8. Otak Kucing

2203 Words
Walau kucing tidak memiliki Neukortek di otaknya sehingga tidak bisa merasakan depresi ataupun bosan, manusia tidaklah demikian. Karenanya setiap sakit yang dirasakan, akan selalu membekas menjadi sesuatu yang disebut dengan luka. Aku menguap lagi, entah untuk keberapa kalinya bahkan kali ini menitikkan airmata. Kebosanan tengah melandaku. Sejak tadi yang kulakukan hanya membersihkan alat-alat yang baru saja digunakan oleh kakak kelas pada jam terakhir. Sementara Anestesi tengah menyapu lantai dan dia sama sekali tidak mengajakku bicara. Kami tengah membersihkan Lab Biologi mulai hari ini hingga seminggu ke depan. Bu Iva menghukum kami berdua dan aku tidak punya kemampuan untuk menolak hukuman yang diberikan sepihak tanpa mendengarkan pembelaan dariku atau Anestesi. Aku menghela napas panjang sembari meletakkan peralatan yang sudah kubersihkan ke dalam lemari. Aku tata dengan hati-hati dan teliti. Alat-alat di Lab Biologi walau kelihatannya sederhana dan tidak banyak dipakai, jika rusak harus diganti dan harganya mahal. Sebenarnya soal harga itu tidak masalah, jika melihat kemampuan ekonomi keluargaku tetapi melakukan kesalahan dan mendapat santapan sandal dari ayah, itu hukuman paling menakutkan. Aku tidak seberani itu. Aku mengunci lemari setelah memastikan semua peralatan telah berada di posisi yang seharusnya. Setelah itu kulirik Anestesi yang masih menyapu. Sekolah telah usai, mungkin hanya satu-dua yang masih bertahan di sekolah. Aku berjalan keluar, melewati Anestesi yang sedang fokus menyapu. “Mau gue tolongin?” tanyaku menawarkan. Anestesi menggeleng pelan. “Yakin nih?” tanyaku lagi. Anestesi mengangguk lalu membalikkan badannya. Aku menghela napas ringan. “Ya sudah,” desahku lalu berjalan lagi untuk keluar dari Lab yang pengap ini. “Mau kemana?” tanyanya tiba-tiba, memecah perang tidak saling bicara di antara kami. “Keluar, tugasku sudah kelar!” jawabku sekenanya. “Di dalam saja,” katanya. “Kenapa?” tanyaku heran lalu sejurus kemudian tanpa menunggu jawaban dari Anestesi, aku segera kembali ke tempatku. Aku tidak ingin bertanya lagi. Seharusnya aku sudah paham bahwa Anestesi takut dengan ruangan tertutup. Terlebih dia menyangka aku yang mengunci dia di Lab kemarin. Jadi, sudah pasti dia ketakutan saat melihatku keluar lebih dulu. Aku ingin menjelaskan bahwa dia sudah salah paham tetapi melihat sikapnya padaku, aku menundanya. Akan kujelaskan lain kali saat dia sudah tenang dan bisa diajak bicara. Aku berjalan menuju salah satu kursi, duduk manis di sana dengan merebahkan tubuh bagian atasku di meja. Kurogoh saku celanaku, mengeluarkan handphoneku dan mulai menggeser-geser menunya. Tidak ada pacar, sedang jomblo dan kuota internetku sengaja tidak diisi. Buang-buang uang dan tidak ada seseorang yang harus kuchat. Aku juga sudah bosan membalas pesan Asep atau Firman yang kebanyakan nyepam di chat, snap w******p atau sosial media lainnya. Walau aku hanya punya dua di antara banyak aplikasi sosial media di dunia ini. “Kak Ribut!!” “Kak Ribut!” Sorakan girang itu membuatku mengangkat badanku, menengok pada jendela Lab dimana dua orang cewek, sepertinya adik kelas, melambai-lambaikan tangannya padaku dengan bibir yang terus menyunggingkan senyuman. “Kak Ribut!!” Aku tersenyum sembari melambaikan tanganku pada mereka. “Aaaa,” teriakan mereka semakin menjadi. “Kak Ribut ganteng!!” “Kak Ribut senyum, manisnya!” Aku hanya tersenyum, bukan menikmati pujian mereka tetapi tidak tahu harus bagaimana. Sudah hampir setahun lebih tetapi aku belum bisa menyesuaikan diri menjadi salah satu cowok yang meski dilabeli playboy entah kenapa tetap termasuk dalam jejeran cowok yang patut dipacarin. Meski aku tidak pernah menolak yang datang, tentu saja ada pengecualian. Ada beberapa cewek yang meski menembakku tidak akan kuterima. Pertama, mantan. Aku tidak akan pernah balikan sama mantanku, kecuali satu orang : Sigma. Walau kini dia sudah punya pacar dan aku benar-benar berharap pengecualian hatiku untuk mantan pacarku yang satu itu bisa kuhapus. Meski begitu, aku tidak terlalu sedih. Bagaimanapun hubunganku dan Sigma sudah agak membaik tempo hari. Aku hanya bisa berharap kesalahpahamanku dengan Anestesi tidak akan memperburuk hubunganku dengan Sigma lagi. Kedua, aku tidak akan pernah menerima cewek yang sedang atau baru putus dari pacarnya kurang dari sebulan saat dia menembakku. Aku tidak suka disebut PHO alias Perusak Hubungan Orang. Aku sudah cukup dilabeli playboy, tidak mau menambah julukan lagi. Perihal mantan pacarku menganggap pacar baruku sebagai PHO, aku tidak peduli. Setiap orang memiliki kebebasan berpendapat dalam bentuk perkataan atau tulisan jika mengutip pasal 28 UUD 1945. Egois? Manusia memang begitu dan aku salah satunya. Ketiga, aku tidak akan menerima cewek yang menurutku tidak masuk dalam kriteriaku. Bagaimana tipe idealku? Aku juga tidak tahu. Hanya menentukan sesuai mood. Terlepas cewek itu cantik atau tidak, manis atau tidak, aku tidak terlalu peduli. Karena hubunganku dengan mereka, hanya sebatas sementara dan paling lama bertahan seminggu lebih tiga hari. Sigma? Dia yang pertama dan hubunganku dengannya lebih dari setengah tahun. “Gue udah kelar,” ucapan itu membuatku tersadar. “Oke,” sahutku singkat lalu beranjak dari dudukku. Anestesi keluar lebih dulu, tanpa menungguku yang masih harus mengunci Lab Biologi dia berjalan pergi. Aku tidak terlalu peduli pada sikap dinginnya, tetapi entah mengapa aku lebih suka sikapnya yang kikuk. Aku melangkahkan kaki ke parkiran, hendak menuju mobilku yang terparkir di halaman sekolah sampai kulihat Anestesi yang sedang berdiri menunggu Sigma. Tanpa perhitungan, aku segera berlari menuju ke arahnya. “Nunggu Sigma ya?” tanyaku. Anestesi tidak menjawab. “Mau gue antar?” kataku menawarkan. Anestesi mengangkat kepalanya, melihatku sebentar lalu menundukkan wajahnya kembali. “Nggak usah,” tolaknya. “Kenapa? Takut dimarahin Sigma ya jalan sama mantannya?” kataku sekenanya, mengatakan apa yang terlintas di pikiran tanpa berpikir lebih dulu. “Gue nggak takut,” elaknya. “Dan gue nggak peduli lo mantannya siapa!” “Mau gue antar, dong?” godaku lagi. “Nggak! Lo jahat!” katanya lalu menyetop angkutan umum dan berlari masuk meninggalkan aku yang hanya tidak bisa melakukan apa-apa selain melihat Anestesi pergi. Sejujurnya, aku tidak pernah menduga kalau amarah akan mengubah cewek kikuk seperti Anestesi menjadi sedingin itu. Sungguh amarah itu begitu menakutkan! Jadi, tidak salah jika Asep selalu menasehatiku untuk mengakhiri hubungan dengan barisan para mantanku dengan baik. Karena jika para mantanku bersatu dan membuat grup haters, aku tidak akan bisa menang. Lagipula melawan cewek itu melelahkan karena slogan mereka adalah cewek selalu benar dan cowok harus mengalah apapun alasannya. Jurus pamungkas mereka adalah airmata. Drtt.. drtt... drtt.. Sebuah pesan mendarat di handphoneku, dari Angin. Hendak kubuka tetapi belum kulakukan, Angin sudah menelpon. “Halo?” “Hm?” sahutku seraya berjalan menuju mobilku. “Gara nggak ada kuliah, dompet ketinggalan dan hari sungguh panas dan membakar kulit,” Angin mulai melakukan monolog sebelum mengatakan kepentingannya menelponku. “Aku udah pulang, kok! Tunggu depan kampus, 15 menit nyampe!” kataku seolah sudah paham dengan apa yang akan ia katakan. Angin terdengar tertawa kecil. Mungkin dia senang karena aku peka. “Duh, cute banget deh, Ribut. Thanks ya. Jangan telat!” ucapnya sebelum panggilan diakhiri. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku dengan sikap kakakku yang satu-satunya itu. Setelah meletakkan handphone di sakuku, aku masuk ke dalam mobil untuk segera pergi menjemput Angin. *** “Ribut!!!” “Adikku yang ganteng!!!” Angin berteriak alay sembari melambaikan tangannya dengan semangat lalu kakakku yang hari ini mengenakan celana jeans dengan kemeja kotak-kotak berwarna biru itu masuk ke dalam mobil. Dia mengenakan tas ransel, membawa setumpuk buku dan laporan di tangan kiri sementara tangan kanan memegang teh kotak. “Ah, adem!” gumamnya saat AC mobil mengenai wajahnya yang memerah karena panas. Cuaca hari ini memang sangat panas dibanding biasanya terlebih Jakarta penuh sesak, oksigen menipis dan pepohonan semakin habis. “Jangan terlalu besar, nanti lo masuk angin!” kataku mengingatkan saat Angin mulai memutar AC menuju level tertinggi. Angin tidak peduli, hanya merasakan belaian angin di wajahnya dengan mata terpejam. Ia melempar tumpukan buku di tangannya ke kursi belakang. Detik berikutnya ia melempar tasnya pula ke belakang setelah melempar teh kotaknya ke luar jendela. “Dih, taruh yang bener napa! Anak kuliah kok sembrono!” tegurku. Angin tidak peduli. Hanya merendahkan sandaran kursi dan mengeliat-liat seolah ingin merilekskan punggungnya yang kaku. “Jalan!” perintahnya. Aku hanya menggelengkan kepalaku melihat kelakuannya lalu mulai melajukan mobilku meninggalkan kampus Angin. “Pacar lo kemana?” tanyaku saat kami di perjalanan. “Sakit?” jawab Angin ragu-ragu. “Kok meragukan gitu nadanya, lo nggak chat dia?” tanyaku. Angin menggeleng pelan. “Lagi marahan,” jawabnya santai. “Marahan nggak ngechat? Nggak selesai dong masalahnya?” tanyaku lagi. “Anak kecil kayak lo tahu apa?” cibirnya. “Gue udah 17 tahun! Udah punya KTP dan SIM A,” pamerku. Angin terkekeh pelan. “Gue 19 tahun, udah punya KTP, kartu mahasiswa, rekening bank dan SIM A!” balas Angin. “Kalau gitu kenapa nggak pake mobil ke sekolah? Jadi ribet gue antar-jemput lo kalau lo marahan sama pacar lo!” Angin menyibak rambut pendeknya ke belakang lalu meletakkan tangannya di belakang kepalanya, menjadikan tangannya sendiri sebagai bantal. “Kalau cowok bawa mobil itu kelihatan keren,” ucapnya pelan. “Kalau cewek, jadi bahan baku untuk dimanfaatin!” “Huh?” “Lo masih kecil, nggak usah banyak nanya kalau nggak ngerti!” oceh Angin. “Dih, apaan! Dari tadi ngoceh anak kecil, anak kecil, sendirinya masih kecil. Lo kan masih jadi anak angkat dari orangtua gue!” kataku yang langsung membuatku ingin menyumpal mulutku yang tidak bisa menyaring perkataan ini. “Haha, biasa aja kale! Gue tahu kalau gue anak pungut dan gue bersyukur!” Angin bangun dari tidurnya dan mengacak-acak rambutku dengan sayang. “Lo adik gue,” gumamnya. “Huum,” sahutku. “Dih, dingin amat, But! Udah kayak es batu tauk jawaban lo!” omelnya. “Apa sih, gue ngeiyain lo malah gitu!” protesku. Angin terbahak lalu menaikkan kakinya ke jok mobil dan menumpukan kepalanya di antara kedua kakinya. “Gue pengen jadi kucing,” gumam Angin ngawur tetapi jika sudah begitu, aku rasa ada sesuatu yang membuatnya sedih. “Kenapa? Karena kucing itu imut?” tanyaku tanpa tertawa. Aku rasa Angin benar-benar serius dengan apa yang baru saja dia katakan. “Jadi menurut Ribut, kucing itu imut?” Angin balik melempar pertanyaan. “Yah,” kuberi jeda dalam ucapanku. “Dibanding katak, kucing lebih imut!” lanjutku. “Ih, geli amat! Kok katak lo jadiin pembanding sih?” protesnya. “Banyak yang setuju katak itu imut,” sanggahku. “Siapa?” tanya Angin penasaran. “Penggemar Keroppi,” jawabku yang langsung disambut manyunan oleh Angin. “Katak sama Keroppi beda tauk!” sahut Angin sewot. “Apa bedanya? Sama-sama katak!” sanggahku. “Oh, jadi Messi dan Ronaldo sama?” balasnya. “Bedalah!” bantahku. “Apa bedanya? Sama-sama cowok dan pemain bola tuh!” cetus Angin. Aku hanya terkekeh, malas berdebat dan lagipula tidak akan bisa menang melawan mantan juara lomba debat Bahasa Inggris selama tiga tahun di SMA seperti Angin. Dia terlalu kuat untuk dikalahkan. “Jadi, kenapa mendadak pengen jadi kucing?” tanyaku lagi. “Lo tahu nggak kalau ada bagian dari otak kita yang disebut Neukortek?” Angin mendesah pelan. “Bagian itu adalah pusat rasa depresi, jenuh dan bosan. Nah, kucing nggak punya Neukortek makanya kucing nggak pernah ngerasain bosan meski ngelakuin hal yang sama tiap hari,” kata Angin dengan nada yang menggantung dan pandangan yang jauh menerawang. Aku tidak begitu paham dengan apa yang Angin bicarakan tetapi melihatnya sampai mendesah dan menghela napas berat seperti sekarang, aku rasa dia sedang menghadapi masalah yang cukup besar sehingga membuatnya menjadikan hal itu sebagai alasan untuk mengeluh. Padahal setahuku, Angin termasuk cewek yang jarang sekali mengeluh. Well, aku tidak bisa menyalahkannya. Karena walaupun mengaku strong, perempuan memiliki hati yang rapuh. “Lo bosan sama Gara?” tanyaku. Angin menoleh ke arahku dengan enggan. “Ketebak banget ya isi otak gue?” tanyanya yang seketika membuatku tergelak pelan. “Iyalah, lo kan kakak gue. Kalau lo bosen atau kesal sama seseorang, lo bakal ngoceh tentang sesuatu yang gue nggak paham,” jelasku. “Dih, itu pengetahuan baru tauk buat lo yang males baca buku!” sanggahnya. “Gue nggak males ya! Gini-gini gue juara OSP Kimia tauk!” kataku sedikit sombong. “Iya dulu pas kelas XI. Udah gitu kalah lagi di OSN!” cibir Angin yang seketika membuatku berdecak kesal. “Nyebelin amat sih!” dengusku kesal. “Emang,” sahut Angin mengakui. “Jadi, putus aja?” tanyaku yang langsung disambut gelengan kepala angin. “Gue masih sayang,” jawabnya pelan. “Trus kok bosen?” tanyaku lagi. “Dia itu sibuk banget, But! Tiap hari dia itu ngampus, pulang kampus makan, tidur siang, malamnya belajar. Chat gue cuma buat ngelapor dia ngapain aja seharian, nggak kayak pacaran jadinya, lebih mirip anak ngelapor ke emaknya. Terlebih nih, meski nggak kuliah, dia belajar pula. Bahkan begadang baca meme atau manga detektif Conan sampe jam dua pagi. Nah kan gue nggak bisa begadang tuh, jadi pas gue tidur dia melek, pas gue bangun dia tidur. Jadinya kita kayak nggak komunikasi gitu, bosen gue jadinya!” cerita Angin panjang-lebar. “Lo ngamuk-ngamuk pasti ya kalau pas chat sama lo dia ngelakuin hal lain?” tebakku. “Maksud lo?” tanya Angin tidak mengerti. “Ya, saat dia berusaha luangin waktu, ngechat lo dan dia butuh hiburan, baca meme misalkan. Lo pasti ngambek, protes jadinya dia baca memenya saat lo udah sleep. Makanya dia jadi ngantuk karena harus begadang. Dia pasti pamit paginya buat tidur tetapi lo pasti marah-marah lagi dan ngebuat dia jadi serba salah. Akhirnya kalian marahan, nggak ada yang mau minta maaf duluan atau dia udah minta maaf tetapi lo cuekin. Dan pada akhirnya dia nyuekin lo balik dan lo stress, bener kata gue?” Angin diam saja lalu ia memandangiku dengan takjub. “But,” panggilnya pelan. “Ho?” “Lo udah jadi Dilan yak? Kok bisa ngeramal gitu?” godanya yang seketika membuatku merasa kesal. “Gue Ribut, bukan Dilan!” tegasku. “Haha iya, iya. Lo Ribut si baper bukan Dilan yang bikin baper!” ucap Angin lalu tertawa terpingkal-pingkal. “Seneng lo?” ketusku. “Banget!” sahutnya dengan tawa yang masih saja terus berlanjut. “Mending lo minta maaf!” saranku. “Ogah, gengsi!” “Kan lo udah gue kutuk jadi kucing, jadi nggak usah gengsi!” kilahku. “Gitu ya? Harus?” tanya Angin bimbang. “Kalau lo mau putus ya nggak usah,” sindirku. “Dih, oke!” kata Angin yang seketika langsung menelpon Gara, pacarnya. Dia bukan sekedar ngechat, tapi calling. Aku pun tersenyum tipis saat kulihat Angin berani meminta maaf pada Gara dan sudah ceria lagi setelah mengobrol lama. Saat kami tiba di rumah pun Angin masih belum selesai bicara dengan Gara. Ia melambaikan tangannya saat turun dari mobil dan sempat berbisik thanks padaku. Aku hanya mengangguk mengiyakan karena bagiku melihat Angin ceria lagi sudah membuatku bahagia. Jika kuingat lagi keinginan Angin untuk jadi kucing tadi, aku hanya mampu tertawa geli. Pasalnya walau kucing tidak memiliki Neukortek di otaknya sehingga tidak bisa merasakan depresi ataupun bosan, manusia tidaklah demikian. Karenanya setiap sakit yang dirasakan, akan selalu membekas menjadi sesuatu yang disebut dengan luka. Dan aku tidak mau Angin terluka atau melukai siapapun. Karena menyimpan luka itu sangat menyiksa dan penuh derita. Entah mengapa aku menjadi teringat pada Anestesi. Anestesi masih marah nggak ya? Haruskah gue minta maaf duluan dan ngejelasin kalau dia udah salah paham? Tapi gimana? Gue nggak tahu nomernya. Ngomong waktu di sekolah? Ide bagus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD