Bab 03

727 Words
Albert Roberto terbaring di atas kasurnya, mata terbuka lebar menatap langit-langit kamar yang gelap. Jam digital di samping tempat tidur menunjukkan pukul 02.37 dini hari. Dan ini sudah dua jam sejak dia mematikan lampu dan mencoba tidur, tapi sialnya—kelopak matanya menolak untuk menutup. Bukan karena kopi. Bukan karena pekerjaan. Tapi karena Kiara. Gadis itu tak pernah meninggalkan pikirannya sejak fitting gaun pengantin siang tadi. Setiap kali dia memejamkan mata, bayangan Kiara dalam gaun putih itu muncul dengan detail yang terlalu jelas. Garis lehernya. Senyum malu-malunya. Suara lembutnya saat bertanya tentang pinggang gaun itu. Wajah polosnya yang benar-benar tidak sadar bahwa dia sedang menjadi pusat dari kekacauan pikiran lelaki berusia 49 tahun. Albert menggulingkan tubuhnya, menatap ke dinding. Ia menghela napas keras. Tangannya mengepal di atas sprei. Ia sudah mencoba menghentikan semua ini. Sudah berusaha membuang pikiran-pikiran tidak pantas itu. Tapi semakin dia mencoba, semakin kuat dorongan itu mencengkeram batinnya. Dia merasa seperti tenggelam dalam lautan keinginan yang tidak ada ujungnya. Setiap detik hanya memperparah keadaan. Dan malam... malam adalah waktu paling berbahaya. Karena malam membuat segalanya lebih sunyi. Dan dalam kesunyian itu, suara dalam dirinya mulai berbicara. "Kau ingin dia. Akui saja. Kau menginginkannya." Albert menutup mata, menahan desahan geram dari tenggorokannya. Ia bukan anak remaja. Ia pria dewasa. Seharusnya ia bisa mengendalikan diri. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Ia terjebak dalam keheningan dan bayangan tentang Kiara. Dan dalam pikirannya yang gelap dan penuh fantasi, ia bertanya—bagaimana jika gadis itu tidak menikahi Alden? Bagaimana jika... dia bisa memilikinya lebih dulu? Bayangan liar itu menghantam keras. Albert terduduk, tubuhnya bersandar ke kepala ranjang. Nafasnya berat. Dingin AC tak mampu mendinginkan panas yang menjalari tubuhnya. Tangannya meremas rambutnya sendiri. "Sial..." gumamnya. Tapi lalu sebuah ide muncul. Gila. Tapi perlahan, ide itu berkembang. "Bagaimana kalau aku menculiknya?" Ia tertawa—pelan dan sumbang. Bahkan pikirannya sendiri menertawakannya. Tapi tidak berhenti di sana. Justru semakin ia menertawakan ide itu, semakin nyata bentuk dan rincian dari rencana gila tersebut terbentuk dalam kepalanya. Sebuah gambaran yang awalnya kabur, mulai menemukan bentuknya. Dia mengenal jadwal Alden. Dia tahu kapan Kiara biasanya sendirian. Ia tahu rumah kontrakan tempat Kiara tinggal sementara, tidak terlalu jauh dari kediaman mereka. Ia bahkan tahu bahwa pintu belakang rumah itu punya sistem kunci yang sudah tua. Apa yang menghentikannya? Moral? Itu sudah lama goyah. Nama baik? Sudah lama dia tidak peduli dengan apa pun selain satu hal: keinginannya. Albert bangkit dari tempat tidur, berdiri perlahan. Dia menyalakan lampu meja kecil. Wajahnya terlihat lewat pantulan kaca cermin kecil di meja—kusut, penuh garis usia, namun matanya merah menyala seperti serigala kelaparan. Dia membuka laci meja. Tangannya meraba-raba sampai menemukan senter kecil, sarung tangan kulit hitam, dan topi gelap. Semuanya sudah ada sejak dulu, hanya tidak pernah dia pikir akan digunakan lagi. Tapi malam ini... pikirannya menuntun tangannya sendiri. Dia duduk kembali. Berpikir. Tidak terburu-buru. Karena dia tahu... tidak bisa asal bertindak. Tapi jika dia merencanakan ini dengan tenang, teliti, dan sabar... dia bisa. Dia bisa memiliki Kiara. Hanya untuk dirinya. Dan siapa yang akan mencurigainya? Dia adalah ayah Alden. Dia ayah yang dianggap baik dan terhormat. Dan siapa yang akan berpikir seorang ayah mertua akan bertindak sejauh itu? Albert tertawa pelan lagi. Kepalanya bersandar ke tembok, dan ia memejamkan mata untuk pertama kalinya malam itu. Tapi bukan untuk tidur. Melainkan untuk membayangkan... bagaimana rasanya jika Kiara berada dalam genggamannya. Bukan lagi sebagai calon istri Alden, tapi sebagai miliknya sendiri. Dalam rumah tersembunyi, di balik dinding sunyi, hanya dia dan gadis itu. “Ya Tuhan...” Bibirnya menggumam seperti orang kesurupan. Tapi tidak ada Tuhan dalam pikirannya malam itu. Hanya nafsu dan obsesi. Albert membuka matanya. Masih jam 03.06. Ia berdiri lagi, lalu berjalan ke lemari. Ia mengambil jaket panjang warna hitam, menyiapkan tas kecil yang bisa membawa beberapa perlengkapan penting. Ia bergerak pelan, tenang, seperti pria yang sudah menetapkan langkah hidupnya. Tidak ada keraguan. Besok malam, pikirnya. Besok malam, Kiara akan sendirian. Alden harus ke luar kota sehari, urusan pekerjaan. Dan Kiara bilang akan di rumah karena sedang flu ringan. Dia akan tidur lebih awal. Kesempatan emas. Albert duduk di ujung tempat tidur. Matanya kini tajam. Jantungnya berdetak pelan namun teratur. Ia tahu ini gila. Ia tahu ini melewati semua batas yang ada. Tapi ia tidak peduli. Karena malam itu, semua pikiran waras telah mati. Dan hanya tersisa satu hal: Keinginan untuk memiliki Kiara. Sepenuhnya. Sendirian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD