3. Gadis Nakal

1137 Words
"Kamu yakin akan menikah dengannya, Sayang?" Roy menatap putrinya penasaran. Sesekali ia melirik ke arah sofa, tempat di mana William tengah duduk anggun sembari menyesap kopinya. Vanilla mengangguk penuh rasa percaya diri. "Iya, Pa. Memangnya kenapa? Papa nggak setuju?" "Bukan begitu, Sayang. Acara pertunanganmu dengan Aksa baru saja dibatalkan, dan sekarang tiba-tiba saja kamu bawa laki-laki tua itu dan mengatakan ingin menikah dengannya?" Vanilla terbahak, bahunya berguncang akibat tawanya yang begitu lepas. Ia menyeka sudut matanya yang menyipit, air matanya sampai keluar gara-gara tak bisa menahan tawa. Ekspresi wajah ayahnya saat mengatai William pria tua terlihat sangat lucu. "Papa serius, Vanilla. Pertunanganmu dan Aksa baru saja dibatalkan, dan kamu bilang mau menikah dengan laki-laki yang sepantasnya menjadi om kamu? Kalian berdua memiliki selisih umur yang sangat jauh." Roy menggeleng pelan melihat tingkah putri semata wayangnya. "Umur bukan halangan untuk sebuah hubungan, Pa," jawab Vanilla, santai. "Tapi dia ayah dari temanmu, takut kamu lupa. Dia mertua calon tunanganmu yang sekarang menjadi suami dari sahabatmu. Dan kamu mau jadi ibu tiri dari orang yang sudah merebut Aksa darimu? Papa nggak habis pikir sama jalan pikiranmu." "Jangankan Papa, aku sendiri juga nggak nyangka semuanya akan menjadi begini. Tapi, Pa. Aku mencintainya, aku sungguh ingin menikah dengannya, Pa." Apa yang dikatakan Vanilla tentu saja adalah sebuah kebohongan. Hanya ia dan Tuhan saja yang tahu niatnya menikahi William. Roy menyugar rambutnya kasar. Putrinya tak pernah main-main, jika menginginkan sesuatu maka hal itu harus terjadi. Akan tetapi, calon suami yang dibawa anaknya bukanlah pria biasa. William lebih pantas menjadi adiknya ketimbang menjadi seorang menantu. Terlebih status William yang cukup rumit. "Sebelum terjerumus dosa, Pa. Akan lebih baik kalau Papa menikahkan aku dengan Om William. Aku janji akan tetap melanjutkan kuliah, jadi anak dan istri yang baik dan aku akan kasih Papa cucu yang lucu. Gimana?" Vanilla terus berusaha membujuk ayahnya untuk memberikan restu. Tadinya ia mengira William hanya ingin membuat Aksa pulang ke rumah dengan menjanjikan akan menikahinya. Dengan begitu Vanilla tak akan menganggu Aksa lagi. Akan tetapi, pagi ini pria itu benar-benar menepati janjinya. William tak main-main dan bahkan meyakinkan papanya agar mau menikahkan mereka. "Soal kuliah itu akan menjadi urusanmu. Papa hanya nggak yakin kalau keputusan menikah dengan William akan menjadi keputusan yang nggak akan kamu sesali nantinya. Menikah itu nggak semudah yang kamu bayangkan, Nak. Akan ada banyak hal tak terduga, dan yang paling penting Papa nggak mau kamu kehilangan masa mudamu. Masa depanmu masih panjang, kamu baru sembilan belas tahun." Vanilla meraih telapak tangan Roy, meletakkan di pipinya kemudian mengecupnya. "Aku tahu Papa sayang banget sama aku, tapi aku juga sudah besar, Pa. Aku sudah bisa mengambil keputusan sendiri dan aku juga sudah menimbang segala sesuatunya." Roy mencerna perkataan putrinya. Melihat pendar kebahagiaan di manik mata Vanilla membuat pertahanannya runtuh. Rasanya hal yang wajar dilakukan oleh setiap ayah demi membuat anaknya bahagia. Vanilla begitu hancur saat mengetahui kenyataan Aksa berselingkuh dengan sahabatnya sendiri sampai keduanya menikah dan kemudian pertunangannya dengan Vanilla dibatalkan. Berhari-hari lamanya Vanilla mengurung diri dan enggan makan, ia kehilangan semangat hidupnya sampai Roy takut putrinya akan berbuat nekat. Namun, melihat semangat hidup Vanilla yang telah kembali penuh hari ini, membuat Roy mau tak mau memberikan restunya. Dengan begitu Vanilla akan terhindar dari pergaulan bebas yang menjurus pada dosa, akan ada yang menjaga putri kesayangannya nanti. Setidaknya itu yang Roy pikirkan. "Pa," tegur Vanilla yang sedari tadi mendapati ayahnya terus melamun. "Eh, iya Sayang. Ayo, jangan buat William menunggu terlalu lama." Vanilla ingin melompat kegirangan rasanya saat sang papa mengapit lengannya dan membawanya kembali ke ruang tengah. William berdeham sembari meletakkan cangkir di meja melihat sekembalinya Vanilla dan Roy. Sejujurnya dia sendiri enggan menikahi bocah ingusan macam Vanilla, tapi apa boleh buat. Dia memiliki rencana dengan pernikahan ini. William tersenyum tipis pada Roy yang baru saja menghempaskan bobotnya di sofa, persis di hadapannya. Lucu sekali rasanya jika harus memanggil laki-laki yang selisih enam tahun diatasnya itu dengan sebutan 'papa'. Awalnya William pikir Vanilla yang gila, tapi sekarang sepertinya dia juga ikut menjadi gila. Dan semua ini dilakukannya hanya demi Cinta, anak semata wayangnya. "Bagaimana, Tuan? Hm, maksud saya, Om?" ralat William salah tingkah karena bingung harus memanggil Roy dengan sebutan apa. "Tidak perlu formal begitu. Saya tahu ini pasti akan sangat canggung untuk kita. Selama ini kita hanya terlibat dalam hal bisnis, tapi kemudian sebentar lagi status kita berubah menjadi mertua dan menantu. Panggil saja saya 'papa' seperti Vanilla memanggilku." Roy terkekeh pelan. Selain mengenal William sebagai ayah dari sahabat putrinya, beberapa kali mereka juga bertemu karena urusan pekerjaan. Mereka telah saling mengenal satu sama lain selama ini, tapi tetap saja rasanya sulit menerima kenyataan kalau sebentar lagi hubungan kedua pria itu tak hanya sebatas rekan kerja, tapi menjadi mertua dan menantu. "Jadi maksudnya, Anda setuju jika saya menikah dengan Vanilla?" "Papa, panggil saja saya begitu." Lagi, Roy terkekeh. William sampai dibuat geli sendiri. Bagaimana tidak? Roy hanya tua enam tahun darinya, sudah sepantasnya pria itu menjadi kakaknya tapi dia harus mulai terbiasa memanggil dengan sebutan 'papa' karena pernikahannya dengan Vanilla akan segera digelar tidak lama lagi. "Iya, saya merestui pernikahan kalian. Lebih cepat lebih baik," imbuh Roy. "Terima kasih, Papa." Vanilla berseru memeluk pria yang tak pernah berkata 'tidak' padanya sepanjang dia hidup. "Kalau begitu biarkan saya yang akan mengurus semuanya," ujar William. "Ya, kamu dengan tugasmu dan saya tentu saja dengan tugas saya sebagai seorang ayah." "Tidak, Om ... Hm, maksudku Papa hanya terima beres saja. Saya akan menghubungi pihak WO untuk mengurus semuanya." Vanilla menahan tawanya karena terlalu bahagia. Rencananya berhasil. Ia tak menyangka jalannya untuk menikah dengan William akan semudah dan secepat ini. "Baiklah, karena semua yang ingin saya sampaikan sudah saya katakan, maka saya ingin pamit pulang. Masih ada banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan," ucap William. "Ya. Papa tahu seperti apa kesibukan pengusaha muda yang sukses sepertimu. Lain kali mampirlah untuk makan malam, akan saya minta Vanilla untuk mengabarimu kapan waktunya." "Tentu saja. Terima kasih karena Papa telah menyambut dengan baik niatan saya." Kedua pria itu bangkit dengan disertai Vanilla. William menjabat tangan calon mertuanya sebelum pergi dari rumah itu. "Saya permisi." "Hati-hati di jalan," sahut Roy. "Kamu antar calon suamimu ke depan," titahnya pada Vanilla. "Iya, Pa." William mendengus saat Vanilla mengapit lengannya dengan mesra. Gadis itu terlihat sangat bahagia, dan hal itu malah membuat William semakin kesal. "Sampai jumpa lagi, Om tampan. Sudah nggak sabar rasanya ganti status menjadi istri Om." Bicara dengan mengedipkan sebelah matanya pada William. "Kembali ke kamarmu! Cuci tangan dan kaki lalu gosok gigi dan pergi tidur." William mencebik. "Aku bukan anak kecil lagi, Om. Aku calon istri Om." Tanpa meninggalkan sepatah kata lagi, William gegas menutup kaca mobil dan melajukan kereta besinya meninggalkan pelataran rumah Roy. "Papa? Sungguh menggelikan sekali kalau aku harus memanggil rekan bisnisku sendiri dengan panggilan 'papa'." William memukul kemudinya. "Ini semua gara-gara Vanilla. Bocah nakal itu harus aku beri pelajaran."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD