Bab 01
Albert Roberto menatap diam-diam dari balik cangkir tehnya yang kini tinggal setengah. Pria 49 tahun itu duduk di ujung meja makan besar yang terbuat dari kayu jati, matanya tak beranjak sedikit pun dari sosok gadis muda di hadapannya—Kiara Aledran, calon istri dari putranya, Alden Roberto. Gadis itu berusia dua puluh tiga tahun, tubuhnya ramping dan tegap, dengan rambut hitam panjang yang diikat rapi ke belakang. Wajahnya cantik tanpa riasan berlebihan, matanya menunduk sopan, tapi setiap gerak-geriknya mengisyaratkan bahwa ia merasa tak nyaman duduk sendiri bersama calon ayah mertuanya.
Albert menyadari itu, dan itu membuatnya semakin tertarik.
Dia sudah menjadi duda selama sepuluh tahun. Waktu yang panjang untuk hidup sendiri. Istrinya, wanita yang pernah menjadi pusat dunianya, meninggal dalam kecelakaan tragis. Sejak saat itu, rumah terasa sunyi, hidup terasa hampa, dan Albert tak pernah benar-benar membuka hatinya lagi. Banyak yang mencoba, banyak yang berharap bisa menjadi bagian dari hidupnya, tapi tak satu pun mampu menggugahnya. Sampai hari ini.
Sampai dia melihat Kiara.
Bukan pada pertemuan pertama, tapi pada momen ini—di ruang makan ini, dengan cahaya matahari sore yang masuk lewat kaca jendela, menciptakan siluet lembut di wajah Kiara. Dan gadis itu bahkan tidak sadar sedang diperhatikan dengan cara yang tidak sepantasnya.
Albert menyeringai kecil. Bukan senyum yang lebar atau mencolok, hanya gerakan samar di sudut bibir yang bahkan tidak disadari oleh Kiara. Tangannya mengepal perlahan di bawah meja, tersembunyi dari pandangan. Ia menahan dorongan dalam dirinya, perasaan yang sejak tadi mengendap dan terus membesar. Rasanya gila. Tidak masuk akal. Tapi nyata.
Mana mungkin dia, Albert Roberto, jatuh tertarik pada calon istri anaknya sendiri?
Dia tahu jika orang lain tahu, mereka akan mencaci. Menyebutnya kurang ajar. Menyebutnya pria tua b*****t. Tapi dia tak peduli. Moral hanyalah batas-batas buatan yang bisa dipelintir oleh kehendak. Dan saat ini, kehendaknya terpusat pada satu hal: Kiara.
Dia ingin mendekat. Menggali. Mengetahui.
“Kiara,” ucap Albert dengan suara rendah dan mantap, memecah keheningan.
Kiara tersentak kecil, lalu mengangkat wajahnya, tersenyum kaku. “Ya, Pak?”
“Santai saja. Jangan terlalu tegang. Aku hanya ingin mengobrol sedikit.”
Kiara mengangguk cepat. Ia duduk lebih tegak, mencoba bersikap sopan, namun tetap terlihat canggung.
Albert meletakkan cangkir teh di atas tatakan. Jari-jarinya menyentuh permukaan meja kayu, mengusapnya pelan-pelan seolah mencari kendali atas pikirannya yang mulai berantakan. “Aku penasaran... apa yang membuatmu tertarik pada Alden?”
Pertanyaan itu meluncur tenang, namun penuh maksud tersembunyi.
Kiara tampak terkejut. Ia tidak menyangka pertanyaan itu akan keluar dari calon mertuanya secara langsung. Tangannya yang tadi diam di pangkuan kini saling menggenggam erat.
“Saya... saya mencintai Alden, Pak,” jawabnya pelan. “Dia... dia orang yang sangat baik.”
Albert tidak menanggapi. Ia hanya menatap lekat-lekat, membuat Kiara semakin gugup.
“Dia sangat pengertian, sabar, dan selalu membuat saya merasa aman,” lanjut Kiara dengan suara yang lebih mantap. “Saya belum pernah bertemu dengan laki-laki seperti dia sebelumnya. Dia membuat saya merasa dihargai. Dan saya tahu... saya tahu saya ingin bersamanya selamanya.”
Albert mendengarkan dengan tatapan datar, namun jauh di dalam dirinya, ia mencibir. Perih rasanya mendengar pujian itu dilayangkan pada Alden—putranya. Semakin Kiara memuja-muja Alden, semakin panas dadanya terasa. Tapi dia tidak menunjukkan itu. Tidak sedikit pun.
Ia menarik napas pelan, lalu berkata dengan nada datar, “Alden memang anak baik. Sejak kecil dia begitu. Terlalu lurus. Terlalu polos kadang-kadang.”
Kiara mengangguk sambil tersenyum. “Itu yang saya sukai, Pak. Dia tidak pernah mencoba menjadi orang lain.”
Albert bersandar di kursinya, menautkan jemarinya di atas meja. Matanya masih menatap gadis itu dengan intensitas yang belum juga reda.
“Kau terlihat sangat yakin,” katanya lambat-lambat. “Tidak ada keraguan sedikit pun dalam suara dan matamu.”
Kiara menunduk sedikit. “Karena saya memang yakin, Pak. Saya mencintainya.”
Kata-kata itu menusuk. Jelas. Tegas. Tidak ada ruang bagi keraguan. Dan justru karena itu, semakin dalam rasa tidak senang menyusup ke d**a Albert. Tapi dia tersenyum. Senyum tipis yang tidak menyampaikan kejujuran apa pun.
“Kau wanita cerdas,” katanya. “Kau tahu apa yang kau inginkan.”
“Saya hanya ingin menjalani hidup dengan orang yang saya cinta, Pak.”
Albert mendongak sedikit. “Dan bagaimana dengan masa depan? Apa kau sudah siap menjadi istri dari seorang pria seperti Alden?”
“Saya siap menjalani semuanya bersamanya.”
Diam. Albert menatapnya lebih lama lagi. Ia memperhatikan garis rahang Kiara, cara matanya berkedip cepat saat gugup, bahkan cara napasnya naik turun dengan ritme cepat. Setiap detil itu tertanam dalam pikirannya, seperti lukisan yang ingin terus dia simpan dan pandangi. Sesuatu yang tidak boleh dia miliki, tapi tetap ingin dia genggam.
Tangannya di bawah meja kembali mengepal perlahan.
Sementara Kiara, masih menunduk, tidak tahu bahwa pria di hadapannya sedang bertarung dengan naluri yang tak seharusnya muncul.
Albert bersuara lagi, datar dan dalam, “Kau tahu, Kiara... sangat jarang aku bisa berbicara dengan wanita seusiamu dan merasa tertarik mendengarnya.”
Kiara mendongak, bingung.
Albert menambahkan cepat, “Maksudku, kau berbicara dengan jelas. Dengan keyakinan. Itu hal yang jarang kutemui bahkan dari wanita seusia istriku dulu.”
“Oh... terima kasih, Pak,” jawab Kiara dengan canggung.
Albert mengangguk pelan, tidak berkata apa-apa lagi. Tapi pikirannya terus bekerja. Terus menimbang. Terus menolak kenyataan bahwa gadis ini akan menikahi putranya. Gadis yang kini duduk hanya beberapa meter darinya, berbicara lembut, tersenyum sopan, dan dengan polosnya membuatnya kembali merasa seperti pria hidup.
Dan Kiara... gadis itu tidak tahu apa-apa.
Albert … ingin memiliki tubuh itu!