Pagi itu udara terasa hangat. Matahari sudah tinggi menggantung di langit, menembus kisi-kisi jendela besar rumah Albert Roberto yang megah dan sunyi. Dinding-dinding tinggi berwarna krem memantulkan cahaya pagi, menciptakan kesan terang dan tenang. Tapi di balik semua ketenangan itu, di balik kaca besar yang memantulkan siluet seorang pria berambut sedikit beruban, ada badai yang nyaris meledak.
Albert duduk di kursi panjang di ruang tamu. Tubuhnya tegap meski usia sudah mendekati lima puluh. Ia mengenakan kemeja lengan panjang yang tergulung setengah lengan, celana panjang hitam yang terlipat rapi, dan jam tangan mahal yang biasa ia pakai saat berada di kantor. Tapi pagi ini dia tidak ke kantor. Dia menunggu.
Bukan menunggu tamu. Tapi menunggu sesuatu yang tidak dia akui secara terang-terangan, bahkan pada dirinya sendiri.
Dan ketika bunyi bel berdenting pelan, diikuti suara langkah tergesa dan pintu terbuka dari arah depan, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
“Daddy!” suara Alden memanggil dari lorong masuk. Suara anak mudanya yang bersemangat, penuh energi. “Lihat siapa yang datang pagi-pagi!”
Albert menoleh perlahan, menyembunyikan semua perubahan yang terjadi di dalam dirinya. Dan pandangannya jatuh tepat pada sosok yang berdiri di samping Alden—Kiara Aledran.
Gadis muda itu mengenakan gaun pastel selutut. Potongannya sederhana tapi sangat pas, membingkai tubuh langsing dan proporsional yang bahkan tanpa niat pun bisa menarik perhatian siapa pun. Rambut panjangnya diurai, sebagian disematkan ke belakang dengan jepit kecil. Ia tersenyum, dan senyum itu seperti menampar kesadaran Albert dengan cara yang paling manis sekaligus menyakitkan.
“Selamat pagi, Uncle Albert,” sapa Kiara sopan, matanya menatap pria tua di depannya dengan cara yang menghormati. Nada suaranya halus, lembut, dan jujur—tidak ada sedikit pun kilasan tahu bahwa pria yang ia sapa itu sedang terjebak dalam godaan yang sangat buruk.
Albert mengangguk pelan, menahan napas sesaat sebelum menjawab.
“Pagi, Kiara. Tumben pagi-pagi datang ke sini?”
Kiara tersenyum dan mengangkat tas kecilnya, mengeluarkan beberapa lembar undangan pernikahan yang sudah dicetak dalam berbagai pilihan desain. Ia melangkah mendekat ke sofa, lalu duduk di samping Alden, yang langsung merangkul pinggangnya dengan akrab. Albert memperhatikan semua itu dalam diam. Dan diamnya itu menegangkan. Rahangnya mengeras sejenak, sebelum akhirnya ia duduk kembali di kursi hadapannya.
“Aku dan Kiara butuh pendapat Daddy,” kata Alden sambil mencium pipi calon istrinya dengan ringan. “Dia bawa beberapa desain undangan dan aku bingung pilih yang mana.”
Albert menerima salah satu undangan yang disodorkan Kiara. Ia menatapnya sekilas, tapi matanya sebenarnya tidak benar-benar fokus pada desain atau tulisan emas di atas kertas ivory itu. Pandangannya justru bergerak ke sisi lain—ke arah Kiara. Ke arah jemarinya yang ramping saat memegang undangan. Leher jenjangnya saat ia menunduk sedikit. Bahkan hembusan nafas halus gadis itu terasa seakan-akan mengisi seluruh ruangan.
“Yang krem ini bagus,” ujar Albert, suaranya tenang tapi dalam. “Elegan. Lembut, tapi tetap ada kesan... mewah.”
“Kan?” Kiara berseru kecil sambil menoleh ke Alden, wajahnya berseri-seri. “Aku dari awal suka banget yang ini.”
Alden tertawa ringan dan mencubit pelan pipi gadis itu. “Kamu selalu punya mata tajam buat detail.”
Albert melihat momen itu seperti ditikam dari dalam. Tapi ekspresi wajahnya tetap datar. Ia tersenyum tipis, pura-pura senang.
“Kamu punya selera bagus, Kiara,” ujarnya. “Alden beruntung.”
Kiara tersipu, menunduk malu. Alden memeluk bahunya lebih erat. “Aku emang beruntung banget, Daddy.”
Albert tertawa kecil, meski rasanya seperti menelan bara. Ia ingin berteriak. Ia ingin memisahkan tubuh dua orang itu yang terlihat terlalu akrab, terlalu saling memiliki. Tapi ia hanya duduk di sana, seperti ayah bijak, seperti tuan rumah yang hangat.
Lalu Alden berdiri.
“Kalian mau minum? Aku ambilkan jus jeruk ya?” tawarnya.
Kiara mengangguk. “Boleh.”
Dan ketika Alden pergi ke dapur, ruangan seketika menjadi senyap.
Albert dan Kiara. Hanya mereka berdua.
Albert menatap gadis itu tanpa berkedip. Kiara tidak menyadari apa pun. Ia hanya sibuk melihat undangan-undangan itu lagi, mencocokkan pita dan font di tiap desain. Tangannya bergerak lincah, wajahnya serius namun tetap manis.
Albert membungkuk sedikit, nadanya rendah tapi jelas.
“Kamu akan jadi pengantin yang sangat cantik, Kiara.”
Kiara mendongak dan tersenyum. “Terima kasih, Uncle. Saya juga sangat bersemangat.”
Albert membeku. Gadis itu bahkan tidak tahu bahwa setiap kata manis yang dia ucapkan, setiap senyuman kecil yang ia arahkan pada siapa pun, adalah racun bagi lelaki tua yang kini duduk mengaguminya dalam diam.
Dan ketika langkah Alden terdengar kembali dari arah dapur, membawa dua gelas jus jeruk dan senyuman lebar di wajahnya, Albert hanya mengalihkan pandangannya kembali ke undangan di atas meja.
Sepertinya lebih menarik kalau dirinya menculik Kiara satu hari sebelum menikah dengan Alden. Akh! Ide bagus sekali. Undangan itu tidak akan pernah terjadi.