Bab 04

698 Words
Albert berdiri di balik kemudi mobilnya, lampu dimatikan, mesinnya sudah dingin. Dia sudah berada di seberang jalan kontrakan Kiara selama dua puluh menit terakhir. Hujan baru saja reda, jalanan basah memantulkan cahaya samar dari lampu jalan. Tapi bukan itu yang jadi pusat perhatiannya. Melainkan mobil hitam milik Alden yang terparkir tepat di depan pagar kecil rumah kontrakan itu. Sialan. Albert mengumpat pelan, rahangnya mengeras, giginya menggertak di balik bibir yang terkatup rapat. Tangan kirinya mencengkeram kemudi begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Seharusnya malam ini adalah waktunya. Seharusnya Kiara sendirian. Seharusnya... Namun kenyataan di hadapannya sungguh seperti tamparan yang memecah egonya yang terlanjur melambung tinggi. Albert sempat menyusun setiap langkah dengan detail. Dia tahu Alden dijadwalkan ke luar kota hari ini. Tapi kenyataan ternyata mengkhianatinya. Mobil itu di sana, diam dan menyebalkan, seperti simbol dari kekalahan. Sesuatu telah berubah dalam rencana—dan perubahan itu membuat dadanya terasa panas. Dia menyipitkan mata, tubuhnya sedikit menunduk di balik dashboard. Tirai jendela rumah tidak sepenuhnya tertutup. Dari posisinya, dia bisa melihat cahaya hangat dari ruang tamu dan... sosok dua manusia di dalamnya. Dan di sanalah—Kiara. Albert tidak bisa menarik napas dengan normal saat matanya menatap pemandangan itu. Kiara duduk di atas paha Alden, lengannya melingkari leher pria muda itu, sementara tangan Alden bertumpu di pinggang gadis itu. Mereka tertawa pelan, wajah Kiara merona, pipinya menggembung karena tawa yang jujur. Mereka berbicara terlalu lirih untuk didengar, tapi senyuman di wajah keduanya cukup membuat d**a Albert seolah ditusuk dari dalam. "Apa-apaan ini..." desisnya. Napasnya mulai memburu. Dadanya naik turun cepat. Amarah membuncah, membakar ujung-ujung kesadarannya. Itu seharusnya bukan untuk Alden. Itu seharusnya untuknya. Albert hampir saja mendorong pintu mobil dan menerobos masuk ke kontrakan. Tangannya bahkan sudah menyentuh gagang pintu. Tapi... Dia berhenti. Tidak. Bukan sekarang. Dia belum gila. Belum sepenuhnya kehilangan logika. Masuk dan menghajar Alden hanya akan menghancurkan semua rencana. Ia bukan pria bodoh yang tertangkap karena impuls sesaat. Masih ada waktu. Masih akan ada kesempatan. Ia harus sabar. Tapi kemarahan itu harus dikeluarkan sekarang juga. Dia mengumpat lagi. Rahangnya terkunci keras, otot di lehernya menegang. Dan tanpa pikir panjang, ia menyalakan mobil. Mesin menggeram seperti dirinya. Lalu ia menginjak pedal gas, meninggalkan lokasi itu dengan kecepatan hampir menyalahi batas. Dalam pikirannya, hanya ada satu tempat yang bisa sedikit meredam gejolak yang mengguncang isi dadanya. Klub malam. Tempat dengan lampu temaram, musik menghentak, dan tubuh-tubuh asing yang bisa membantunya untuk... melupakan sejenak. Atau setidaknya meredam pikiran busuknya tentang Kiara bersama putranya. --- Satu jam kemudian, Albert mendorong pintu kaca klub malam yang sudah sangat dikenalnya. Musik EDM menghantam telinganya seperti palu godam. Lampu-lampu strobo berkelip, memantul di dinding dan wajah-wajah pengunjung yang tenggelam dalam dunia mereka sendiri. Albert berjalan masuk tanpa ragu, tubuhnya tegap, wajahnya dingin. Banyak yang mengenalnya. Ia pelanggan lama. Dan meskipun usianya jauh di atas rata-rata pengunjung di dalam sana, kharismanya masih ada. Posturnya masih terjaga. Dompetnya jelas tidak pernah tipis. Semua itu cukup untuk menarik perhatian para wanita muda yang mencari pria tua dengan kantong tebal dan janji semu. Seorang pelayan menghampiri, dan tanpa bicara panjang, Albert memesan scotch, dobel. Begitu gelas itu sampai di tangannya, ia meneguk habis tanpa jeda. Cairan keras itu membakar tenggorokan, membuat kepalanya sedikit ringan. Tapi pikiran tentang Kiara belum mau enyah. Bahkan kini bayangannya semakin nyata. Senyum gadis itu. Tawa pelannya. Tatapan hangatnya pada Alden. Albert menggertakkan gigi. Tangan kirinya mengepal, mencengkeram gelas kosong seolah itu leher seseorang. “Albert?” Suara manis menyapa dari sisi kanan. Ia menoleh. Seorang wanita muda berdiri di sana. Sekitar akhir dua puluhan, tubuhnya semampai, gaun merah pas badan memperlihatkan lekuk yang menggoda. Ia bukan Kiara. Tapi matanya yang tajam dan bibirnya yang penuh membuat Albert sedikit melunak. Wanita itu tersenyum, duduk tanpa menunggu undangan. “Lama tak terlihat, Pak Tua.” Albert memaksakan senyum tipis. Ia memanggil pelayan, memesan satu botol penuh malam ini. Dia butuh sesuatu—apa pun—untuk mengusir wajah Kiara dari dalam kepalanya. Dan kalau harus menggunakan wanita asing malam ini, maka biarlah itu terjadi. Namun jauh di lubuk hatinya... dia tahu. Wanita mana pun tidak akan bisa menggantikan Kiara. Dan rasa benci pada Alden... semakin tumbuh. Karena putranya itu mendapatkan gadis yang sangat cantik sekali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD