2. Bukan Permainan

1359 Words
Mobil yang dikendarai William belum sepenuhnya berhenti ketika seorang gadis cantik berlari ke arahnya. Pria itu melepas sabuk pengaman dan segera turun dengan tergesa. "Papi ... Papi," rengek gadis itu dengan wajah basah. Penampilannya sangat kacau dan terlihat memprihatinkan. "Ada apa, Sayangku? Kenapa lari-lari? Bagaimana kalau kamu sampai jatuh?" "Papi ...," Gadis itu kembali merengek, ia menenggelamkan wajahnya di d**a sang ayah untuk menumpahkan tangis dan segala kesedihannya di sana. "Ada apa, Sayang? Cerita sama Papi." Pelukan keduanya terlepas, pria tampan itu menangkup kedua belah pipi putrinya. Melihat tangis Cinta adalah kelemahan terbesar bagi seorang William. "Katakan ada apa?" desak William yang penasaran. Ia merangkul pundak anak semata wayangnya dan mengajaknya untuk masuk ke dalam. Puluhan tahun hidup sendiri, merawat dan membesarkan Cinta hanya dengan bantuan ibunya, membuat William begitu menyayangi gadis itu. Apa pun akan dia lakukan demi kebahagiaan putrinya. "Aksa, Pi. Aksa pergi," kata Cinta. Matanya yang bengkak seakan memberitahu William kalau gadis itu menangis untuk waktu yang lama. "Mungkin cuma keluar sebentar, ada keperluan atau ada hal yang harus dia kerjakan. Kenapa nggak ikut dengannya tadi?" "Dia pergi terburu-buru Pi, dan aku tahu dia pergi untuk menemui Vanilla?" "Enggak mungkin," balas pria itu. William sudah mengancam menantunya untuk tidak berbuat nekat. Perusahaan orang tua Aksa menjadi taruhannya. William termasuk pengusaha paling berpengaruh di negara ini dan banyak ditakuti lawan maupun kawan bisnisnya. "Kenyataannya dia pergi untuk bertemu dengan Vanilla, Papi." Cinta menjerit, tangisnya kembali pecah dan meledak-ledak. "Jadi Aksa pergi menemui Vanilla?" Cinta mengangguk. Ia mengguncang lengan kemeja William. "Bawa Aksa pulang, Pi. Papi tau betul kalau aku nggak bisa hidup tanpa Aksa. Ayo, Pi!" William mendesahkan napasnya ke udara. Akhir-akhir ini Cinta sering sekali menguji kesabarannya. Dia juga hanya manusia biasa yang juga lelah dan memiliki kesibukan lain, tapi Cinta terus membuatnya berurusan dengan hal yang tak seharusnya dia urus. Hubungan percintaan adalah hal yang rumit bagi William, itulah mengapa dia enggan menjalin kedekatan dengan lawan jenis. Juga, selama ini belum pernah ada wanita yang benar-benar bisa mencuri hatinya. "Tanpa disuruh pulang pun nanti juga dia akan pulang sendiri karena sejak kemarin rumahnya adalah di sini." "Tapi dia pergi menemui Vanilla, Papi. Pokoknya aku nggak mau tau! Aksa harus pulang. Gimana kalau dia bawa Vanilla kabur? Lihat ini." Cinta menunjukkan ponselnya di mana ada potret suami dengan mantan kekasihnya itu sedang berpose mesra. William semakin dibuat pusing dengan rengekan Cinta. Salahnya juga yang selama ini terlampau memanjakan gadis itu sehingga Cinta tumbuh menjadi gadis yang egois. Apa pun yang diinginkannya harus dia dapatkan. "Baiklah." William menghela napas. Ia merogoh benda dalam kantong pakaiannya dan mendial satu nomor. "Kembali ke kamarmu, biar Papi yang urus. Aksa akan pulang dan Papi pastikan selamanya dia hanya akan menjadi milikmu," imbuh pria itu. William menyingkir dengan ponsel yang menempel di telinga. Dia bahkan belum selesai berbicara, tapi Vanilla sudah langsung memutus panggilan sepihak. "Tidak ada jalan lain lagi." William menggumam pelan. Jangankan untuk mengisi perutnya yang kini terasa perih, William bahkan tak punya waktu untuk sekadar mengganti pakaiannya. Beruntung mobilnya belum ia masukkan dalam garasi, hingga ia bisa langsung mengendarainya lagi. Jalanan yang macet, jarak tempuh yang cukup jauh membuat pria itu berulang kali menyentak napas. Sesekali William memukul kemudinya, seluruh kekesalannya terkumpul di sana. "Kenapa juga nomor Vanilla nggak bisa dihubungi. Untungnya aku memasang GPS di mobil Aksa untuk mengantisipasi kejadian seperti ini." William membanting pintu mobil kemudian berlari kecil menuju sebuah warung tenda yang tak jauh dari pantai, begitu ia tiba di tempat tujuannya. Aroma harum masakan menguar memenuhi indera penciumannya, khas masakan laut. Jika saja tak ingat dengan tujuan utamanya sampai tiba di tempat yang jauh ini, mungkin William lebih memilih untuk memanjakan lidahnya. Gigi William bergemerutuk saat melihat Aksa dan Vanilla sedang duduk saling berhadapan sambil menyantap makan malam. Tatapan kedua anak manusia itu terlihat penuh cinta, dan William semakin dibuat meradang melihat Aksa menyelipkan rambut Vanilla di balik telinga gadis itu. "Kurang ajar!" Buru-buru William mengambil langkah lebar kemudian menggebrak meja sesampainya dia di sana. "Aksa!" Tubuh Vanilla berjingkat, begitu juga dengan pemuda di hadapannya. "Cepat pulang, atau saya akan benar-benar melakukan hal yang nggak pernah bisa kamu bayangkan!" hardik William dipenuhi dengan ancaman. Aksa terdiam. Tatapannya pada Vanilla terlihat sendu. Pemuda itu jelas tak rela jika harus meninggalkan Vanilla, wanita yang dicintainya. Sementara Vanilla masih terdiam menyaksikan kejadian yang tersaji di depan matanya. "Apa kamu tuli!" bentak William yang masih belum melihat pergerakan menantunya. "Cepat pulang! Saya tidak pernah main-main dengan ucapan saya," imbuhnya. "Sebaiknya kamu pulang sekarang," kata Vanilla, menyela. "Tapi bagaimana dengan kam ...," "Kita masih bisa bertemu. Akan aku pikirkan caranya agar kita bisa bersatu." Vanilla meraih tangan Aksa dan sedikit meremasnya. "Apa maksudmu!" William mendesis. Wajahnya memerah menahan amarah yang kian memuncak. "Dan kamu! Cepat pulang!" Telunjuk William mengarah tepat di depan wajah Aksa. Vanilla tersenyum mengejek. Rencana awalnya berjalan dengan lancar, tinggal menyelesaikannya misi lanjutannya saja dan ia yakin keberuntungan akan berpihak padanya kali ini. Seolah tak terpengaruh sama sekali, gadis itu kembali melanjutkan makannya dengan sangat anggun. Tidak sia-sia dia mengambil foto mesra dengan Aksa dan mengirimkannya pada Cinta. William sungguh kesal dibuatnya. Akan tetapi kemudian melihat bagaimana Vanilla menyapukan lidahnya membersihkan sisa saus di bibir ranum itu, membuatnya terpana. Terlihat sangat menggoda. William menggeleng pelan berusaha menepis pikirannya yang mulai liar, teringat akan alasan keberadaannya di sana. "Om nggak nyangka kamu bisa bersikap kurang sopan seperti ini," sinis William. Pria itu reflek mendaratkan bokongnya di kursi yang sempat diduduki Aksa barusan. "Bisa-bisanya kamu bersikap seolah tidak terjadi apa-ap ...," Kata-kata William kembali tertelan saat Vanilla dengan cepat menyuapinya. Hampir saja William tersedak karena nasi bercampur udang itu terasa menyengat lidahnya. Wajahnya kembali memerah, tapi kali ini karena kepedasan. Emosi yang sempat menuncak perlahan menguap setelah memastikan Aksa kembali ke rumah. "Enak lho, Om. Mau makan sendiri atau mau aku suapin kayak tadi," tawar Vanilla dengan kerlingan matanya yang menggoda. Mendadak William kehabisan akal menghadapi tingkah Vanilla. Selain karena lapar, ia juga tak memiliki alasan untuk membuang makanan yang terlanjur ada di dalam mulutnya. Semula ia berpikir Vanilla adalah gadis yang baik dan penurut, tapi kenyataannya Vanilla begitu tengil dan nakal. "Tujuan saya ke sini bukan untuk makan," ucap William setelah berhasil menelan makanannya. Meskipun lebih pedas dari seleranya, tapi William mengakui makanan itu sangatlah enak. "Tapi buktinya tadi Om telan makanannya," balas Vanilla. Seperti biasa, gadis itu tampak santai dan selalu ingin terlihat menggoda. Hanya ini keahlian yang Vanilla miliki demi bisa mencapai tujuannya. Vanilla mengambil piring kosong, menaruh satu sendok besar nasi dan membubuhkan cumi beserta lauk lain di atasnya lalu mendorongnya di hadapan William. "Silakan, Om. Untuk mengomel juga butuh tenaga. Om pasti belum sempat makan." Lagi-lagi Vanilla mengedipkan matanya menggoda William. William hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kelakuan teman dari anak gadisnya itu. Vanilla kembali melahap sisa makanan di piringnya dan terlihat tergesa untuk pergi dari sana. "Saya belum selesai bicara!" cegah William mencekal pergelangan tangan Vanilla. "Maaf, tapi aku nggak punya waktu, Om. Semuanya sudah aku bayar. Hm, maksudku Aksa yang sudah membayarnya," ralat Vanilla. "Vanilla." William ikut bangkit dari tempat duduknya. Tangannya masih bertengger di pergelangan tangan Vanilla. "Aku juga nggak pernah main-main dengan ucapanku, Om. Aku akan pastikan Aksa kembali jatuh ke dalam pelukanku, dan saat itu terjadi, jangan salahkan aku jika putrimu sampai berbuat nekat." Vanilla menyahut. "Oke. Ayo kita buat kesepakatan." Vanilla membuang muka ke lain arah, sedikit menunduk untuk menyembunyikan tawa kemenangannya. Sudah jelas siapa yang akhirnya menjadi pemenang. Vanilla berhasil mencapai apa yang diinginkannya. "Kenapa tertawa? Kamu nggak berubah pikiran, bukan?" "Tentu saja enggak, Om." Gadis itu menggeleng. "Ayo kita menikah," cetus William. "Oh, sayangnya aku bukan gadis yang gampang dibodohi, Om." Melipat kedua tangannya di depan d**a, menatap William dengan curiga. "Kamu pikir saya main-main?" Vanilla menggedikan bahu. "Siapa yang tau? Bisa saja Om berpura-pura mengajakku menikah karena sudah merencanakan sesuatu," ucapnya. "Kita akan menikah secepatnya. Sesuai dengan keinginanmu. Apa kamu puas?" Seperti ada asap yang keluar dari kepala William saat ia berkata demikian. Berurusan dengan Vanilla selalu membuatnya mudah terpancing emosi. "Enggak. Sebelum Om benar-benar menikahiku." William terlihat seperti orang bodoh yang kalah dari gadis ingusan yang bahkan seumuran dengan anaknya. Akan tetapi tunggu dulu. Bukan William namanya jika dia tak bisa membalikkan keadaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD