Bab 10. Emily

1010 Words
Dara meletakkan lagi satu cangkir kopi ke hadapan Juan untuk yang ke empat kalinya dalam satu jam terakhir. Dara menatap datar Juan yang kembali mencoba menyesap minuman yang disuguhkan olehnya. "Ini yang terakhir," ucap Dara. "Masih banyak tempat yang harus saya bersihkan, Pak," jelas Dara, berharap Juan mengerti. Dara tidak mengerti apa yang berbeda dari kopi buatannya yang satu dengan yang lainnya. Padahal ia sudah memasukkan gula dan kopi sesuai takarannya. Bahkan, air panasnya pun sesuai dengan apa yang disampaikan oleh pria itu. Lalu, apa yang salah? Ingin sekali Dara meneriaki kalimat itu. Namun, ia cukup waras untuk tidak melakukan hal tersebut di depan atasannya. "Mmm. Kopi yang ini lumayan di lidah saya." Juan mengangguk dengan ekspresi serius. Pria itu mengangkat cangkir kopi di wajahnya seraya menatap Dara. "Kamu bisa kembali bekerja." Juan dengan kata lain mengusirnya pergi dari ruangannya, membuat Dara menghela napas lega. "Kalau begitu, saya permisi." Dara membungkuk sedikit sebelum akhirnya ia memutar tubuhnya berjalan keluar dari ruangan Juan. "Ah, Dara." Dara yang sudah menarik handel pintu membeku sesaat saat mendengar suara Juan memanggil namanya. "Mau apa lagi 'sih?" Batin Dara mengomel. Rasanya ia mulai kesal dengan sikap Juan. Entah apalagi yang diinginkan oleh pria ini. Dara berbalik menatap Juan yang kini sudah memegang tenggorokannya. Dara menggigit bibirnya melihat sikap Juan yang terlihat sedikit kekanakan. "Saya haus. Belikan saya minuman di super market," titah Juan, membuat Dara mengerut keningnya. "Bukannya di ruangan bapak sudah ada minuman?" Dara melirik tempat air minum yang terletak di sebelah sofa dalam ruangan. "Itu minuman untuk tamu, Dara. Saya sendiri kalau minum harus dengan merek yang biasa. Kalau enggak, saya bakalan sakit perut." "Baik, Pak." Gadis itu menghela napas kemudian menganggukkan kepalanya. Dara berbalik pergi meninggalkan ruangan Juan untuk membeli minuman dengan merek yang sudah disebutkan oleh pria itu. Sementara Juan yang berada di ruangan tersenyum miring melihat Dara yang patuh dengan perintahnya. Juan memang sengaja meminta Dara untuk ini dan itu karena tak ingin Dara bekerja terlalu keras membersihkan ruangan dan sudut lain. Cukup di tempatnya saja, pikir Juan. Makan siang harusnya Dara berada di ruang tempat para karyawan cleaning servis sepertinya berada. Namun, saat ini ia justru berada di ruangan Juan dan dipaksa pria itu untuk makan siang bersama. "Saya enggak lapar," tolak Dara, untuk yang ke sekian kalinya. "Oh, ayolah Dara. Kamu harus makan. Kalau kamu enggak makan, kamu bisa mati kelaparan. Saya enggak mau lho ada karyawan saya yang mati kelaparan. Nanti apa kata orang-orang yang berpikir kalau perusahaan tidak peduli dengan karyawan kecil," oceh Juan dengan sekali tarikan napas. Pria itu menatap lekat Dara yang masih berdiri dengan nyaman tak jauh dari sofa tempatnya duduk. "Terima kasih. Tapi, saya menolaknya, Pak," sahut Dara mempertahankan penolakannya. Dara tak sudi jika harus makan dengan laki-laki ini. Ingin sekali ia cepat-cepat keluar dari ruangan agar tidak berada dalam satu udara dengan pria yang sudah menyakitinya beberapa tahun lalu. Kesal dengan penolakan Dara, Juan segera meletakkan sendoknya kemudian bangkit dari posisi duduknya. Tanpa kata, pria itu membopong Dara hingga membuat gadis itu terpekik karena terkejut dengan aksi Juan yang begitu tiba-tiba. "Turunkan saya, Pak!" Dara nyaris berteriak dengan wajah merona marah yang membuat Juan tersenyum miring. "Baiklah, Ratuku." Juan mendudukkan Dara pada sofa yang ia duduki tadi kemudian ia segera duduk dengan posisi berdempetan dengan gadis itu. Satu pahanya ia tindih ke atas paha Dara sehingga membuat gadis itu tidak bisa bergerak karena posisinya memang sudah stuck dengan lengan sofa. Dara yang merasa terpojokkan tak bisa melakukan apa-apa. Gadis itu melengos ke samping dan enggan untuk menatap ke arah Juan. Sementara Juan sendiri dengan senyum puas segera makan dengan lahap dan sesekali ia memberikan suapan pada Dara yang langsung mendapat penolakan. "Auh, tanganku sakit sekali." Tiba-tiba saja Juan meringis dan meletakkan sendok serta piring berisi nasi ke tangan Dara. "Tolong suapkan aku. Tanganku sakit sekali, Dara," kata Juan pada Dara. "Bapak jangan pura-pura." Dara mendengus menolak keinginan Juan. Mungkin Juan masih mengiranya sebagai gadis bodoh yang mudah di manipulasi seperti dulu, pikir Dara. "Benar, Dara. Ayo, suapi aku. Kalau enggak--" Juan segera mendekatkan bibirnya di telinga Dara. Pria itu berbisik, "saya enggak keberatan buat cium kamu di sini." Suara Juan yang mendadak serak membuat Dara merinding seketika. Gadis itu melirik ke arah Juan dan tahu jika pria itu tidak main-main dengan ancamannya. Menghela napas berat, akhirnya dengan tangan gemetar, gadis itu memberi suap demi suap Juan untuk makan. Sementara Juan yang merasa dimanjakan tidak bisa untuk tidak menyereringai senang dengan Dara yang menuruti keinginannya. Sementara di luar ruang kerja Juan. Emily tengah melipat tangannya di d**a seraya menatap datar seorang wanita dengan rambut pirang di depannya. Wanita yang memakai dress ketat dan hampir memperlihatkan bokongnya itu berdiri angkuh menatap Emily tajam. "Saya tahu Juan di dalam," ucap wanita itu berkata seraya menatap Emily. "Jadi, kamu enggak punya alasan buat halangi saya mau ketemu dia," tandasnya tajam. "Nona juga enggak punya alasan buat bertemu Pak Juan. Pak Juan enggak mau ketemu nona. Jadi, tolong putar balik tubuh nona dan langsung masuk ke lift," ujar Emily tanpa rasa takut. "Kalau nona enggak tahu cara turun, saya siap untuk mengantarkan Nona Serena." Emily tidak takut sama sekali dengan apa yang diucapkan oleh wanita di hadapannya. Ia sudah mendapat perintah untuk menjaga ruangan dari virus-virus yang akan masuk. "Kamu--" "Koleksi rambut nona Serena yang sering saya dapatkan nyaris bisa dibuat wig," sela Emily. Gadis itu menyeringai. "Kalau nona enggak keberatan, saya siap tambah koleksi," ujarnya, membalas Serena dengan senyum miring. Serena merasa takut. Demi apa pun, untuk urusan jambak-menjambak, jelas Emily lebih kuat darinya. Segera, setelah itu Serena berbalik pergi dengan menghentakkan kakinya di lantai meninggalkan Emily yang tersenyum karena berhasil mengusir lalat semacam Serena. "Kerjaan gue selesai juga akhirnya. Buat apa pusing-pusing mikirin cara mengusir hantu kayak gitu. Lihatlah dengan ancaman gue dikit aja dia langsung pergi," kata Emily bangga. "Masih trauma kali dia sama lo. Terakhir kali rambutnya itu rontok banyak banget karena ulah lo," timpal Jelita, yang sejak tadi menjadi penonton. "Suruh siapa gangguin Bos." Emily mengangkat bahunya dengan acuh, kemudian segera berbalik untuk kembali ke mejanya dan mengerjakan tugasnya dengan benar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD