BAB 01.2

919 Words
AKU menatap Axa tajam. Daniel menggelengkan kepala lalu memejamkan matanya. Ia bukan perjaka lagi, aku tahu itu. Ia memang terlihat datar dan tidak peduli, tapi untuk laki-laki normal dewasa sepertinya, seks bukanlah hal baru lagi. Bahkan ia pun kerap melakukannya beberapa kali untuk menyalurkan nafsu yang ia miliki. "Dia sepertinya seseorang yang hebat. Kau bisa mengenalkannya padaku. Jika perlu latar belakang keluarganya juga, aku ingin mengetahuinya!" ucapan Papa membuatku beralih menatapnya tajam. "Identitas keluarganya rahasia. Kami tidak bekerja untuk mengumbar siapa saja keluarga kami. Tetapi tenanglah, dia orang yang berpengalaman dan hebat. Aku yakin Airish tidak bisa menghajarnya, sama seperti yang pernah dia lakukan ke sopir-sopir sebelumnya." Aku menatap Axa tajam. Ia sepertinya terlalu berniat mencarikan pengawal yang merangkap sopirku kali ini. Padahal sebelumnya? Jangan harap. Aku yakin, orang pertama yang akan tertawa jika aku tewas adalah Axa. "Kau sepertinya sangat mengenal orang itu. Apa dia salah satu temanmu?" Pertanyaan Daniel malah membuat Axa menyeringai ke arah kami. "Menurutmu?" "Kuharap, kau tidak menyewa pembunuh bayaran di sini," balasku sinis. Namun, keterdiaman Axa dan kedua orang lain di meja makan membuatku menghentikan acara makanku untuk melihat ekspresi mereka masing-masing. Axa menatapku datar, rahangnya mengeras. Sedangkan Daniel menghela napas, sama seperti yang Papa lakukan sekarang. Jangan katakan padaku, kalau ... Axa selama ini menjadi pembunuh bayaran? "Jangan-jangan kau...." "Ya, kau benar. Aku dan temanku seorang pembunuh bayaran. Kuharap kau berhati-hati dengan mulutmu di hadapannya. Dia bukan orang yang akan mengasihanimu, sekali pun kau memelas dengan memberikan tubuhmu padanya!" Sebuah peringatan. Aku meneguk ludahku susah payah setelah mendengar peringatan darinya. Orang-orang yang selalu aku takuti sejak mengetahui ke mana usaha keluargaku berlayar adalah para pembunuh bayaran. Aku takut dengan mereka semua yang melabeli dirinya sebagai pembunuh. Jika levelnya masih di bawahku, mungkin tidak terlalu menjadi masalah untukku. Namun, jika level mereka lebih tinggi dariku ... aku tak ubahnya seekor semut yang siap menangis demi sebuah belas kasih. *** Ada sebuah keyakinan, bila mulai esok hari kebebasanku akan musnah tak bersisa. Axa bukanlah orang yang suka bercanda, ucapannya memang tajam, tapi semua itu berdasarkan pada realita. Ia berkata akan membawa pembunuh bayaran itu kemari besok pagi. Yang artinya esok adalah hari di mana penjara seorang Airish dimulai. Aku tidak suka diawasi. Aku selalu melarikan diri jika aku memiliki kesempatan yang cukup untuk melakukannya. Tiga sopirku sebelumnya pernah mengalaminya. Aku berulang kali kabur dari mereka dan membuat mereka menjadi bulan-bulanan amarah Papa. Aku bisa melarikan diri dengan mudah, karena kemampuan mereka masih di bawah kemampuanku. Itulah mengapa aku sanggup melakukannya. Namun esok semuanya akan berbeda, Axa yang akan mengukur kemampuan sopir sekaligus pengawalku kali ini. Aku hanya khawatir, ia benar-benar mengambil yang terbaik dari yang paling baik di antara teman-temannya. Karena Axa mengetahui sampai mana batas ilmu beladiri yang sanggup aku kuasai dan ia juga tahu pasti, sampai mana batas kemampuan orang yang akan dipilihnya nanti. Aku menghela napas kasar dan mulai mengintip halaman belakang rumah yang terlihat gelap. Niatku malam ini adalah melarikan diri selagi aku masih bisa. Karena esok sudah pasti, aku akan terkurung dalam sangkarku tak bisa ke mana-mana. Pukul dua puluh dua lebih beberapa menit. Aku berjalan mengendap-endap menuju dapur yang tak pernah diawasi oleh para pengawal rumah. Mereka beranggapan jika dapur bukanlah tempat yang harus diwaspadai. Padahal di sana, ada sebuah jendela yang cukup untukku melompat meninggalkan rumah ini. Berjalan mengendap dalam kegelapan. Aku mengawasi sekitar sebelum kembali berjalan menuju pintu pagar bagian samping. Ada satu pintu pagar usang yang selalu kugunakan melarikan diri setiap malam. Pagar itu telah rusak cukup lama, tapi tak seorang pun berniat merenovasinya. Aku berhasil keluar dengan selamat. Menunduk, melihat pakaianku malam ini sebelum tersenyum cerah. Aku berniat melangkah, tapi suara itu menahan kakiku bergerak. "Mereka akan mencarimu jika kau menghilang nanti, Putri!" Suara itu membuatku mencari. Membalik tubuh ke sana-kemari mencari keberadaan laki-laki yang baru saja berbicara padaku. Namun tak ada apa pun di sekitarku. Semuanya sama. Gelap dan menyulitkan mata untuk melihat bayangannya. Aku menggelengkan kepala. Mungkin saja suara itu hanyalah ilusiku semata. Aku membalikkan badan dan mulai berjalan pelan, tapi suara itu kembali terdengar. "Apa kau tak berhasil menemukanku, Airish Alexandra?" "Siapa kau?" tanyaku yang kini kembali berbalik dan menatap sekelilingku dengan waspada. Ia benar-benar ada, tapi entah di mana ia berada. Tubuhnya menyatu dalam gelap pekatnya malam dan aku kesulitan menemukan sosoknya. Sekali pun hanya siluetnya saja, aku tak berhasil menemukannya. "Siapa aku?" Nada suaranya terdengar seperti seseorang yang tengah meremehkan lawan. "Kau pasti mengenalku." Aku merasakan seseorang mendekap bahuku dari belakang. "Kali ini, kau pasti tahu di mana aku berada, Putri." Ia berbisik tepat di belakang telingaku yang membuat darahku berdesir. Bulu kudukku meremang. Aku meronta, berharap bisa dengan mudah terlepas darinya. Namun, aku hanya diizinkan untuk berbalik guna melihat wajah laki-laki yang baru saja menangkap basah aksi kaburku malam ini. Tampan. Walau dalam gelap malam yang menyulitkan mataku untuk melihat sosoknya. Aku masih bisa mengetahui pesona ketampanannya. Kharisma yang ia miliki sangat kuat dan mata hitamnya terlalu memikat. Berkilat menantang juga menakutkan saat tertimpa cahaya rembulan, tetapi tetap saja matanya indah. Laki-laki itu menyeringai, membuatku tersadar dari bius pesonanya. Aku bergidik ngeri dan mengambil langkah untuk mundur dan segera berlari pergi. Namun senyuman mengerikan miliknya semakin lebar. Membuatku ingin segera berlari meninggalkannya. Akan tetapi, ialebih cepat. Ia menangkap tubuhku dan menggendongku dengan gerakan kilat. Seperti aku ini seringan kapas, ia dengan mudah mengangkat tubuhku agar tak lagi menginjak tanah. "Kau siapa!" bentakku frustrasi seraya memberontak dalam gendongannya. Ia membawaku menuju halaman depan di mana penjaga rumahku tengah mengawasi di sekitar sana. "Aku adalah orang yang bertugas untuk menghukummu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD