FERNAND ABIANTARA, begitulah ia menyebutkan namanya setelah membawaku masuk ke rumah dengan cara kurang ajar. Ia terus menggendongku, bahkan di hadapan para pengawal rumah ini, ia tak ragu memeluk dan membawaku masuk ke kamarku.
"Sebenarnya, siapa kau?" tanyaku padanya, setelah ia melepaskanku dan membiarkanku merangkak naik ke atas ranjang.
Ia menatapku tak berekspresi, mata hitamnya berkilat tajam dan dingin, tubuhnya tinggi dengan kulit kecokelatan. Ia terus memperhatikanku dan tidak melepaskan perhatiannya dariku sama sekali.
"Aku pengawal pribadimu," ucapannya membuatku mengerutkan dahi.
"Bukannya Axa akan membawanya besok, kenapa kau muncul hari ini?" tanyaku bingung sekaligus penasaran. Benarkah apa yang ia ucapkan barusan?
"Aku kebetulan lewat sini dan aku pun terbiasa tidur di siang hari. Jadi, aku memutuskan untuk datang kemari malam ini juga."
Kernyitan di dahiku semakin bertambah. "Kau tidur di siang hari?"
"Ya. Kadang-kadang."
Aku bisa melihat garis hitam di bawah matanya. Ia tidak cukup tidur selama ini. Bukannya orang yang akan dibawa Axa adalah seorang pembunuh, lalu kenapa orang ini tidak terlihat seperti pembunuh pada umumnya?
Maksudku ... berbadan besar, tinggi, dengan wajah menyeramkan seperti itu. Walaupun Axa juga tidak memiliki penampilan mengerikan, tapi Axa memiliki tubuh yang sedikit lebih berisi daripada Daniel.
Aku menatapnya tajam. "Kau tidak seharusnya ada di sini sekarang. Pulanglah, istirahatkan tubuhmu! Kau bisa kembali lagi besok jika kau memang mau kembali kemari!"
Ia terdiam, masih menatapku datar. "Percuma, aku tidak akan bisa tidur."
Aku berdecak kesal. "Kau harus bisa atau kau pergi saja dari sini! Aku mau pergi! Bukannya pekerjaanmu dimulai besok, lantas kenapa kau mencampuri urusanku malam ini, ha! Kau belum berhak melakukannya sama sekali, jadi pergi dari sini! Kenapa kau masih berdiri di sana terus, ha!"
Terpaksa aku memberinya luapan emosi kekesalanku. Dia memang mengesalkan. Dia harusnya datang besok, kenapa harus datang lebih awal? Ditambah lagi ia tidak meninggalkanku setelah membawaku pulang. Padahal aku ingin kabur, paling tidak untuk malam ini saja.
"Aku ingin memastikan kau berada di kamarmu sampai pagi dan tidak meninggalkan tempat ini sama sekali. Jadi tidurlah ... atau aku akan menghukummu dan memaksamu tidur sekarang."
Aku menatapnya kesal. "Memang apa yang akan kau lakukan untuk menghukumku? Kau mau membunuhku? Aku tidak takut mati, asal kau tahu itu!"
Ia tersenyum tipis. Senyuman yang sangat manis. Dia yang semula berada di ambang pintu masuk kamar perlahan bergerak mendekatiku. Kakinya mulai naik ke atas ranjang setelah melepaskan sepatu hitam yang ia kenakan. Lalu tangannya bergerak membuka kancing jaket hitamnya dan melepaskannya dengan gerakan pelan.
Aku mengamati setiap gerakannya tak berkedip. Pakaiannya yang serba hitam dan kulitnya yang agak kecokelatan membuat ia tak terlihat jelas di balik kegelapan malam. Namun kali ini, di bawah cahaya lampu kamarku yang terang, sosoknya benar-benar terlihat jelas seperti seorang malaikat dengan paras tampan dan senyum mematikan.
"Kau sendiri tidak mau tidur, tapi kau terus memaksaku untuk tidur. Kenapa tidak kau saja yang menidurkanku di sini, Putri?"
Ia mendekat, meraup tubuhku dan membawaku mendekat ke d**a bidangnya. Aku mencoba melepaskan diri, tetapi tubuhnya sangat keras dan membuatku tak berkutik.
Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik dengan nada s*****l. "Tidurlah Putri ... kalau kau tak mau aku menidurimu dengan paksa malam ini."
Aku bergidik mendengar ucapannya. Aku mencoba kembali berontak, tapi ia memeluk tubuhku semakin erat.
Kemudian ia berbisik tepat di atas telingaku, "Tidurlah."
Aku tidak mengenalnya. Dia hanya menyebutkan namanya tadi sebelum ia membawaku memasuki kamar. Fernand Abiantara. Aku tidak tahu harus memanggilnya siapa, tetapi ia telah mengetahui namaku, bahkan memanggilku dengan sebutan"Putri".
Sebuah sapaan aneh dari seorang pengawal kepada majikannya.
Aku terdiam dan pasrah. Menyerah karena aku tahu hasilnya akan percuma. Tenaga laki-laki yang kini memelukku cukup untuk meremukkan tulang-tulang tubuhku jika ia mau. Terlebih, aku sama sekali tidak berkutik di bawah kendalinya.
Dalam hati aku mengumpati Axa. Ia mencarikan pengawal berbadan ramping, tapi tenaganya bisa bersaing dengan tenaga kuda. Dia sangat kuat dan aku harus pasrah menerima kekalahanku darinya, karena jelas-jelas aku tidak bisa berbuat apa-apa jika kami beradu tenaga.
"Axa sialan," gumamku pelan sebelum mataku menutup dalam dekapan laki-laki asing yang baru kutemui beberapa menit yang lalu.