Mantan itu bukan pahlawan Revolusi yang harus dikenang tiap hari senin. Jadi lo nggak usah inget tiap hari, tiap jam bahkan tiap detik. Hidup lo lebih dari sekedar mengurai k****t kenangan!
Firman menghembuskan napas berat, pasrah sebenarnya. Dia memegangi kepalanya dengan kedua tangan dan beberapa kali sudah menjambak rambutnya. Wajahnya kusut, sekusut pakaian yang belum disetrika. Jam keempat baru saja usai tetapi Firman sudah tidak sanggup lagi untuk menerima pelajaran lagi setelah ini.
“Stress gue,” keluh Firman lalu mendesah pelan.
“Kan emang dari dulu!” sahut Asep.
Firman menekuk wajahnya dan memberikan tatapan sinis ke arah Asep yang tempat duduknya berada tepat di depan Firman.
“Lo minta gue santet online?” kata Firman setengah mengancam.
“Santet itu terlarang dilakukan, Man. Bersekutu dengan setan itu menyalahi akidah. Apalagi nih, santet itu membawa kemudaratan[1] bagi diri sendiri maupun orang lain!” ceramah Asep.
Firman membuang mukanya ke arah lain. Dia menghembuskan napas berat sekali lagi.
“Gue lagi nggak mood denger ceramah, Sep! Ulangan Fisika udah ngebuat kabel-kebal syaraf di otak gue menegang,” gumam Firman lirih. Tidak bertenaga.
“Lo mending menegang, si Ribut tuh lihat!” tunjuk Asep padaku.
“Kenapa sama ribut?” tanya Firman yang seketika menoleh padaku yang duduk di sampingnya.
“Kabel otaknya putus. Sejak tadi dia belum bicara sama sekali,” jawab Asep. “Lo masih stuck at past?” tanya Asep yang sudah mulai ada kemajuan. Dia sudah bisa Bahasa Inggris rupanya.
“Nggak,” elakku.
“Udah, nggak usah dipikirin. Move on!” nasehat Asep.
“Dia udah move on kali, Sep! Lo nggak ngitung mantannya segudang?” kata Firman setengah menyindirku.
Asep melongo. Baru sadar bahwa aku memang sudah memiliki banyak pacar baru setelah putus dari Sigma.
“Iya, ya!” Asep menaik-turunkan kepalanya.
“Yasudah,” Asep menghembuskan napas ringan. “Lo tinggal move on perasaan aja!”
“Pfff.” Firman tidak dapat menahan tawanya mendengar ucapan Asep.
“Move on perasaan, bahasa lo, Sep!” ledek Firman.
“Ribut emang punya banyak pacar setelah Sigma tapi kan nggak ada jaminan perasaannya juga ilang atau berhenti?” Asep berkata dengan serius sehingga Firman yang awalnya tertawa menjadi serius juga.
“Bener juga sih lo!” Firman setuju.
“Jadi,” Firman menoleh ke arahku. “Lo sebenarnya masih meninggalkan perasaan lo di masa lalu?”
Aku terdiam, pertanyaan itu benar-benar membuat bibirku kelu. Firman dan Asep memandangku lekat, masih menunggu jawaban dariku. Aku terpaksa menarik napas dan menghembuskannya berulang kali untuk menenangkan diriku. Mereka akan menertawaiku jika hanya diam saja. Karenanya aku harus berusaha menjawab pertanyaan Firman walau itu tidak akan mudah.
“Udah, lo nggak perlu jawab!” kata Firman tiba-tiba.
“Kelihatan udah dari muka lo!” kata Firman sambil melengkungkan dua sudut bibirnya.
Aku hanya memanyunkan bibirku, sebal.
“Lagian, But! Semua udah jadi masa lalu, nggak perlu lo kenang mulu, udah ngalah-ngalahin mengenang jawa pahlawan aja lo!” Asep menasehati.
Firman tergelak.
“Setuju gue sama Asep,” kata Firman semangat.
“Mantan itu bukan pahlawan Revolusi yang harus dikenang tiap hari senin. Jadi lo nggak usah inget tiap hari, tiap jam bahkan tiap detik. Hidup lo lebih dari sekedar mengurai k****t kenangan!” Firman menimpali.
“Aih, k****t. Bahasa lo filter dulu napa,” tegur Asep.
“Kan bener, yang dikenang mulu kan hanya k****t kenangan,” sahut Firman.
“Bukan k****t, tapi album kenangan tauk!” sergah Asep.
“Bukan CD sama album selevel?” tanya Firman polos.
“Bisa jadi, tetapi apa hubungannya sama k****t?” Asep tidak mengerti.
“CD kan sesinonim sama k****t,” jelas Firman yang seketika membuatku tertawa geli.
“Beda, tauk! Lo ini ngawur!”
Firman dan Asep tersenyum lebar.
“Akhirnya Ribut ketawa ya Allah,” kata Asep penuh rasa syukur.
“Iya, hampir aja gue panggilin dukun beranak kalau lo tetap ngelamun!” Firman menimpali.
“Apa hubungannya ngelamun sama dukun beranak, Man?” tanyaku heran.
“Kalau manggil dukun beneran, ntar si Asep ceramahin gue!” jawab Firman.
“Haha.”
Aku hanya tertawa menanggapi ucapan Firman dan tawaku kemudian disambut tawa pula oleh keduanya. Kami tertawa bersama, sudah nyaris gila karena tertawa tanpa perlu menunggu hal lucu. Sejujurnya aku sangat bersyukur memiliki dua orang sahabat seperti mereka. Mereka selalu ada di sampingku, baik dalam keadaan susah maupun senang. Jadi, aku bisa sedikit melupakan beban di hatiku. Meski begitu, tidak dapat kupungkiri bahwa mereka berdualah yang membantu rehabilitasi hatiku selama ini.
Thanks ya, gue udah nggak apa-apa, kok!
***
Aku baru bangun ketika mendengar suara pesan masuk dari handphoneku. Sebenarnya sudah berbunyi sejak tadi tetapi aku biarkan. Pulang sekolah aku merasa sangat lelah sehingga kuputuskan untuk istirahat. Tersapu masa lalu sangatlah tidak menyenangkan, justru melelahkan karena menguras tenaga.
Aku menguap beberapa kali, mengeliat sebentar lalu mengambil handphoneku yang berada di dekat bantalku. Ada beberapa chat dan juga call yang masuk. Aku memeriksa chat yang masuk. Ada bebrapa orang yang mengirimiku pesan tetapi pesan terbanyak dari Tiwi, pacarku.
Pacar ke-97
Beib, hari ini aku latihan.
Beib, Nadia nggak bisa jemput. Bisa jemput?
Beib, kemana sih? Gue mau latihan nih!
Elah, lemot. Lo nyasar kemana?
Udah bareng Rayhan gue. Jangan cemburu, ini salah lo yang nggak balas chat gue.
Beib, masih marah? Gue udah pulang nih.
Beib.. balas, dong!
Saat membaca pesan dari Tiwi yang banyak itu, tiba-tiba dia online. Aku pun terpaksa harus mengetikkan balasan karena dia sudah kembali mengirimiku pesan. Jadi sebelum dia menerorku, lebih baik aku memberinya kabar meskipun singkat. Niat awalnya seperti itu.
Pacar ke-97
Beib, lo masih hidup kan? Balas napa sih, sok jual mahal banget! Gue sampai bolak-balik ngecek HP nih gara-gara lo! Pegel gue!
Balas, Oii!
Malas, kuketikkan balasan tanpa berpikir.
ME
Masih idup gue, kalau mati pasti udah dikubur trus dingajiin.
Lagian suruh siapa lo ngechat gue? Gue nggak nyuruh kan?
Lagian ngecek HP nggak perlu mendaki gunung, lewati lembah apalage berpetualang samudera kan?
Tak ada balasan, hanya just read. Tak lama kemudian kulihat Tiwi mulai typing.
Pacar ke-97
Bacot.
Serah lo!
Aku berdecak kesal.
ME
Sorry, Wi.
Sebaiknya kita putus.
Gue harap lo nggak dendam.
Pacar ke-97
Nggak!
ME
Thanks.
Pacar ke-97
Sama-sama ^^
Aku pun mengubah nama kontak Tiwi di handphoneku dari pacar ke-97 menjadi mantan ke-97. Fix, aku kembali menjomblo. Sebenarnya aku tidak apa-apa putus dari Tiwi, tetapi sedikit bosan karena belum ada penggantinya. Kalau begini, handphoneku pasti akan sepi dan hanya akan berisi pesan tidak jelas dari Firman dan Asep mulai detik ini. Apalagi si Asep, dia selalu mengingatkan sholat, makan, mandi dan hal lainnya yang sebenarnya tanpa diingatkan pun sudah pasti aku lakukan. Kulemparkan handphoneku ke kasur lalu melangkah keluar kamar.
“Baru bangun lo?”
Sapaan dengan suara berat mirip suara cowok itu hanya kutanggapi dingin.
“Kalau mau makan masak mie instan, ibu belum pulang!” katanya lagi.
Aku hanya diam saja, tidak berniat menanggapinya sama sekali. Aku mendekat ke kulkas, mengambil air dingin dan hendak meminumnya. Namun kuurungkan karena tiba-tiba teringat apa yang dikatakan Asep.
“But, kalau minum itu lebih baik jangan berdiri!” tegurnya saat aku mau meneguk minumanku habis olahraga. Sejujurnya waktu dia menegurku waktu itu, kami baru kenal. Teman sekelas saat kelas 9 tetapi tidak pernah mengobrol.
“Kenapa gitu?” tanyaku heran.
Asep diam sebentar.
“Mau Asep jelaskan secara hukum agama atau medisnya?” Asep balik bertanya.
“Dua-duanya, tetapi medis dulu! Lebih mudah gue terima,” jawabku.
“Oke,” kata Asep setuju.
“Secara medis mengapa kita nggak minum sambil berdiri karena dikhawatirkan dapat membahayakan kesehatan. Air minum yang masuk ke dalam tubuh dengan cara minum sambil duduk akan disaring oleh Sfringer[2] sebelum disalurkan pada pos-pos penyaringan yang berada di ginjal.” Asep memberi jeda sejenak.
“Nah, jika kita minum sambil berdiri, air yang kita minum akan masuk tanpa melalui proses penyaringan tadi sehingga langsung menuju kantung kemih sehingga terjadi pengendapan di saluran ureter. Hal ini akan menyebabkan penyakit kristal ginjal.” Asep mengakhiri penjelasannya.
Aku menautkan alisku sebentar, mencoba mencerna penjelasan yang baru saja Asep dengarkan.
“Bukannya itu cuma sekedar hoax?” sanggahku.
Asep hanya tersenyum tipis.
“Mau Asep jelaskan secara hukum agamanya?” katanya menawarkan.
“Boleh,” jawabku.
“Secara hukum agama, minum dengan berdiri hukumnya makruh (Boleh) tetapi lebih disarankan untuk minum sambil duduk,” jelas Asep.
“Makruh? Boleh, dong?”
Asep mengangguk.
“Boleh, tetapi kalau ada yang lebih baik kan jangan,” sahut Asep.
“Dalilnya apa kok bisa makruh?” tanyaku, tidak segera setuju jika tanpa argumen dan bukti konkret.
“Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, “bahwasanya Nabi shallaahu’alaihi wa sallam mencela minum sambil berdiri”, hadist riwayat Muslim no.2525. Hal yang sama juga disebutkan oleh hadist riwayat At-Tirmidzi dan Imam Muslim. Itu hadist yang melarang kita minum sambil berdiri,” kata Asep menjelaskan.
“Menjadi makruh kemudian karena bebrapa hadist seperti riwayat Ahmad 6/161 yang dihasankan oleh Al-Arna’uth dalam Takhriij’alal-Musnad 42/ 165-166 dimana hadistnya berarti Dari Aisyah : bahwasanya Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam pernah masuk ke rumah seorang wanita Anshar yang di dalamnya ada bejana (kulit) yang tergantung. Beliau membelokkan mulut bejana itu dan meminumnya dalam keadaan berdiri”. Karena ada dua pendapat yang berbeda, dengan metode al-jum’u wat-tawfiiq (kompromi), jumhur ulama enimpulkan bahwa hukum minum dengan berdiri adalah makruh.” Asep mengakhiri penjelasannya lalu tersenyum tipis.
“Ooh, oke!” sahutku.
“Gue Ribut,” kataku memperkenalkan diri sembari mengulurkan tangan.
“Asep tahu. Gue Asep!” kata Asep sambil menerima uluran tanganku.
Kami berjabat tangan sebentar. Sejak saat itu, si Asep mulai terus mengajakku bicara sehingga kami mulai berteman dan sering bersama. Sebulan kemudian, Firman bergabung dalam lingkaran pertemananku dan Asep. Dia merupakan mantan musuh Asep. Aku tidak tahu bagaimana cerita lengkapnya tetapi Asep dan Firman jauh lebih dulu berteman sebelum Asep dan aku berteman.
“But, kalau nggak mau minum botolnya taruh lagi!” teguran Angin membuatku tersadar.
“Minum, kok!” jawabku lalu berjalan duduk di dekat si Angin. Aku teguk air di tanganku lalu melihat Angin yang lagi asyik main game.
“Tumben lo udah pulang, nggak kuliah?” tanyaku.
“Nggak ada,” sahut Angin tanpa menoleh ke arahku, pandangannya fokus ke layar handphonenya.
“Tumben nggak jalan sama Galuh,” sindirku.
“Galuh yang mana? Gue lupa,” sahutnya santai.
“Pacar lo! Lupa nama pacar sendiri?” ejekku.
“Ooh, mantan. Gue udah putus!” kata Angin tanpa beban.
“Wuih, jomblo dong?” tanyaku.
“Kagak,” jawab Angin.
“Trus pacaran sama sapa lo sekarang?” tanyaku lagi.
“Gara,”
“Bukan Itachi atau Kakashi?” godaku.
“Haha, semua manusia akan kembali ke tanah, jadi gue pacaran aja sama Gara.” balas Angin.
“Bisa aja lo jawabnya,”
“Gue kan genius,” kata Angin dengan nada sedikit sombong.
“Iya, dah!” sahutku mengakhiri obrolan tidak penting kami.
Hening. Tidak ada percakapan yang terjadi. Kuperhatikan Angin, kakakku. Perempuan berambut pendek, berkulit kecokelatan dengan postur badan yang tinggi serta agak sintal itu mengingatkanku pada karakter Ikumi, salah satu tokoh di anime Souma. Dia bukan kakak kandungku, tetapi sudah kuanggap sebagai saudara kandung. Karena itu, aku tidak pernah mempermasalahkan perbedaan warna kulitku dengannya yang sangat kontras. Karena bagiku, mempunyai saudara seperti Angin, itu adalah anugerah terindah sepanjang hidup seorang Ribut.
“Jangan natap gue lama-lama! Kalau lo naksir gue, ayah dan ibu bisa ngusir gue dari sini!” godanya.
“Ngarep lo!” dengusku cepat.
“Haha,” Angin tertawa lepas.
Angin meletakkan handphonenya dan menoleh ke arahku.
“Lo habis putus?”
Aku terpana, kagum dia bisa secepat itu mengetahui apa yang terjadi padaku.
“Kok lo tahu?” tanyaku heran.
Angin tergelak.
“But, Ribut, gampang amat nebak lo!” katanya sambil geleng-geleng kepala.
“Dih, kukira lo udah jadi cenayang, ternyata asal nebak,” gerutuku kesal.
“Jangan ngambek! Cari aja yang baru, putus nggak akan ngebuat umur lo jadi pendek!” nasehat Angin.
“Maksud lo?”
“Yah,” Angin mendesah pelan. “Kan banyak tuh yang bilang gue nggak bisa hidup tanpa lo, eh udah dua tahun putus tetap aja masih hidup!” oceh Angin yang kurasa mengatakan itu bukan untuk menasehatiku tetapi untuk dirinya sendiri.
“Pengalaman pribadi?” tanyaku.
Angin hanya mendengus kasar.
“Barga s****n!” umpatnya lalu berdiri dari duduknya.
“Gue mau bikin mie nih! Lo mau?” tanya Angin.
Aku mengangguk cepat.
“Mie kuah, goreng ogah!”
Angin mengangguk mengerti.
“Pake telur?” tanyanya lagi.
“Digoreng, direbus jangan!”
Angin tersenyum geli.
“Ribut, Ribut, untung aja nama lo Ribut bukan ribet! Sukanya mie kuah tapi demen telur goreng. Selera lo blasteran?” kata Angin setengah menggodaku.
Aku hanya menyeringai pelan.
“Pribumi, kok! Kalau pacar,” sahutku yang langsung disambut tawa Angin.
“Yaudah, gue ke dapur dulu! Lo mandi aja dulu!”
Aku mengangguk lalu segera pergi ke kamar saat kulihat Angin mulai berjalan menuju dapur. Sampai di kamar, langkahku terhenti saat kulihat layar handphoneku menyala. Aku cek dan sudah ada banyak chat. Salah satunya dari si Asep.
USTADZ ASEP
Assalamu’alaikum,
Ribut, sorry nih kalau Asep ganggu.
Asep yang ganteng dan baik hati ini mau ngingetin kalau besok jam pertama adalah pelajaran biologi.
Ada percobaan membedah kecoak dan Asep takut kecoak. Jadi, tolong bawain kecoak yang ada di kamar mandi Ribut 3 biji untuk Asep ya. Thanks.
PS: Jangan lupa makan, mandi dan sholat!
Wassalamu’alaikum.
Aku menghela napas pelan lalu kuketikkan balasan.
ME
Wa’alaikum salam.
Sep, nggak ada kecoak di kamar mandi gue.
Lo chat aja Firman, di kolong tempat tidurnya banyak kecoak.
Sekalian gue nitip kecoak dua biji. Oke?
Thanks.
Tak lama kemudian Asep menjawab dengan emoticon tangan yang menunjukkan “Oke”. Kuletakkan lagi handphoneku di kasur lalu keluar kamar, melanjutkan niatan untuk mandi.
Membedah kecoak ya? Gue harap si Asep nggak akan jerit-jerit dan nangis-nangis alay kayak dulu pas kelas X sewaktu kami membedah katak. Kami sekelas bahkan harus melakukan pemakaman massal untuk katak-katak itu, Bu Tina yang galak itu pun bahkan luluh dan menuruti kata Asep. Please, Sep, gue nggak mau menghadiri pemakaman kecoak.
[1] Kerugian
[2] Suatu struktur maskuler (berotot) yang bisa membuka ( sehingga air kemih bisa lewat) dan menutup.