FRIENDZONE: mengajarkan kita bahwa nggak semua hubungan pertemanan antara cewek dan cowok harus berakhir dengan pacaran.
Bel pulang sekolah berdering nyaring dan aku yang masih terjebak di antara rapat organisasi OSIS hanya mampu menguap beberapa kali. Aku gelisah karena rapat OSIS untuk event pertandingan bola basket tahunan kali ini berlangsung sangat lama dan alot. Perdebatan soal anggaran, mekanisme lomba dan bahkan panitia yang seharusnya mudah berlangsung menyebalkan. Perbedaan pendapat antara Gilang dan Qori membuat jalannya rapat menjadi tersedat dan mengganggu rencanaku. Ingin rasanya aku segera pensiun menjadi anggota OSIS, sayangnya ini masih tengah semester dan pemilihan anggota OSIS baru ditunda hingga event tahunan kelar. Apes!
Aku melirik Harpa, si biang gosip yang juga merupakan anggota OSIS walau dia kebanyakan selalu jadi sesi dokumentasi di setiap event. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengannya tetapi seolah memiliki kekuatan ghaib, dia menoleh ke arahku tanpa perlu kupanggil.
“Ada apa But kok lo ngeliatin gue?” tanya Harpa dengan perasaan risih.
“Rapatnya masih lama?” tanyaku yang seketika disambut kernyitan kening olehnya.
“Lo mau jemput pacar? Lo kan jomblo!” godanya sambil tersenyum lebar.
“Kagak,” jawabku dengan tegas. “Gue harus bersihin Lab Biologi tiap pulang sekolah.”
Harpa menautkan alisnya dengan bingung.
“Kok gitu?” tanyanya heran
. “Lo kan tukang gosip nomer 1 di sekolah, kok bisa nggak tahu?” jawabku setengah mencibirnya.
Harpa memutar bola matanya malas lalu menghembuskan napas kasar.
“Tukang gosip juga bisa lemot kali! Emang lo pikir gue wifi corner yang internetnya idup 24 jam?” deliknya sebal.
“Hehe.” Aku hanya terkekeh pelan. “Oh bukan ya?” godaku dengan senyuman yang terkembang sempurna.
“Nyebelin amat lo emang!” dengusnya sebal.
“Dih, jangan baper, Har!” ucapku.
“Nggak baper gue, laper malah!” sanggahnya.
“Bagus, deh! Gimana nih, gue pengen out!” kataku dengan gelisah.
Harpa menggaruk-garuk pelipisnya.
“Harus?” tanya Harpa.
Aku mengangguk.
“Tahanlah sebentar! Lagian ini udah jam berapa, But? Lab Biologi nggak dipake hari ini, Bu Iva nggak masuk jadi lo tenang aja!” katanya mencoba membuatku bertahan di rapat yang sudah mirip perdebatan calon presiden.
Aku menaikkan satu alisku, tidak langsung percaya dengan apa yang baru saja Harpa katakan.
“I Swear,” ucap Harpa meyakinkanku seraya mengangkat dua jarinya yang dia bentuk seperti huruf V.
“Oke,” kataku lalu merebahkan diriku di sandaran kursi, masih menghentak-hentakkan kaki.
Handphoneku lowbat, tidak ada paketan pula. Jadi, aku tidak bisa meminta Asep atau Firman untuk memeriksa apakah Anestesi sudah pulang atau tidak. Aku khawatir dia membersihkan Lab sendirian. Aku tidak mau dia kenapa-kenapa apalagi dia pernah trauma di Lab Biologi sebelumnya. Aku berharapnya, dia pulang duluan.
Setelah empat lima puluh lima menit berjuang melawan rasa kantuk dan bosan, rapat OSIS selesai. Qori selaku ketua OSIS berhasil memukul mundur Gilang selaku wakil ketua OSIS yang terus memaksakan ide-ide barunya pada acara tahunan yang sudah digelar turun-temurun itu. Keduanya teman baik, walau gosipnya mereka pernah pacaran saat SMP. Namun melihat sikap mereka di SMA, aku rasa label ‘teman baik’ hanya pencitraan. Karena nyatanya, mantan berubah jadi sahabat itu jarang baikan. Kalau sahabat jadi mantan, itu sering kejadian.
Aku keluar ruangan sambil memukul-mukul pelan bagian belakang kepalaku. Kepalaku terasa berat dan pegal. Aku tidak pernah tahu kalau rapat OSIS akan bisa sangat lama dan melelahkan. Sebelum pulang, aku kembali ke kelas dulu untuk mengambil tasku. Tadi OSIS memulai rapat dari jam ketujuh dan baru selesai barusan. Aku bahkan tidak ingat apa yang kami bicarakan selama rapat. Yang kutahu, aku sudah telat hampir satu jam dari jam pulang sekolah. Kalau saja Angin tidak kuliah, dia pasti sudah mengomeliku. Apesnya, tadi aku tidak memiliki kesempatan sama sekali untuk berbicara dengan Anestesi.
“Milea,” panggilku saat kulihat seorang cewek yang kukenal berdiri di depan kelasnya dengan wajah ditekuk.
Milea tidak mengubris panggilanku, dia sibuk memainkan kuku-kukunya.
“Mantan nyapa nih!” godaku.
Milea memutar bola matanya dengan jengah.
“Jangan gitulah, kan sudah move on!” godaku.
Milea pada akhirnya menoleh ke arahku.
“Iya, halo Ribut Jagad Satria, mantan gue yang pengen gue tenggelamin di laut merah!” balasnya dengan nada suara penuh kejengkelan.
“Dih, gini-gini gue pernah jadi mantan lo, Mil!” kataku sambil terkekeh.
“Iya, buta kali gue sampe mau sama lo!” dengusnya kesal.
“Nggak gitu juga kale! Lo mungkin khilaf atau gue yang khilaf nembak lo?” ucapku sambil tersenyum puas karena berhasil menjaihilinya.
“Ck,” decak Milea kesal.
“Kok lo belum pulang? Nungguin ayang Gilang ya?” tebakku yang langsung disambut anggukan Milea.
“Ho’oh, udah pulang lo sana!” usirnya sambil mengibas-ngibas tangannya agar aku segera menyingkir dari hadapannya.
“Liat anak kelas gue nggak?” tanyaku.
“Firman sama Asep maksud lo? Udah pulang mereka!” jawab Milea dengan yakin.
“Hm,” aku menggaruk-garuk pelipisku. “Ceweknya? Udah pulang semua juga?”
Milea menautkan alisnya, aku rasa dia mulai berpikir yang aneh-aneh. Tetapi niatku sebenarnya hanya ingin tahu apakah dia melihat Anestesi sudah pulang atau belum.
“Udah pulang semua,” jawab Milea. “Kenapa? Lo mau macarin si Linda? Kan emang cuma dia di kelas lo yang belum lo pacarin,”
“Huh? Kagak!” sahutku cepat.
“Iya, bercanda gue! Pulang sana lo!” usir Milea.
“Oke, oke. Bye!” pamitku lalu berjalan pergi meninggalkan Milea yang kini sudah berstatus sebagai pacar dari Gilang, bukan Burhan, kang Adi atau balikan sama Beni. Becanda, kok! Milea yang kukenal, bukan Mileanya Dilan. Jadi, tenang saja, dia tidak akan menikah dengan mas Herdi setelah lulus kuliah. Kalaupun hal itu kejadian, mereka tetaplah dua orang yang berbeda.
Aku pun segera masuk ke mobilku, sudah siang dan aku tidak mau diomeli ayah yang hari ini sudah berpesan kalau aku harus pulang setelah sekolah usai, tidak boleh mampir-mampir. Ada yang mau dibicarakan. Begitu kata ayah dan aku belum bersedia mengorbankan diriku untuk memuaskan rasa penasaranku untuk bertanya mengapa harus begitu. lagipula, Milea sudah memberiku informasi yang kubutuhkan kalau Anestesi sudah pulang.
Aku mengemudikan mobilku dengan santai sembari mendengarkan musik dari radio. Sesekali aku bersiul dan ikut menyanyikan beberapa lirik dari lagu yang diputar sampai aku mengernyitkan keningku saat melihat seorang cewek berkucir kuda sedang menghentak-hentakkan kakinya ke tanah dengan pandangan yang tertuju pada ujung sepatunya. Itu Anestesi. Dia tengah berdiri di depan sebuah toko, sendirian.
Aku memarkirkan mobilku di tepi jalan lalu bergegas turun untuk menemui Anestesi. Aku harus minta maaf padanya sampai aku mengurungkan niatku karena melihat seorang cowok dengan postur tubuh ideal, rambut model duri-duri kaktus keluar dari toko. Anestesi menyambut cowok itu dengan senyuman yang merekah sempurna. Dia terlihat manis sehingga membuatku berdecak kesal entah kenapa.
Mereka mengobrol dan bahasa tubuh mereka berdua menunjukkan sebuah keakraban. Di dekat cowok itu, Anestesi sama sekali tidak canggung. Walau dia kembali menjadi dirinya, agak kikuk, ceroboh dan menyenangkan. Aku hanya melihatnya, dari jauh tetapi aura keberadaannya sudah mempengaruhiku dengan begitu luar biasa. Senyumnya memang menawan hingga membuat hatiku tertawan. Huh? Bicara apa aku ini?
Aku tepuk-tepuk pipiku sebentar lalu berbalik, kembali ke dalam mobil dan segera pulang dengan pikiran yang kini sudah penuh dengan bayangan satu cewek : Anestesi. Walau aku masih bertanya-tanya, siapa gerangan cowok yang sedang bersamanya itu.
***
Saat aku tiba di rumah, suasana rumahku yang biasanya sepi mendadak ramai. Walau tidak ada banyak orang, hanya terdengar suara tawa yang membuat rumahku menjadi lebih hidup. Sekilas jika boleh kutebak, itu suara tawa ayah, ibu dan juga si Angin. Namun di antara tiga suara tawa itu, ada satu tawa yang paling menonjol. Suara tawa yang khas dari suara melengking yang tidak memekikkan telinga. Sejenis suara tinggi wanita yang terdengar asing dan berbeda tetapi bisa diterima sebagai nada yang merdu oleh telinga.
Aku memasuki rumah dengan mengucapkan salam yang seketika langsung dijawab oleh semua keluargaku. Di antara mereka, juga sudah duduk seorang cewek berambut panjang sebahu dengan bola mata kecoklatan. Begitu melihatku cewek itu tersenyum lalu melambaikan tangannya.
“Hai, Ribut!” sapanya dengan antusias.
“Oh, hai!” kataku balas menyapanya.
“Baru pulang?” tanya ayah yang hanya kubalas dengan anggukan.
“Ganti baju lalu turun, gabung!” suruh ibu yang lagi-lagi hanya kubalas dengan anggukan kepala.
Aku berjalan pelan menuju kamarku, berganti baju dan hendak tidur jika saja suara ketukan pintu tidak membuatku terpaksa bangun dan membuka pintu kamarku. Di hadapanku, berdiri seorang cewek yang memang sudah kukenal sejak dulu.
“Mau kabur, But? Nggak suka ketemu gue?” tanyanya dengan mendelik kesal ke arahku.
“Bukan gitu, Ray! Capek!” jawabku sekenanya.
Raya—anak teman ayah dan juga teman masa kecilku menyipitkan matanya seolah tidak percaya dengan alasanku. Bibirnya mencibik pelan.
“Lo lagi badmood, But?” tanyanya penuh selidik.
Aku menggaruk rambutku asal.
“Kagak,” bantahku. “Hanya capek!”
“Disuruh gabung lho sama ibu lo!” katanya mengingatkan.
“Nggak apa-apa, lo doang juga tamunya. Pengen tidur gue!”
“Ayolah, gue udah jauh-jauh dari Bogor kesini cuma buat ketemu lo!” bujuknya. “Keluar ya, bicara berdua! Di teras belakang kalau lo sungkan di depan!”
Aku menghela napas panjang lalu berjalan keluar kamar yang kemudian diikuti oleh Raya. Kami duduk di teras belakang sambil melihat kolam renang rumahku. Raya duduk di sampingku ditemani dengan sebungkus koaci di tangannya.
“Masih aja lo ngemil koaci?” tanyaku.
Raya mengangguk pelan.
“Masihlah, kebiasaan lama nggak akan berhenti gitu aja!” jawabnya.
“Lo kesini ngapain?” tanyaku.
“Nolak perjodohan,” jawabnya yang seketika membuatku menoleh kaget ke arahnya.
“Nggak usah khawatir, gue nolak perjodohan lo sama gue!” ucap Raya dengan santai. “Lagian kenapa sih dari dulu gue dipaksa berjodoh sama lo? Karena kita temen sepermainan?” omelnya.
Aku menaikkan kedua bahuku.
“Entah, padahal kan nggak ada rasa di antara kita,” kataku menimpali.
“Hehe,” Raya terkekeh pelan. “Bukan kita, lo aja yang ngasih status friendzone sama gue,” elaknya.
“Gue nggak ngasih status itu, lo aja yang kebaperan!” sanggahku.
“Eits, gue nggak baper lho ya, lo aja yang kelewat perhatian!” bantahnya.
“Tapi ya,” Raya memandangku dengan senyuman lebar. “Friendzone mengajarkan kita bahwa nggak semua hubungan antara cewek dan cowok harus berakhir dengan pacaran, ya kan?”
Aku mengangguk setuju.
“Iya dan nggak semua hal yang orangtua anggap baik, baik juga untuk anak-anak mereka. Sama seperti halnya rencana yang dianggap baik oleh manusia, belum tentu baik di mata Tuhan, right?”
Raya menaik-turunkan kepalanya.
“One hundred persen, I am agree with you!” ujar Raya mendukung pendapatku.
“Kesini sama siapa?” tanyaku, mengubah pembicaraan dari yang serius ke yang lebih santai.
“Sendiri,” jawabnya.
“Nggak sama pacar?” tanyaku.
Raya menggeleng.
“Baru putus,” sahut Raya santai, tanpa beban.
“Kenapa?”
“Karena dia ngedenger gosip gue mau dijodohin sama lo!”
“Sorry,” ucapku merasa bersalah.
Raya tersenyum tipis.
“Never mind. Justru gue seneng, berkat itu gue jadi tahu kalau dia sama sekali nggak percaya sama gue.” kata Raya dengan senyuman yang kurasa sedikit dipaksakan.
“Kata siapa cowok hanya mau dipercaya dan cewek mau dingertiin doang? Hubungan antara dua orang, nggak sesimple itu.” Raya mendesah pelan. “Keduanya kudu balance and sometimes, we forgot this point!”
Aku tersenyum tipis lalu kuacak-acak rambut Raya sehingga membuatnya mengomel tentang berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menata rambutnya dan segala produk kecantikan yang dia pakai untuk bisa membuat rambutnya sehitam dan selembut sekarang. Raya tidak berubah sama sekali, dari kecil sampai sekarang, dia tetap Raya yang selalu menjunjung tinggi pendapatnya. Dia akan menolak jika tidak suka, menerima jika suka dan berkata tidak tahu jika masih bimbang. Raya yang seperti itu membuatku nyaman bersamanya. Walau kenyamanan di antara kami hanya lebih kepada pertemanan bukan romance picisan.
“Kalau lo?” kata Raya saat tidak ada lagi topik yang bisa kami bicarakan tentangnya.
“Pacar? Nggak ada, lagi jomblo!” sahutku yang langsung disambut gelak tawa Raya.
“Playboy kayak lo jomblo, But! Ngebual ih lo!” sanggahnya tidak percaya.
“Beneran tauk! Lagian kata siapa gue playboy? Gue nggak pernah ya pacaran sama dua orang cewek bersamaan!” belaku pada diriku sendiri.
“Lo pikir playboy itu hanya berlaku buat yang punya pacar lebih dari satu?” cibir Raya.
“Emang bukan?” tanyaku balik.
Raya mengangguk cepat.
“Cowok yang mantannya bertebaran dan kalau putus nggak pernah lama buat dapet yang baru, itu juga termasuk playboy tauk!” tegas Raya.
“Oh,” sahutku. “Kalau cowok yang nggak move on dari mantan bukan playboy dong?”
“Bukan,” sahut Raya.
“Apa, dong?”
“Cemen!” jawab Raya yang kemudian terbahak karena jawabannya sendiri.
“Dih, dasar lo!” desisku.
“Tapi, lo jangan khawatir, But! Seplayboy-playboynya lo, lo tetep temen terbaik gue!” kata Raya tulus.
“Huum, makasih!” sahutku.
“Sama-sama,”
“Btw, lo nginep sini?” tanyaku.
Raya menggeleng.
“Kagak, pasti bentar lagi gue disuruh pulang sama ayah lo!” jawab Raya.
“Haha, iya sih! Ayah gue nggak pernah mau nerima teman gue atau Angin nginep sini!”
“Huum, ayah lo mah aneh! Lagian ya, lo kok manggil beliau ayah sih? Kenapa nggak papa, bokap atau papi gitu? Lebih keren!” tanya Raya dengan heran.
“Lo kan tahu, Ibu gue dosen sastra. Di KBBI, nggak ada papa, bokap atau papi, adanya ayah!” jawabku yang disambut anggukan oleh Raya.
“Oh,” katanya baru mengerti.
Setelah itu, kudengar suara ibuku yang memanggil kami berdua. Aku pun terpaksa bergabung, hanya makan bersama. Setelah itu ayah memintaku mengantar Raya sampai stasiun. Saat berpisah, teman masa kecilku itu memelukku sebentar, dia bilang minta dialirin semangat. Aku hanya menuruti saja apa yang dia mau. Dengan lambaian tangan, aku melepaskan Raya pergi. Sebelum pergi, dia membisikkan sesuatu yang membuatku ingin sekali berlari mengejarnya seperti adegan film. Sayangnya, kami tidak sedang syuting adegan.
But, kata papa, kalau gue nolak perjodohan sama lo kali ini. Gue harus sekolah ke Australia. Karena itu, gue bela-belain ke lo hari ini. Tadinya mau ngucapin selamat tinggal tapi nggak tahan. Karenanya, gue bilang sampai jumpa lagi. Selamanya, lo akan jadi sahabat gue.