan suara berat yang sudah sangat dia hapal di luar kepala, “Bukankah begini lebih nikmat? Kamu memang bikin aku gila, Sayang …”
Tubuh Niken mendadak kaku. Tangannya mengepal erat hingga buku-bukunya memutih.
Tidak mungkin … itu bukan Bima, kan? pikirnya, tapi rasa sakit di dadanya justru semakin kuat.
Dengan napas terengah, ia memberanikan diri memutar gagang pintu. Pintu terbuka perlahan, dan pemandangan yang ada di hadapannya membuat air matanya jatuh seketika.
Disana, Bima, kekasih yang sangat dia sayangi, tengah bercinta dengan seorang wanita di atas meja kerja. Tubuh mereka saling menyatu tanpa malu, tanpa peduli dimana mereka berada saat ini.
Bucket bunga yang dipegang Niken pun terjatuh. Suara itu membuat kedua orang itu menoleh.
“Ni … Niken?!” Bima terperanjat, wajahnya pucat seketika. Lelaki itu buru-buru menaikkan celananya. Sementara wanita dibawahnya hanya menurunkan roknya dengan cepat sambil menyeringai sinis, seolah mengejek keberadaan Niken.
Air mata mengalir di pipi Niken tanpa bisa dia tahan. “Ini yang kamu sebut meeting, Mas? Kamu lebih memilih bercinta dengan wanita itu ketimbang hadir di wisudaku? Jahat kamu, Mas!”
Bima panik, berusaha menghampiri kekasihnya.
“Niken, tunggu! Ini nggak seperti yang kamu lihat. Aku bisa jelaskan!”
Namun, Niken mundur selangkah demi selangkah, kepalanya menggeleng keras.
“Jelaskan apa, Mas? Semua yang aku lihat sudah jelas! Bodohnya aku, selama ini percaya semua alasanmu. Aku pikir kamu sibuk kerja untuk masa depan kita. Ternyata … kamu malah sibuk bermain gila dengan wanita lain.”
“Sayang, please, jangan pergi. Aku khilaf, aku—”
“Berhenti panggil aku sayang!” potong Niken dengan suara parau.
Hati Niken serasa dicabik-cabik. Ia tak bisa membendung air matanya lagi. Malam yang seharusnya dipenuhi cinta berubah menjadi neraka yang menelan seluruh dunianya.
Niken berlari keluar dari gedung megah itu dengan air mata yang membasahi pipinya. Suasana malam yang dingin tak mampu menyejukkan hatinya yang hancur lebur. Napasnya terengah, tubuhnya gemetar, ia pun duduk di bawah derasnya guyuran air hujan.
Kenapa harus aku yang dikhianati? Kenapa cinta tulus yang aku beri justru dibalas dengan pengkhianatan?
Di bawah gemerlap lampu jalan, Niken terus berjalan tanpa arah.
“Niken! Tunggu!” suara Bima memanggil dari kejauhan.
Niken berhenti, menoleh, matanya masih dipenuhi air mata. Bima menyusulnya dengan wajah tegang, nafasnya memburu.
“Niken maafkan aku … aku salah. Kumohon dengarkan dulu penjelasanku.” Adrian menggenggam pergelangan tangannya.
Niken berusaha menarik tangannya, tapi genggaman Bima terlalu kuat. “Lepaskan aku, Bima! Kau sudah menghancurkan segalanya! Aku sudah melihat dengan mataku sendiri. Apa lagi yang ingin kau katakan?!”
Bima menunduk, suaranya lirih tapi matanya berkilat aneh. “Aku … aku tidak bisa kehilanganmu, Niken. Kau terlalu tahu banyak tentangku, tentang pekerjaanku, tentang semua hal yang seharusnya tidak kau campuri …”
Niken membulatkan matanya. “Apa maksudmu?”
Dalam sekejap, sesuatu yang dingin dan tajam menancap di perutnya. Mata Niken terbelalak. Tangannya refleks meraih sumber rasa sakit itu. Disana, tengah menancap sebuah pisau lipat yang berlumuran darah.
“Bi … Bima …?” suaranya pecah, tak percaya Bima tega melakukan ini padanya.
Bima menatapnya dengan wajah dingin, berbeda dari pria yang selama ini ia cintai. “Maafkan aku, Niken. Tapi kamu terlalu berbahaya bagiku jika aku biarkan hidup.”
Tubuh Niken melemah, darah mengalir membasahi bajunya. Ia terhuyung, terjatuh ke tanah yang basah oleh sisa hujan. Lampu jalan memantulkan sinar redup di wajahnya yang pucat.
Air matanya bercampur dengan darah. Di detik terakhir kesadarannya, Lin menatap langit malam dengan senyum getir. Jadi … begini akhir kisah hidupku?
***
Niken merasa dadanya nyeri sekali. Tubuhnya berat, kepalanya pening. Terakhir yang ia ingat, Bima menusuk perutnya. Lalu, semuanya gelap.
Sekarang…?
Kelopak matanya bergetar. Samar-samar terdengar suara ribut-ribut. Aroma obat-obatan tradisional bercampur dupa menyengat hidungnya.
“Dia pingsan, cepat ambil air!”
“Jangan gegabah, dia ini tabib yang akan menyembuhkan permaisuri. Kalau dia mati, kita bisa dipenggal!”
Telinganya menangkap percakapan asing.
“Ugh…” Niken meringis sambil memegang perutnya. Tubuhnya terasa berat, kepala pening seolah habis dilindas truk.
Apakah … aku sudah mati? Tragis sekali hidupku! Seorang dokter jenius berpredikat cumlaude mati ditusuk pacarnya sendiri demi membela sang selingkuhan? Cih … karma macam apa ini …
Pelan-pelan, Niken membuka matanya. Dia bukan berada di ruang UGD atau jalanan tempat ia tergeletak tadi malam. Melainkan sebuah atap kayu berukir naga, tirai merah menjuntai, dan aroma obat-obatan herbal menyengat menusuk hidungnya.
“Eh … aku di mana? Ini bukan rumah sakit, kan? Kok, aku kayak berada di istana jaman dahulu? Nggak mungkin kan aku mati di tempat syuting film korea!”
Niken hendak bangun, tapi begitu menoleh, ia hampir terloncat dari ranjang. Tangannya … kecil, pucat, dan berpakaian jubah panjang ala tabib kuno!
“Apa-apaan ini?! Apa aku sudah jadi kuntilanak … dan memakai daster panjang? Tapi, kenapa di tanganku ada botol porselen? Mana stetoskopku?!”
Tiba-tiba seorang pelayan muda masuk sambil membawa nampan penuh botol porselen. “Tabib Xin! Anda sudah sadar?! Syukurlah, kami hampir mengira Anda tidak selamat setelah pingsan karena dipukul Kaisar semalam.”
Lin tertegun. “Tabib … Xin? Jadi … aku bukan Niken yang kemarin lagi? Aku … berada di jaman kuno?!”
Pelayan itu menatapnya bingung. “Eh? Tentu saja Anda Tabib Xin, tabib jenius istana yang dipercaya langsung oleh Yang Mulia Kaisar. Hanya saja, karena insiden yang tidak sengaja, Anda terpukul oleh Kaisar.”
Niken menutup wajahnya dengan tangan. Ya Tuhan … aku mati secara tragis, eh malah hidup lagi di tubuh tabib kuno. Dari dokter spesialis bedah modern … jadi tabib istana?! Astaga! Apa-apaan ini?
Pelayan nyaris ternganga. Mengapa tabib jenius ini bicara aneh sekali?
Belum sempat mencerna lebih jauh, suara tegas menggema dari luar.
“Bagaimana keadaan Tabib Xin?”
Pintu terbuka. Seorang pria tinggi berseragam mewah masuk, wajahnya setampan dewa patung Yunani tapi auranya bikin merinding. Rahangnya yang tegas, hidungnya yang mancung mirip seperti tokoh-tokoh CEO yang sering dia lihat di dram korea. Orang yang dipanggil Kaisar itu mengenakan jubah emas terlihat lebih tampan dan berwibawa dari Bima kekasihnya. Gantengnya ...