AS 10 || Tangisan

1012 Words
"Hai Mam. Kapan datang? Kok ngga kasih kabar dulu sih kalau mau datang." sapa Clara seceria mungkin. Ia menyalami tangan ibu mertuanya tak lupa sebuah pelukan untuk Rini. Rini membalas pelukan menantunya itu. "Gapapa sih iseng aja datang sendiri. Kenapa memangnya? Apa mama harus ijin dulu untuk datang ke sini?" "Eh ngga gitu Ma. Ya takutnya pas mama ke rumah aku dan Ed ngga ada dirumah kan kasian mama celingak celinguk sendiri." kilah Clara. Rini hanya beroh ria. Ia kembali melanjutkan masaknya. "Mama masak apa? Kenapa ngga di masakin Chef Arnold aja sih Ma. Kan enak tinggal makan ngga perlu repot-repot masak." Rini menatap menantunya itu. Sepertinya sang menantunya itu tak tahu satu pun bumbu dan bahan masakan. Ia hanya tahu duduk manis dan makanan datang dengan sendirinya. Tak perlu repot memasak. "Mama lebih suka mengolah sendiri masakan daripada meminta Chef atau siapapun itu namanya. Enak ngga enak yang penting hasil masakan kita, suami bakalan senang." 'Geblek nih tua bangka. Pake nyindir gue lagi. Sialan!!' "Tapi kan Clara ngga bisa masak Ma. Lagian malesin banget berkutat di dapur kayak gini. Ih jorok iyuh..." "Kamu kan bisa belajar cara memasak paling sederhana sama Chef kamu. Kalau mama jadi kamu, mama pasti bakalan banyak belajar tentang resep-resep baru dari Chef kamu." Lagi-lagi Clara merasa tersindir dengan ucapan mertuanya. Ia pun menggerutu saking kesalnya. Saat Rini menatapnya Clara tersenyum seolah mengiyakan ucapan Rini. "Loh kok malah pada ngerumpi di dapur sih. Ayo kita makan Ma. Udah mateng kan?" tanya Edward yang baru muncul setelah selesai mandi. "Udah Ed baru aja mateng. Clara tolong siapin semuanya ya. Mama capek habis masak." titah Rini sengaja membuat Clara kesal. Clara melongo. "Apa?! Kok aku sih Ma. Kan mama yang masak kenapa aku yang harus hidangin segala. Ya mama donk gimana sih." Protes Clara. Rini menatapnya tajam. "Kamu berani membantah Mama? Ya udah kalo kamu ngga mau kamu ngga usah ikut makan." "Iya iya." gerutu Clara kesal. Edward tersenyum melihat Clara yang bete abis di suruh-suruh oleh mamanya. "Ayo Ma kita duduk di meja makan. Kita tunggu istriku yang cantik menghidangkan makan malam kita." ucap Edward menyindir Clara. Rini tertawa. Ia mengikuti putranya menuju ruang makan menunggu Clara menyiapkan menu makan malam mereka. *** Sementara itu di tempat lain Anggita tengah membeli kopi di cafe kecil di sudut lobby rumah sakit. Ia masih memikirkan ucapan Edward dan Clara tadi siang saat selesai pemeriksaan. Saking asiknya melamun, ia sampai tak mendengar namanya di panggil. Setelah tiga kali panggilan akhirnya Anggita pun berdiri dan mengambil pesanan kopi dan beberapa biji croissant. Ia pun kembali ke kamar sang adik di lantai 10. "Lama banget sih kak. Beli kopi dimana? Di Baghdad ya beli kopinya. Lama beud." sindir Seno saat melihat kakaknya masuk ke dalam kamarnya. "Sorry kakak keasikan melamun tadi. Makanya lama. Nih croissant pesenan kamu." Anggita menyodorkan bungkusan yang berisi Croissant. "Kakak mau?" Anggita menggelengkan kepalanya. "Buat kamu aja." Ia memilih meminum kopi pesanannya. "Oya Kak kata dokter operasinya tiga hari lagi." "Beneran? Secepat itu?" Seno mengangguk. "Tadi dokter Andre yang bilang pas visit tadi pagi." Anggita mengelus kepala adiknya. Matanya berkaca-kaca. "Semoga lancar ya dek. Kakak udah ngga sabar lihat kamu sehat lagi. Udah cukup kamu sakit-sakitan terus." "Amin kak. Aku juga ngga mau nyusahin kakak terus. Pokoknya setelah aku sembuh nanti, kakak ngga perlu kerja keras lagi. Giliran aku yang biayain hidup kakak." Anggita tertawa. "Oke siap." "Eh tapi kan Kakak ada kak Edward yang kaya raya. Setidaknya aku bisa tenang kalo kakak bersuamikan kayak kak Edward." "Mana bisa. Dia udah punya istri. Kakak cuma jadi barang untuk mengandung anaknya doank ngga lebih." ucap Anggita dengan agak berat hati. "Lagipula kakak ngga suka sama manusia es kayak dia. Ngga ada romantis romantisnya itu manusia. Ngeselin tahu." ucap Anggita kesal tiap kali mengingat kelakuan Edward." Seno tertawa. "Belum apa-apa udah terpesona." Anggita kembali memukul punggung adiknya. "Asal nyeplos aja itu mulut. Kamu kangen di tampol kakak ya." "Wah mana berani melawan juragan. Aku cuma lihat kalo kakak mulai ada rasa sama kak Edward. Begitu juga dengan kak Edward. Siapa tahu kan kalian jodoh." "Ngga usah halu ketinggian entar jatoh terus patah tulang baru nyaho." "Ngeri kali mak..." *** Keesokan harinya. "Gimana kemarin?" tanya Edward kepada Thomas saat mereka dalam perjalanan menuju kantor. "Kemarin nona Anggita ngga pulang ke Apartemen. Dia menginap di rumah sakit menemani adiknya." Edward manggut-manggut. "Oiya Pak lusa adiknya akan di jadwalkan untuk operasi transplantasi ginjal." lapor Thomas lagi. "Baguslah semakin cepat semakin baik. Kamu udah menelpon dokter Christ untuk mengoprasi Seno?" "Dokter Christ hari ini akan tiba di Indonesia dan akan memulai mengobservasi Seno keesokan harinya." "Bagus. Aku ngga mau semua berjalan lancar tanpa kendala. Pastikan itu." Thomas mengangukkan kepalanya. Sesampainya di kantor, Edward melihat Anggita berjalan keluar kantor. Ia meminta Thomas untuk naik terlebih dahulu sedangkan dirinya mengikuti kemana Anggita pergi. Ia sempat celingak-celinguk mencari keberadaan Anggita. Ia nyaris menyerah sampai akhirnya ia mendengar suara Anggita dari balik pilar besar yang menutupi tubuhnya. Gadis itu tampak menangis berbicara dengan seseorang. Setelah di amati dengan lebih seksama ternyata Anggita tengah menelpon keluarganya. Ia tampak frustasi karena baik ayah maupun sang ibu tak peduli dengan Seno yang akan di operasi. "Apa kalian tidak bisa datang meski hanya sebentar? Apa aku dan Seno sudah tak ada lagi di dalam kehidupan baru kalian?!" ucap Anggita penuh emosi. "Tolong Yah. Anggi minta tolong Ayah atau Ibu untuk datang sebentar saja untuk mendukung Seno." ucapnya memelas. Air matanya sudah tak bisa dibendung lagi. Edward mengeratkan tangannya dengan kuat melihat airmata mulai membasahi wajah gadis itu. Ia tak habis pikir bagaimana bisa ada orang tua yang tak peduli sama sekali dengan anaknya sendiri. Edward tak tahan lagi berdiam diri melihat Anggita menangis frustasi karena penolakan orang tuanya. Ia berjalan menghampiri gadis itu lalu menariknya ke dalam pelukannya. Anggita menangis meraung-raung dalam dekapannya. Hatinya terasa sakit melihat itu semua. Ia hanya bisa memeluknya dengan erat dan mencoba menenangkannya. "Jangan menangis. Kamu masih punya aku." ucap Edward berbisik. Anggita meremas kemeja Edward dengan erat. Saking terlalu emosional, Anggita merasa kepalanya pusing dan akhirnya ia tak sadarkan diri. Edward panik. Ia mencoba membangunkan Anggita tapi gadis itu tak kunjung siuman. Akhirnya ia membawa Anggita pergi menjauh dari kantor. Manusia es itu terlihat sangat khawatir. *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD