Bab 02

718 Words
Albert berdiri diam di depan kaca besar di butik pengantin itu, menatap bayangannya sendiri sesaat sebelum ia menoleh perlahan ke arah putranya, Alden. Anak itu tampak begitu hidup, penuh semangat, penuh rencana. Dengan map di tangan berisi catatan dekorasi dan jadwal katering, Alden tampak seperti pria muda yang akan melangkah menuju hari terpenting dalam hidupnya. Senyum tidak pernah lepas dari wajahnya. "Kiara sudah di ruang ganti, Dad. Dia akan keluar sebentar lagi. Aku ingin kau lihat bagaimana dia terlihat dengan gaun pilihannya. Aku yakin kau akan suka," kata Alden dengan nada gembira. Albert hanya mengangguk. Tidak berkata apa-apa. Ia tidak ingin berada di sini. Tapi Alden memintanya. Lebih tepatnya, mendesaknya. Ini adalah bagian dari kebersamaan keluarga, katanya. Menyatukan visi pernikahan. Membuat kenangan yang tak akan terlupakan. Dan sialnya... memang tak terlupakan. Karena sejak mereka tiba di butik ini, dan sejak Kiara masuk ke ruang ganti, jantung Albert sudah berdegup terlalu cepat. Bayangan tubuh gadis itu dalam balutan gaun putih terus menerus menghantui pikirannya. Semakin ia menolak, semakin kuat imajinasi itu menyeretnya ke dalam jurang keinginan yang tidak seharusnya. Pintu ruang ganti itu berderit pelan. Kiara melangkah keluar perlahan. Dan waktu seperti berhenti. Albert menahan napas. Gadis itu berdiri dengan tenang, tubuhnya terbungkus gaun putih gading dengan potongan klasik yang melekat sempurna di lekuk tubuhnya. Bahu ramping itu terbuka, leher jenjangnya terlihat bersih, dan kain tulle lembut menjuntai dari pinggang, menciptakan siluet yang hampir terlalu sempurna untuk dilihat tanpa dosa. Rambut Kiara disanggul ringan, hanya sebagian terangkat ke belakang, menyisakan beberapa helai yang jatuh di sekitar wajahnya. Albert tidak bisa berkata apa-apa. Matanya tak bisa lepas. Sialan... Alden bertepuk tangan pelan, mata bersinar. “Luar biasa. Kamu cantik sekali, Kiara.” Kiara tersenyum malu-malu. “Kamu suka?” “Tentu! Dad, lihat ini—bukankah dia terlihat seperti bidadari?” Albert dipaksa untuk bersuara. Lehernya menegang, lidahnya kering, tapi ia mengangguk perlahan. “Sangat... cantik.” Hanya itu yang mampu keluar dari bibirnya. Tapi pikirannya? Pikirannya sudah runtuh. Seluruh keberadaannya remuk oleh pemandangan itu. Ia menelan ludah yang pahit, matanya menyusuri gaun itu, menelusuri garis-garis pinggangnya, jatuh ke lipatan kain di pinggul, hingga ke d**a yang dibungkus rapi namun tetap menyuguhkan imajinasi yang liar. Nafasnya bergetar. Ia menggigit bibir bawahnya pelan. Sadar, tapi tak mampu menghentikan. Urat di lehernya menegang. Tubuhnya berdiri kaku. Ia mencengkeram telapak tangan dengan kuat, menyembunyikan guncangan yang menghancurkan moralnya sendiri. Gadis itu... calon istri putranya... berdiri hanya beberapa meter di depannya, tidak tahu betapa Albert merasa dirinya sedang terbakar hidup-hidup. Dan Kiara, dengan polosnya, melangkah mendekat. “Pak Albert,” ucapnya sopan, suaranya lembut dan tenang. “Menurut Bapak, bagian ini terlalu longgar nggak ya?” Ia menunjuk sisi pinggang gaunnya. Albert menatap jari ramping itu menyentuh sisi tubuhnya. Ia ingin mengutuk dirinya sendiri karena membayangkan yang tak seharusnya. Ia ingin membalik badan dan keluar dari tempat ini sekarang juga. Tapi kakinya tertanam. “Tidak,” jawabnya perlahan, suaranya serak. “Itu... pas.” Kiara mengangguk. “Syukurlah. Aku takut gaunnya kurang muat.” “Tidak,” katanya lagi, lebih pelan. “Pas sekali...” Kiara tersenyum lembut. Dan saat senyum itu terlukis di wajahnya, Albert sadar: pikirannya semakin gila. Ia tidak hanya ingin melihat. Ia ingin memiliki. Ingin menggenggam. Ingin menghancurkan batas-batas yang selama ini ia jaga. Sial... sialan... Dia bukan hanya pria tua kesepian lagi. Dia adalah pria yang sedang tergila-gila. Terbakar oleh api keinginan yang tak bisa dia padamkan dengan akal sehat. Kiara berdiri di sana sebagai simbol harapan Alden, tapi di mata Albert, gadis itu adalah racun paling manis yang pernah menghantam jiwanya. Alden sibuk berdiskusi dengan penjaga butik, membicarakan ukuran dan jadwal pengambilan. Kiara melangkah sedikit ke belakang, berdiri lebih dekat ke Albert. Gadis itu tidak sadar bahwa hanya dengan langkah kecil itu, ia telah memicu badai lain di d**a lelaki paruh baya itu. Albert memejamkan mata sejenak, berusaha menarik napas dalam-dalam. Namun aroma wangi tubuh Kiara yang samar, bercampur dengan parfum bunga yang lembut, hanya membuatnya semakin kehilangan kendali. Matanya terbuka lagi. Menatap gadis itu dari samping. Begitu dekat. Begitu tak terjangkau. Tapi begitu... menggoda. Ia menggertakkan gigi. Rahangnya mengeras. “Kau... cocok memakai gaun seperti itu,” gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. Kiara menoleh sebentar, tersenyum, lalu mengangguk. “Terima kasih, Pak,” katanya tulus. Albert hanya bisa menatap, terdiam dalam kekalahan. Kekalahan terhadap pikirannya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD