6. Cinta

2277 Words
Sama halnya dengan kematian, cinta adalah tamu yang tidak diundang. Karenanya, ia tak pernah meminta izin untuk datang. Aku sedang berjalan menuju laboratorium Biologi saat tanpa sengaja melihat Anestesi berlari sekuat tenaga di koridor sekolah. Sepertinya ia bergegas karena bel masuk sekolah memang sudah berbunyi beberapa detik yang lalu, sepertinya dia beruntung karena tidak dihukum guru. Namun, aneh rasanya melihat si murid baru itu terlambat. Anestesi pun berlari melewatiku, tanpa menyapa dan aku memang tidak peduli. Aku membuka pintu lab lalu menoleh ke belakang saat kudengar desahan napas yang cukup keras. Anestesi sudah berdiri di belakangku dengan wajah yang sedikit memerah dan napas yang tersengal. “Ada apa?” tanyaku. Anestesi tidak menjawab, masih berusaha mengatur napasnya yang tidak karuan. “Anu,” katanya. “Kecoak,” “Huh? Kecoak?” tanyaku tidak mengerti dengan ucapannya. Anestesi mengangguk pelan. “Belum dapat,” jawabnya lemah. Aku berpikir sebentar, mencoba mencerna apa yang sebenarnya dia mau katakan. “Ah,” gumamku. “Lo mau minta kecoak sama gue?” tanyaku mencoba memastikan tebakanku. Anestesi mengangguk pelan. “Iya,” jawabnya pelan. “Boleh, si Firman bawa banyak!” kataku. Anestesi tersenyum. “Makasih,” katanya tulus. “Oke,” sahutku. Anestesi tersenyum lagi lalu berlari menuju kelas. Aku hanya memandangnya sebentar lalu meneruskan kegiatanku. Sekilas, kurasa jantungku berhenti berdetak saat dia tersenyum. Bahaya, sepertinya aku harus segera mencari pacar baru sebelum divonis kena serangan jantung. Proses pembedahan kecoak dimulai. Bu Iva, guru Biologi kami sudah membagi kami menjadi beberapa kelompok. Kelompokku terdiri dari Jessie, Wawan dan Haikal. Sementara Asep dan Firman satu kelompok dengan Anestesi dan Harpa. Beruntungnya mereka bisa satu kelompok dengan si murid baru. Sungguh, kali ini aku sangat iri. “But,” panggil Jessi. “Ho?” sahutku sambil menoleh ke arah Jessi. “Kita harus apa nih? Yang lain udah mulai tuh!” katanya menyadarkan aku bahwa kami seharusnya sudah mulai melakukan langkah pertama untuk memulai prosedur pembedahan kecoak. Bagaimanapun kami harus membuat laporan untuk percobaan kali ini agar nilai kami tidak C. Bu Iva terkenal sebagai guru yang pelit dalam memberikan nilai. Terlalu jujur, sehingga yang ditulis adalah hasil dari apa yang kami kerjakan. Atau mungkin bisa dibilang terlalu blak-blakan dan apa adanya. Bagus, tetapi terkadang menyakiti banyak murid yang juga ingin nilainya ditambah walau sedikit. Meski begitu, kurasa Jessi bukan termasuk murid yang seperti itu. Jessi yang bernama lengkap Jessika Mila, bukan artis sinetron apalagi t****k. Dia hanya sekadar murid SMA yang hoby nge-band. Bukan vokalis, tapi drummer. Termasuk cewek cantik tetapi cuek penampilan. Pernah jadi pacarku selama dua jam. Putus karena Jessi bilang Ariel Noah lebih ganteng daripada aku. Alasan yang konyol mungkin, tetapi untuk Jessi itu adalah suatu kemutlakan bahwa Ariel lebih ganteng dari semua cowok di dunia kecuali satu orang, ayahnya. Soal sifat, Jessie termasuk cewek cuek, blak-blakan dan apa adanya. Pernah dia bertarung dengan Bu Iva karena pada saat ulangan, dia menjawab ngawur semua pertanyaan Bu Iva. “Jessi, apa-apaan ini?” teriak Bu Iva waktu itu. Jessi hanya menggaruk-garuk telinganya. Wajahnya tidak menunjukkan rasa bersalah atau takut. Datar. Biasa saja. “Apanya yang apa-apaan, Bu?” tanya Jessi. “Ini, kenapa jawabanmu ngawur gini?” jawab Bu Iva sambil menyodorkan lembar ulangan Jessi. “Baca coba!” perintah Bu Iva. Jessi mengangguk mengiyakan. “Sebutkan sirkulasi darah manusia? Maaf, Bu. Saya tidak ingat.” Jessi membaca pertanyaan dan jawaban yang diberikan bu Iva. “Mengerti sekarang?” tanya Bu Iva. “Apanya, Bu?” tanya Jessi dengan polosnya. “Sudah mengerti kamu bahwa jawabanmu ngawur?” Bu Iva menilik Jessi dengan tatapan mautnya. “Itu jujur, Bu bukan ngawur,” sanggah Jessi. Bu Iva menggigit bibir bawahnya, kesal. Sepertinya sebentar lagi ibu Iva akan meledak. “Bener kan Bu? Ibu kan selalu bilang, kerjakan dengan jujur. Nah itu saya sudah jujur, Bu!” Bu Iva tidak menjawab apa-apa. Namun sejak saat itu, kurasa Bu Iva sudah menargetkan Jessi sebagai murid yang akan selalu ia tunjuk saat mengajukan pertanyaan. Anehnya, Jessi tidak gentar. Jessi selalu maju jika disuruh, baik jawabannya salah atau benar, cewek cuek itu tidak peduli sama sekali. Dia menjawab setahunya. Kurasa, dia memang kriteria cewek ideal untuk cowok lain, bukan aku. Aku mengamati alat-alat yang kami butuhkan untuk membedah kecoak. Namun sebelum itu, kami harus membunuh dulu kecoak hidup yang sudah kami persiapkan. Sebenarnya kecoakku hasil pemberian Firman, percaya atau tidak, di kolong tempat tidurnya sudah seperti peternakan kecoak. Hal itu wajah saja, karena Firman termasuk cowok yang malas bersih-bersih. Anehnya, dia tidak pernah malas membuat jambul rambutnya setiap hari. Meski sering ditegur, Firman tidak pernah mengindahkan. Firman bilang, jambul adalah ciri khas penampilannya. “But, kita ngapain nih?’ tanya Jessi lagi. “Botolnya isi formalin, terus kita masukkan kecoaknya. Jangan lupa hitung waktu yang diperlukan untuk kecoak mati setelah botolnya ditutup!” kataku memberikan perintah. Jessi, Wawan dan Haikal mengangguk mengerti. Wawan menyiapkan botol yang akan diisi formalin, sementara Haikal mulai mengambil kecoak dari dalam toples. Sementara Jessi mengambil handphone miliknya dan mngatur penghitung waktunya. Setelah itu, Haikal memasukkan kecoaknya ke dalam botol yang sudah diisi formalin lalu menutup botol itu rapat-rapat. Kami pun mulai menunggu, berapa lama yang diperlukan untuk membuat kecoak itu mati. “Tiga puluh detik,” ucap Jessi sembari mematikan penghitung waktu di handphonenya setelah yakin kecoak di dalam botol telah mati. “Oke,” kataku lalu menatap Wawan. “Kita mulai pembedahannya!” Wawan mengangguk mengerti. Temanku yang berkepala plontos itu membuka botol yang berisi formalin lalu mengambil kecoak yang ada di dalamnya dengan pinset. Setelah itu diletakkannya ke alas yang sudah kami sediakan. Aku pun melakukan tugasku. Kutusuk tubuh kecoak dengan jarum agar mempermudah proses pembedahan. Setelah itu aku memulai proses pemotongan tubuh kecoak dimulai dari dubur ( bagian bawah ) lalu terus ke atas. “Wah,” kata Haikal penuh kekaguman. “Jangan wah, ini hanya tubuh kecoak!” tegur Wawan. “Dih, apaan! Kan mending gue kagum tubuh kecoak daripada kagum sama tubuh manusia,” kilah Haikal. Wawan hanya memanyunkan bibirnya. “Modus lo!” cibir Wawan. “Aih, mana ada cowok modus sama kecoak? Udah mengeras dia! Mati, die!” tegas Haikal. “Udah, jangan berantem!” leraiku. “Ambil Lup, Kal! Kita mulai amati struktur tubuhnya!” kataku memberikan perintah. “Oke,” kata Haikal. Kami pun mulai fokus mencatat karena bagaimanapun pembedahan kecoak ini mempengaruhi nilai semester kami di semester genap ini. Aku sempat melirik beberapa kali ke tempat Anestesi, memastikan cewek itu baik-baik saja. Sejauh yang aku amati, dia kebanyakan diam saja. Yang banyak beraksi tentu saja si Firman dan Harpa. Asep tidak menjerit, hanya menitikkan airmata dengan mulut yang selalu komat-kamit. Aku rasa, dia membacakan banyak doa untuk kecoak yang terpaksa kami bunuh demi ilmu pengetahuan pagi ini. Well, setiap binatang memiliki takdir dan manfaatnya sendiri dan kurasa salah satu manfaat kecoak adalah memberikan pengetahuan pada manusia tentang fungsi dan morfologi tubuhnya. Setelah dua jam pelajaran, kami kembali ke kelas. Laporan telah selesai ditulis oleh Jessi yang tulisannya lebih indah dilihat dibandingkan tulisanku, Wawan atau Haikal. Aku juga sudah menyerahkannya pada bu Iva. Tinggal menunggu hasil dan semoga nilai kami yang kami dapat memuaskan. Aamiin. Setelah memanggil bu Ulva, guru bahasa Indonesia untuk mata pelajaran selanjutnya, aku duduk di bangkuku, bersiap menerima pelajaran. Saat itu, aku tidak melihat Anestesi, kurasa dia mungkin ke kamar mandi atau aku yang tidak melihatnya? Entahlah. Aku menghentikan semua imajinasiku ketika bu Ulva memasuki kelas dan memulai materi. *** Bel istirahat berbunyi dan mataku segera mencari Anestesi, tetapi si murid baru itu tidak kelihatan sama sekali. Aku jadi sedikit khawatir. Dia memang tipe penyendiri tetapi aku juga tahu kalau Anestesi bukan tipe siswi yang suka membolos. Cewek kikuk itu, kemanakah dia pergi? Aku menautkan alisku, mengamati Asep dan Firman yang entah kenapa sejak tadi tampak gelisah, terutama Asep yang sepertinya menangis bukan karena kecoak tetapi hal lain. Aku jadi penasaran. “Sep!” panggilku. Asep menoleh kaku ke arahku. “A-apa, But?” tanyanya dengan gugup. “Ada apa?” tanyaku lagi. “Ng-nggak ada apa-apa,” jawab Asep lalu buru-buru berdiri. “A-sep ke kantin dulu. Yuk, Fir!” kata Asep lalu merangkul Firman dan membawanya pergi secepat kilat. Aku yang melihat itu hanya terdiam kebingungan. Rasanya aneh. Aku yakin ada sesuatu yang Asep sembunyikan. Melihat Firman juga tidak merespon percakapanku dengan Asep, aku bertambah yakin keduanya sudah melakukan sesuatu yang salah. Aku kenal Firman, tipe cowok yang suka nyeletuk itu, tidak biasanya diam saja. Aku pun berdiri, mencoba mengejar Asep dan Firman tetapi singgah dulu ke Linda untuk mengambil kunci lab. “Lin,” panggilku pada Linda yang tengah mengemil kacang. “Ho?” sahutnya sambil mengunyah kacang satu-satu. “Kunci Lab mana?” pintaku. “Kok nanya gue?” tanyanya heran. “Lah, kan tadi gue kasih lo! Gimana sih?!” gerutuku rada sebal. “Nggak ada di gue, tadi diambil Firman. Katanya dia yang mau ngunci pintu Lab!” jelas Linda. “Lah, kok dia yang ngunci, kan gue nyuruhnya lo?” tanyaku heran. Linda hanya mengangkat kedua bahunya. “Entah, lo tanya aja sendiri. Kan lo trio wek-wek tuh!” sahut Linda setengah menyindir. “Dih, nyebelin amat lo!” dengusku sebal. “Kan dari dulu,” kata Linda santai. “Yaudah makasih,” “Yoi,” Aku pun melangkah keluar, mencoba mencari Asep dan Firman yang ternyata memang benar melakukan hal yang salah. Mereka mengunci Lab tetapi tidak mengembalikan kuncinya padaku. Aku rasa, mereka telah menghilangkan kunci Lab. Aku pun mempercepat langkahku, pergi ke kantin tetapi keduanya tidak ada di sana. Aku menghela napas, mencoba berpikir tempat yang kira-kira akan mereka datangi. Tempat pertama yang terlintas adalah perpustakaan. Namun saat kucari kesana, mereka berdua tidak ada. Jadi, kuputuskan pergi mencari ke tempat lain, seperti lapangan, belakang sekolah bahkan parkiran tetapi dua temanku itu seakan hilang ditelan siang. “Kemana lagi nih,” gumamku sembari berpikir tempat mana yang akan aku datangi selanjutnya.    “Toilet dululah!” gumamku lagi lalu berjalan menuju toilet, kebelet.    Aku berjalan santai menuju toilet dan mendengar percakapan dua suara yang sudah kukenal ketika sudah nyaris tiba di pintu toilet. Entah karena insting atau bagaimana, aku berhenti, menguping pembicaraan mereka.    “Gimana nih, Man? Asep takut!”    “Lo pikir gue nggak? Gue juga takut tauk! Lo nggak usah berlebihan gitu napa, Sep!”    “Udah jam segini, tapi dia nggak nongol-nongol!”    “Mungkin dia udah keluar!”    “Kalau udah keluar kok nggak ke kelas? Asep takut dia kenapa-napa,”    “Dih jangan nakutin, dong!”    “Tapi, Man. Asep takut!”    “Kalian ngapain?” tanyaku yang langsung masuk, memergoki keduanya yang sedang mengobrol berdua.    Firman dan Asep membeku, wajah mereka pucat pasi seketika, sudah mirip manusia yang darahnya dihisap sampai kering oleh vampir.    “Kalian ngapain?” tanyaku lagi.    Firman dan Asep menunduk dalam-dalam.    “Ngapain kalian? Jawab kalau gue nanya!” nada suaraku meninggi.    “Man, ada apa?” tanyaku pada Firman.    Firman tidak menjawab, hanya diam saja.    “Ada apa sih? Ngomong!”    “Anestesi, But!” jawab Asep pelan. Aku mendekat menuju Asep begitu mendengar nama Anestesi. Aku mengambil kerah bajunya dengan agak kasar sehingga mau tidak mau kini Asep melihat ke arahku.    “Lo apain, Anestesi?” tanyaku dengan nada yang mulai meninggi. Asep diam saja, matanya mulai berkaca-kaca sementara tubuhnya mulai gemetar. “Asep, lo ngapain?” bentakku keras. “Hampura, ménta hampura, Asep, But! Asep teu dihaja kitu. Niatnya mah heureuy. Beuneurna gé[1]!” kata Asep dengan berderai airmata. “Lo apain Anestesi huh?” tanyaku sekali lagi. Asep semakin gemetar. “But, lepasin Asep! gue tahu kami salah, tapi janga berlebihan gini!” kata Firman mencoba melepas gengaman tanganku yang mencengkram kuat kerah baju Asep. “Kami kunciin dia di Lab,” lanjut Firman denga lirih. “Huh? Kalian waras? Lo bilang gue berlebihan? Lo yang berlebihan! Ngapain kunciin cewek di Lab huh? Kalian tahu kan Lab Biologi itu terasing tempatnya. Kalau dia kenapa-kenapa gimana?” kataku dengan murka. “Gue tahu. Gue nyesel! Ini nggak ada hubungannya sama Asep, ini ide gue! Lepasin Asep!” nada bicara Firman mulai terdengar putus asa. Aku melepaskan kasar kerah baju Asep lalu mendekati Firman dengan kesal membuat temanku itu mundur beberapa langkah. “Gue tahu lo suka iseng, tapi gue nggak nyangka lo sesinting ini!” gerutuku kesal. “But, gue tahu lo marah. Tapi jangan ngasal gitu ngomongnya. Segitunya lo belain dia, lo naksir?” Aku diam, hanya memandang Firman dengan mata yang sengaja dimicingkan. “Mau gue naksir atau nggak, lo tetap bersalah di kasus ini. Paham lo?” Firman tertunduk lemas. “Mana kuncinya?” pintaku. Firman mengeluarkan kunci Lab dari sakunya lalu segera kuambil cepat. “Lo berdua belum selesai sama gue!” kataku memperingatkan lalu segera berlari menuju ke Lab Biologi. Aku membuka pintu Lab dan segera mencari Anestesi. “Anestesi! Anes!” teriakku. Aku celingak-celinguk mencari Anestesi dan melihatnya tengah meringkuk di sudut ruangan. Kondisinya aneh. Anestasi terkulai lemas dengan napas yang tidak karuan, berkeringat banyak bahkan kulihat muntahan tidak jauh darinya. Aku segera mencoba mendekatinya. “Anestesi, lo nggak apa-apa?” tanyaku. Anestesi menatapku dengan sorot mata tajam, seolah marah tetapi terlalu lemah untuk melampiaskannya. “Ayo aku bantu!” Anestesi tidak menjawab, napasnya semakin cepat dan bahkan ia bernapas melalui mulut. “Gue antar ke UKS!” Anestesi menggeleng. “Ru...mah!” katanya terbata. Aku mengangguk mengerti. Aku pun segera duduk berjongkok membelakanginya, kuraih tangannya dan menariknya sehingga tubuhnya kini sudah berada di punggungku. Aku pun mulai berdiri dengan Anestesi di punggungku. Saat keluar dari Lab, kulihat Firman dan Asep. “Dia nggak apa-apa kan, But?” tanya Firman cemas. “Kayak gini lo pikir nggak apa-apa?” jawabku dengan ketus. Firman hanya tertunduk. “Maaf,” “Jangan minta maaf sama gue,” kataku. “Sekarang bagi tugas, gue mau ngantar dia pulang. Sep, lo ke UKS urus surat izin buat gue dan Anestesi. Sementara lo Man bantuin gue bawa Anestesi ke mobil gue. Lo bisa bawa mobil kan? Keluarin mobil gue!” aku memberi perintah. Firman dan Asep mengangguk mengerti. “Kunci mobil lo mana?’ tanya Firman. “Di tas gue, buruan!” Keduanya pun segera berpencar sementara aku langsung menuju ke mobilku yang terparkir di halaman sekolah. Tak lama kemudian Firman datang, kuletakkan tubuh Anestesi yang kini sudah tidak sadarkan diri di kursi bagian tengah lalu mengambil kunci mobil dari Firman. Asep pun menyusul kemudian, segera kuambil surat izin pulang dari Asep. “Gue anterin dia pulang dulu,” pamitku. Asep dan Firman mengangguk mengerti. “Maaf, But!” kata Firman lagi. “Lo minta maaf sama dia aja besok!” kataku lalu masuk ke dalam mobil. Aku memperbaiki letak spionku sebelum menyalakan mesin mobil. Aku amati Anestesi dari kaca spion dan tersenyum tipis, aku lega dia kini sudah baik-baik saja. Walau aku tidak tahu, kenapa bisa dia seperti tadi. Aku sungguh mengkhawatirkannya. But, gue tahu lo marah. Tapi jangan ngasal gitu ngomongnya. Segitunya lo belain dia, lo naksir. Kata-kata Firman tiba-tiba tergiang kembali di ingatakanku. Dasar, Firman! Aku menjadi kepikiran. Memang, seperti halnya dengan kematian, cinta akan adalah tamu yang tidak diundang. Karenanya, dia tidak akan meminta izin untuk datang. Meski begitu, aku belum yakin, alasan mengapa aku secemas ini padanya. Apakah benar-benar karena aku mulai memiliki perasaan padanya atau hanya sebatas kekhawatiran antar teman saja. Aku belum tahu. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, menyadarkan diriku. Setelah memberikan surat izin pulang pada pak Retno, satpam sekolahku, aku pun mulai melajukan mobilku meninggalkan sekolah. Anestesi, bertahanlah! Gue harap lo nggak apa-apa. Tolong jangan dendam, maafin teman-teman gue yang oon itu. [1] Maaf, maafin Asep, But! Asep nggak sengaja gitu. Niatnya bercanda. Sumpah!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD