2. Tatapan Membunuh

1708 Words
“Heh, Ranti! Kalau punya anak itu dididik yang benar. Masih untung dikuliahkan di tempat mahal. Bareng sama Abs lagi. Kuliah itu bukan untuk main-main. Kasih tahu anakmu itu! Pulang kuliah malah keluyuran. Apa pantas anak gadis pulang jam segini?!” tuduh Oma dengan nada geram. Oma menghakimiku tanpa bertanya terlebih dahulu alasanku pulang terlambat. Seharusnya ia bisa melihat pakaianku yang basah kuyup dan tubuhku yang menggigil lantaran menahan dingin. Apakah nenek tua ini mendadak buta? Kurasa tidak. Oma hanya senang mencari-cari kesalahanku saja. Harinya tidak terasa sempurna jika tidak mengomel dan memarahiku atau memarahi Mama. “Oma, Rissa pulang terlambat karena menunggu—” “Sudah, Rissa,” potong Mama, lalu dengan penuh sesal ia meminta maaf pada Oma. “Bu, maafkan Rissa, ya.” Mama selalu melakukan hal itu ketika Oma menyalahkanku. Aku sebetulnya tidak menyukai sikap Mama yang terlalu gampang meminta maaf atas perbuatan yang sebenarnya bukan kesalahanku. Itu semua seperti mengiakan semua dugaan Oma. “Makanya, didik anak kamu dengan baik. Biar enggak bikin malu keluarga!” Nenek tua itu memalingkan muka sekan sangat jijik melihatku dan Mama. “Sekali lagi maafkan Rissa ya, Bu. Lain kali Rissa tidak akan melakukan hal seperti ini lagi.” Oma tetap tidak berpaling ke arah kami sampai Mama menyeretku ke bagian belakang rumah. “Ma, Mama kenapa, sih, selalu meminta maaf untuk Rissa? Rissa nggak salah, Ma,” kataku meyakinkan Mama saat kami mencapai dapur. “Mama tahu, Riss.” “Lalu, kenapa Mama tadi minta maaf sama Oma?” “Mama nggak mau ada keributan, Rissa. Kamu ngerti posisi kita di rumah ini seperti apa.” Kami melanjutkan langkah sampai di halaman belakang di tepi kolam ikan kecil. Mama mengambil handuk dari tempat jemuran sementara aku duduk di kursi bambu di seberang kolam. Hanya di tempat ini kami bisa bersantai. Hanya di sudut inilah kami bisa mengobrol dan meluapkan perasaan dengan bebas. Satu-satunya tempat yang tersisa untukku dan Mama untuk berbagi rasa. Mama lalu menyelimutiku dengan handuk. Melihat raut wajah Mama, aku tahu apa yang dipikirkan dan dirasakannya. Mama pasti selalu merasa serba salah selama tinggal di rumah ini. Namun, Mama rela mendapat perlakuan yang tidak patut diterimanya sebagai menantu keluarga ini hanya demi cintanya pada Papa. Aku tidak mau menambah bebannya lagi. Aku akan berhenti memaksa Mama membelaku. “Kamu kenapa sampai basah kuyup kayak gini, Ris?” “Rissa menunggu Papa menjemput, Ma, tapi, Papa nggak datang-datang. Jadi, Rissa naik bus dan kehujanan tadi.” “Mungkin Papamu sedang sibuk. Ya, sudah. Sekarang lekas ganti bajumu. Kamu bisa masuk angin kalau kelamaan memakai baju basah.” “Iya, Ma.” Aku menuruti saran Mama. Aku segera naik ke lantai atas menuju ke kamarku. Sejumput rasa sakit menyelinap ke dalam hati saat aku melintasi kamar yang terdekat dengan tangga. Penghuni kamar itu benar-benar tidak punya hati. Abraham Aleysio Pratama adalah kakak paling jahat yang pernah ada dalam sejarah. Aku terus menyumpahi Abs dalam hati sampai tiba di kamarku yang terletak di ujung lorong dan terpisah beberapa ruangan dari kamar Abs. Tidak terasa wajahku kembali basah. Bukan karena air hujan, tapi karena air mata yang tumpah tanpa kusadari. Entah sudah keberapa puluh kalinya Abs membuatku menangis selama aku tinggal di rumah ini. Aku hanya merasa tidak diperlakukan dengan adil. Darah yang mengalir ditubuhku dan Abs sama. Aku dan dia adalah anak-anak Tjandra Pratama, tetapi kenapa harus selalu Abs yang diperlakukan seperti pangeran? Apa salahku hingga seluruh anggota keluarga ini membenciku? Apa karena aku hanya anak seorang selir? Oh, God. Seburuk itukah penilaian mereka terhadapku dan Mama? Setelah mengganti pakaianku dengan piama, aku hanya memikirkan soal ketidakadilan ini hingga larut malam. Tepatnya hingga suara perutku berkumandang karena lapar. Aku turun ke ruang makan, lalu membuat roti lapis isi selai nanas dan memakannya secepat yang kubisa. Aku tidak ingin berlama-lama di ruang makan. Pasalnya, mataku sudah mulai terasa berat. Namun, cahaya terang dari ruangan kerja Papa yang terletak di seberang ruang makan mengganggu penglihatanku. Setelah meneguk segelas air putih, aku berusaha memeriksa ruangan tersebut. Siapa tahu Papa lupa mematikan lampunya. Damn! Papa tiba-tiba keluar dari sana dan sukses membuat jantungku berdebar dua kali lebih kencang. Aku sangat terkejut dan aku yakin Papa pun mengalami hal serupa. “Rissa, ngapain kamu di sini?” “Habis makan sandwich, Pa. Rissa lapar. Oh, iya. Kenapa Pak Asan tadi siang tidak menjemput Rissa? Rissa menunggu sampai petang, Pa. Rissa pulang naik bus dan kehujanan.” Papa mengusap lembut kepalaku. Hawa sejuk tiba-tiba mengaliri tubuhku. Sedihku sedikit terobati dengan kasih sayang yang Papa tunjukkan. Persaanku mengembang lega, masih ada Papa yang selalu menyayangiku dan Mama. “Maafkan Papa, ya. Papa ada sedikit urusan mendadak sampai Papa lupa menghubungimu.” “Iya, tidak apa-apa, Pa. Rissa mengerti.” “Ya, sudah. Sekarang kamu tidur, besok pagi kan kamu kuliah.” Aku mengangguk. “Iya, Pa. Papa juga ya. Jangan begadang terus. Ingat kesehatan Papa. Selamat malam, Pa.” “Malam, sayang.” Aku kembali lagi ke kamar lalu mengambil salah satu novel lawas favoritku karya R.L Stine dan membawanya ke tempat tidur. Sudah menjadi kebiasaanku, sebelum tidur aku harus membaca terlebih dahulu. Mataku masih terasa lengket dan tubuhku masih ingin berlama-lama bercengkerama dengan selimut dan kasur saat Mama membangunkanku. Aku hampir saja tidak mendengar ucapan Mama lantaran mata, telinga, dan pikiranku tidak mau diajak kerja sama. Namun, omelan Mama yang terus menerus menggema membuatku benar-benar terjaga. “Rissa, ayo dong bangun! Kamu harus berangkat kuliah. Baru hari kedua masa sudah malas sih?” “Iya, Ma. Rissa sudah bangun nih.” Aku menurunkan kaki dari ranjang menunjukkan pada Mama kalau aku sudah terjaga. “Cepat mandi sana! Oma dan yang lain sudah menunggu di bawah untuk sarapan.” “Oke, Ma. Rissa cuma butuh waktu sepuluh menit untuk mandi dan bersiap-siap.” “Ya, sudah. Cepetan ya! Mama menunggu di bawah.” Aku menautkan jempol dan telunjukku membentuk kode ‘oke’. Secepat mungkin aku mandi dan bersiap-siap. Aku tidak mau nanti Oma menyalahkan Mama lagi karena aku bangun kesiangan. Seperti hari kemarin, aku menunggu Papa untuk mengantarku ke kampus setelah selesai sarapan. Aku melirik arloji di tangan kananku. Sudah hampir jam 07.30. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Aku bisa terlambat. Berkendara di pusat kota Jakarta, weekday, di pagi hari sama saja dengan melatih otot jantung dan emosi. Bersyukur jika tidak macet. Namun, kendaraan-kendaraan yang mengular di sepanjang ruas jalan bukanlah hal yang mustahil. Papa kembali ke ruang kerjanya seusai menyantap sarapan. Tidak sabar, aku mengikuti Papa ke sana. “Papa nggak berangkat ke kantor? Rissa sudah terlambat nih, Pa.” Pertanyaanku menghentikan langkah Papa sebelum mencapai meja kerjanya. Papa menepuk dahinya agak kuat hingga berbunyi, plak! “Ya Tuhan, Papa lupa. Sayang, kamu berangkat ke kampus bareng Abs, ya. Papa tidak bisa mengantarmu. Papa masih ada kerjaan.” Tidak biasanya Papa memintaku berangkat bersama Abs. “Tapi, Pa ….” “Kamu berangkat sama Abs. Pak Asan masih isi bahan bakar. Nanti kamu terlambat.” Papa hafal betul aku dan Abs tidak pernah akur sehingga akhirnya Papa menuntunku ke garasi. Sesampainya di sana, aku melihat Abs sudah rapi dengan setelan jeans dan kaus polo hitam yang membalut tubuh atletisnya. Dia sudah bersiap-siap akan masuk ke mobil sport-nya. “Abs, berangkat bareng adik kamu, ya,” pinta Papa. Abs tidak merespons permintaan Papa. Ia justru mengarahkan tatapan setajam siletnya padaku. Bentuk wajahnya yang tegas tanpa senyuman membuatku merinding. Abs berdecak kesal. Ia mengalihkan tatapannya ke arah Papa sambil memprotes. “Yang benar saja, Pa? Memang Pak Asan ke mana, sih?” Penolakan Abs sudah biasa bagiku, tapi tidak untuk Papa. Papa merasa geram dengan respons anak sulungnya itu. “Carissa berangkat sama kamu! Pak Asan sedang mengisi BBM. Sudah, jangan ada alasan lagi! Papa sedang banyak kerjaan.” Suara Papa yang mulai meninggi membuat Abs tidak bisa menolak perintahnya. Abs mengeraskan rahang dan melayangkan tatapan membunuhnya padaku. “Ya sudah. Cepat masuk!” Aku masuk ke mobil Abs. Ini kali pertama aku duduk di mobil mewah Abs. Lumayan. Rasanya tidak jauh berbeda dengan mobil Papa. Sepanjang perjalanan, kami saling diam. Aku mencuri lihat dari spion dalam, raut wajah Abs memang sangat tidak bersahabat. Bibirnya mengatup rapat, tatapan tajam di bawah alisnya yang tebal mengarah lurus ke depan, dan rahangnya yang membentuk garis tegas membuat wajah tampan Abs tampak sedikit menakutkan. Aku hanya berharap perjalanan ini tidak terlalu lama. Berada satu mobil dengan Abs membuat energiku terkuras. Resah, marah, dan sedih itu membutuhkan energi yang sangat banyak. Sial, energi yang dihasilkan dari sarapan tadi terbuang sia-sia. Thank you, Lord. Akhirnya kami tiba di pelataran parkir kampus. Baru saja melepas sabuk pengaman, seruan Abs membuatku tercengang. “Jangan harap aku akan pergi denganmu lagi. Ini yang pertama dan terakhir. Keluar!” Abs tak pernah berbicara lembut padaku. Dia selalu sekasar itu. Aku hanya bisa menahan napas. Sudah bertahun-tahun lamanya dan dia semakin membenciku dari hari ke hari. Apa salahku, Abs? Abs berjalan di depanku dan dengan cepat dia menyusuri koridor kampus. Aku mengikutinya di belakang. Aku tahu saat ini hampir semua mata tertuju pada kami. Mungkin mereka pikir kami adik-kakak yang harmonis, tetapi kenyataannya tidak sama sekali. Abs bahkan tak mau berjalan berdampingan denganku. “Helo, beautiful!” Entah dari mana Andra muncul. Tiba-tiba ia sudah berjalan di sampingku. Tidak canggung, ia merangkul pundakku sambil melempar candaan khasnya, senyum-senyum tidak jelas. “Tumben bareng Ka-kak?” tanya Andra sedikit menekan pada kata ‘kakak’. “Pak Asan nggak bisa nganter.” Andra tetap meletakkan tangannya di pundakku sampai kami tiba di depan kelasku. Dia memang sok akrab, tapi aku senang karena setidaknya orang lain akan menganggapku punya teman. “Sudah, ya. Gue nganter lo sampe di sini aja. Gue nggak ikut masuk. Takut disuruh tutup pintu dari luar sama dosen lo.” Andra menempelkan telunjuknya di ujung hidungku. “Makasih, ya, Kak.” Aku tersenyum geli mendengar celoteh pagi Andra. Disuruh tutup pintu dari luar? Diusir dong. Pria ini selalu bisa membuatku tersenyum dengan segala tingkah dan ucapannya. Aku memandang punggung Andra yang berjalan kian menjauh dari tempatku berdiri. Aku bersyukur masih ada teman seperti Andra yang bisa sedikit menghiburku. Semakin bayangan Andra tampak samar-samar dan kemudian menghilang, semakin jelas bayangan lain terlihat di ujung koridor. Abs sedang menatapku dengan tatapan berapi-api yang siap membakar dan membunuhku. Oh, my God!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD