3. Mario Grissham

1577 Words
Aku menangkap tatapan mencela Abs. Abs memang tidak pernah suka kalau ada temannya akrab denganku. Bagi Abs, aku hanyalah seorang anak simpanan ayahnya yang tak pantas disepadankan dengannya. Aku berjalan masuk sambil sedikit menunduk ke ruang kelasku. Setelah duduk di kursiku, aku mencoba mengatur napas agar tenang kembali. Aku selalu merasa takut saat Abs menatapku seperti itu. “Woiii!” Suara cempreng dan remasan di pundak membuat jantungku berdegup kencang. Refleks, aku celingukan mencari sumber suara yang membuat dadaku hampir meledak. “Lita! Lo bikin jantung gue hampir copot, tahu!” seruku agak sedikit kesal. “Sorry. Habisnya gue perhatiin, elo dari tadi ngelamun terus. Jangan ngelamun, ntar kesurupan.” Gelak Talita meledak dengan nyaring. “By the way, lo ngelamunin, apaan or siapa sih?” tanyanya lagi. Talita kemudian menarik kursi di sebelahku dan duduk di sana sambil bertumpang kaki. Ia kemudian menggulung lengan kemejanya hingga ke siku seraya berkata, “Oh, gue tahu. Elo pasti lagi mikirin Si Andra, ya?” “What? Bukan. Gue laper. Tadi nggak sempat sarapan,” balasku berpura-pura. “Kirain ngelamunin si Andra. Lo cocok sama si Andra, Beb, and gue cocok sama abang lo. Kita bakal jadi phenomenal couples sepanjang masa kalau itu sampai kejadian.” Talita mengangkat tinggi dagunya dengan percaya diri. “Kebanyakan ngayal lo!” tepisku menggugurkan khayalan tingkat dewanya Talita. Aku tahu kebanyakan gadis, mungkin hampir semua gadis, di kampus ini berharap bisa menjadi kekasih Abs. Siapa yang tidak mau menjadi kekasih seorang Abraham Aleysio Pratama? Dengan wajah dan tubuh yang nyaris sempurna, ditambah materi serta kemampuan yang membuatnya dilabeli “lady killer”, sepertinya Abs dengan mudah bisa menarik perhatian semua gadis. Namun, tidak bagiku. Sebagai adik yang tidak pernah diakuinya, aku merasa Abs seperti monster jahat yang selalu ingin mencabik dan menelan korbannya. *** Sepulang kuliah aku mendapati Papa tengah duduk lemas di kursi malas sambil menaikkan kedua kakinya ke meja rotan tempat biasa aku dan Mama bersantai dan berbagi cerita. “Jadi, Papa hari ini nggak berangkat ke kantor? Kenapa, Pa? Papa sakit?” Aku duduk di kursi sebelah Papa. “Nggak, Sayang. Papa baik-baik saja. Sudah, sana kamu makan dulu. Jangan suka telat makan, nanti kamu sakit.” Aku melihat ada yang tidak beres dengan Papa. Tidak biasanya Papa duduk santai bermalas-malasan karena Papa adalah seorang pekerja keras dan pemimpin perusahaan yang bijaksana. Ah, tapi mungkin Papa sedang ingin beristirahat karena lelah. Selama hidupnya, aku menyaksikan Papa mengabdikan dirinya untuk keluarga, terutama perusahaan yang dibangun oleh leluhurnya. Aku meninggalkan Papa di sana untuk kembali ke kamarku. Sampai larut malam, aku masih melihat Papa duduk di kursi malas di taman belakang. Namun, kali ini Papa ditemani kedua istrinya dan Oma. Aku mengintip dari balik daun jendela yang terbuka. Sayup-sayup aku mendengar perbincangan mereka. “Bagaimana semuanya bisa terjadi, Tjandra?” Suara Oma terdengar meninggi. “Iya, Bu. Produksi kita akhir-akhir ini mengalami penurunan drastis. Jadi, saya memberanikan diri meminjam dana dari perusahaan Pak Mario. Awalnya dia tidak mengajukan syarat apa pun. Namun, belakangan saat saya tidak menepati janji untuk mengembalikan dana yang saya pinjam dan dia meminta pembayaran ditukar dengan saham perusahaan, Bu,” kata Papa dengan suara tertahan. “Lalu, kamu memberikannya?” Oma terdengar murka. “Saya tidak punya pilihan, Bu. Dia mengancam akan memenjarakan saya kalau sampai batas waktunya saya tidak bisa membayar pinjaman saya. Kalau nanti saya dipenjara, bagaimana nasib keluarga kita, Bu?” “Berapa banyak yang kamu berikan?” “Hampir 45 persen, Bu.” “Apa?! Tjandra, kamu keterlaluan! Kamu memberikan saham perusahaan kita sebanyak itu? Perusahaan itu dibangun dengan susah payah oleh ayah dan kakekmu!” Oma lebih meninggikan suaranya. Kemurkaannya tak bisa lagi meredam nada bicaranya sampai aku bisa mendengarnya dengan sangat jelas. “Bu, 45 persen saham yang saya berikan itu masih belum setengahnya untuk membayar utang saya pada Pak Mario.” “Ya Tuhan. Tjandra, kamu benar-benar menghancurkan kerja keras ayahmu, Nak. Berapa yang kamu pinjam?” Oma meratap. Suaranya yang bergetar menggambarkan kekecewaan dan kesedihan yang mendalam di hati wanita tua itu. “Dua triliun, Bu. Hampir seharga perusahaan dan aset kita. Sebetulnya, bisa saja dia mengambil alih perusahaan dan aset kita, Bu, tapi dia hanya meminta 45 persen saja saham kita,” kata Papa terbata-bata. “Dengan memberikan sejumlah itu artinya kamu sudah memberikan perusahaan kita padanya, Tjandra. Kita sudah tidak bisa lagi menjadi pembuat keputusan untuk perusahaan. Sekarang semua keputusan akan jadi milik si Mario itu,” sergah Oma. “Maafkan Tjandra, Bu. Tjandra tidak bisa menjalankan perusahaan dengan baik.” Kulihat Papa bersimpuh di kaki Oma, lalu memegang tangan wanita yang tadi sempat histeris itu. Sementara itu, kedua istrinya hanya terdiam menyaksikan perdebatan sang suami dan ibunya. “Pokoknya, Ibu tidak mau tahu kamu harus bisa menarik kembali saham kita!” Oma pergi meninggalkan Papa, kemudian disusul Mama Lastri yang mengejar Oma. Aku melihat beban yang sangat berat dalam diri Papa sekarang. Papa memeluk Mama, lalu menangis di pelukannya. Sekuat apa pun pria, ada saatnya dia memerlukan seseorang untuk menguatkannya. Aku tertegun melihat pemandangan itu. Betapa Papa sudah berjuang keras untuk keluarga ini. Mengurus sebuah perusahaan besar tak semudah yang dibayangkan. Keruh dan kusutnya pikiranku membuatku terjaga hampir semalaman. Aku memikirkan Papa. Aku merasa iba. Papa tidak boleh mendapat perlakuan yang sama seperti aku dan Mama. Cukup kami saja yang diperlakukan tidak adil. Tidak untuk pria yang selama ini berjuang dan menyayangi kami. Diam-diam, aku pergi ke ruang kerja Papa. Aku hanya ingin mencari tahu tentang Pak Mario yang dibicarakan Papa tadi. Aku membuka laptop Papa dan mencari file yang berhubungan dengan Pak Mario. Yes! I got it! Aku mendapat informasi tentang pria itu. Sepulang kuliah, aku membuat alasan agar Papa tidak menjemputku. Aku meyakinkannya bahwa aku sedang mengerjakan tugas dari seorang dosen killer bersama Talita. Berbekal informasi yang kuperoleh semalam, aku mendatangi perusahaan Pak Mario. Namun, si resepsionis dan seorang petugas keamanan menghalangiku untuk bertemu dengan Pak Mario. Mereka berdalih aku harus membuat janji terlebih dahulu baru bisa bertemu dengan bos mereka. Aku tidak sabar. Kurasa, aku tidak akan mempunyai kesempatan lagi selain hari ini. Aku menerobos petugas keamanan dan berlari menuju lift. Beruntung, begitu memasuki lift, pintu lift langsung tertutup. Aku bingung saat harus menekan angka pada panel floor buttons. Pasalnya, aku tidak tahu di mana ruangan Pak Mario. “Mau ke lantai berapa, Nona?” Oh, hell. Suara maskulin yang menyapa pendengaranku membuatku bergidik ngeri. Bodohnya aku sampai tidak menyadari bahwa ada orang lain di dalam lift yang mungkin saja bisa menghubungi satpam untuk menangkapku. Pelan-pelan aku melirik ke arah sumber suara. Tatapku yang selevel dadanya menemukan jas abu-abu dengan kancing terbuka yang melapisi kemeja putih. Penasaran, kususuri tubuh atletis itu hingga ke pundaknya yang lebar dan ... WOW! Tiang mana tiang? Sepertinya aku butuh tiang untuk pegangan. Sosok yang berdiri di sampingku ini manusia atau jelmaan dewa Yunani? He is so cute. Tidak. He’s hot. Bentuk wajah sedikit kotak dengan tulang rahang yang tegas membuat pria itu tampak sangat cowok banget. Janggut tipis yang tumbuh memenuhi hampir separuh pipi dan dagunya menegaskan ketampanan yang dimilikinya. Huh! Aku mengembus napas dengan cepat. Berharap ia tidak mengenali keterkejutanku dengan akurat. Sedikit saja, bolehlah. Sepertinya pria itu tamu juga di gedung ini. Bedanya, ia tamu yang diundang, sedangkan aku penyusup. Mungkin. Aku hanya berspekulasi. “Mau ke lantai berapa?” tanya pria itu sekali lagi. “Mmm … ke lantainya Pak Mario,” jawabku gugup. “Mario who?” Pria itu tampak kebingungan. “Mario. The owner of this company, CEO, or whatever-lah.” Aku menegaskan ucapanku dalam bahasa Inggris karena dari rambutnya yang berwarna cokelat chessnut dan mata birunya, aku yakin ia bukan orang Indonesia. Aku pun menerka-nerka posisi si Mario itu di perusahaan ini. “Oh!” Hanya itu yang keluar dari mulut pria itu. Sesampainya di lantai 7, lift berhenti dan pintu secara otomatis pintunya terbuka. “Come on, follow me!” Pria itu mengajakku keluar dari lift. Mungkin dia tahu ruangan kerja Pak Mario. Akhirnya, ketemu orang baik juga. Aku berjalan mengikuti pria bule itu masuk ke ruangan bertuliskan CEO. “Come on!” Aku hanya menurut saja pada pria yang sudah mau membantuku itu. Aku masuk ke ruangan yang ditunjuk olehnya, tetapi aku tak melihat seorang pun di sana selain pria itu dan aku tentunya. Mendadak rasa takut dan curiga menyelimuti benakku. Ya Tuhan, di ruangan ini tak ada siapa pun. Bagaimana kalau pria bule ini macam-macam padaku? Aku melangkah mundur. Lebih mendekat ke pintu, lebih cepat aku bisa kabur dari pria bule itu kalau dia sampai bertindak macam-macam. Pria itu mengernyitkan dahi seraya menatapku. Mungkin ia melihat gelagatku yang ketakutan. Entahlah. “Kamu kenapa?” tanyanya. “T-tidak. Aku tidak apa-apa." Aku berpura-pura biasa saja meskipun sangat gugup, lalu aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. "Tadi kamu bilang, kamu akan mengantarku ke ruang Pak Mario. Tapi, ini ….” “Kamu mau ke ruangan Pak Mario, ‘kan?" Ia meyakinkanku. "Ini ruangannya.” “Yang benar saja? Di sini tak ada siapa pun. Kita bisa dikira penyusup masuk ke ruangannya tanpa izin.” Aku berbalik dan bersiap meninggalkan ruangan ini. “Siapa bilang nobody’s here? We’re here.” Pria itu mulai membuatku kesal. Aku terpaksa memutar posisiku lagi untuk berhadapan dengannya. “Sudahlah, ayo kita pergi saja dari sini! Nanti kalau ketahuan satpam jadi ribet deh urusannya.” “I'm Mario.," tuturnya. “Mario, who?” "Mario Grissham.” What?!!! Aku terpangah. Mataku melebar dan mulutku secara otomatis terbuka membentuk huruf O.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD