Baik-baik Saja

1786 Words
Pernikahan yang seharusnya dilaksanakan dua bulan lagi, batal. Tidak ada yang bisa Verlyn lakukan kecuali menghubungi pihak-pihak yang menyiapkan semuanya untuk membatalkan. “Kenapa, Ver? Dua bulan lagi, lho. Kamu nggak putus sama Devano, kan?” tanya Talia, teman Verlyn yang menjadi desainer gaun pernikahannya. Verlyn tertawa. “Enggak, lah, Tal. Kan udah aku bilang, ada masalah pribadi di pihak Devano yang nggak bisa aku ceritakan. Yang jelas, kami baik-baik saja. Malah, kami pernah hampir kebablasan.” Sebisa mungkin, Verlyn merahasiakan penyebab ditundanya pernikahan karena kehamilan Flo. Ya, sebagai calon kakak ipar, ia tidak boleh menyebarkan aib wanita yang lebih tua dua tahun darinya itu. “Really?” Verlyn mengangguk-angguk. Pipinya bersemu merah. “Makanya, kamu jangan khawatir. Kamu simpan baik-baik gaun pesananku. Nanti kalau masalahnya selesai, aku hubungin kamu.” “Syukurlah. Aku tuh selalu mendoakan yang terbaik buat kamu. Aku selalu berdoa, kalian berjodoh.” “Aamiin.” “By the way, kapan kalian hampir kebabalsan?” tanya Talia penasaran. “Ih ... kamu. Udah, deh, nggak usah bahas.” “Ayolah ... aku penasaran. Ceritakan sedikit saja. Cewek kalem kaya kamu itu, gimana, sih, pacarannya?” “Aku malu.” Verlyn menutup wajahnya. Ingatannya teringat beberapa hari lalu. Sehari setelah Devano mengatakan untuk membatalkan pernikahan, seperti biasa ia mengantar sang kekasih pulang ke rumah setelah bekerja. Begitu sampai di rumah Verlyn, hujan deras mengguyur. Karena jalan yang dilalui menuju rumahnya selalu banjir ketika hujan, Devano memutuskan untuk menunggu hujan reda di rumah kekasihnya itu. Kebetulan saja ibu Verlyn, Lusi, sedang tidak ada di rumah. “Mau aku buatkan kopi atau teh, Sayang?” tanya Verlyn. “Kopi saja.” “Oke, aku buatkan dulu.” Verlyn sedang membuatkan kopi untuk Devano. Tiba-tiba saja pria itu menyusul ke dapur. Melingkarkan tangan di perut wanita yang masih menggunakan baju kerjanya. “Kenapa?” tanya Verlyn. “Dingin.” Ia mengecupi pundak Verlyn yang tertutup baju. “Kalau udah nikah, hujan-hujan begini, tidak akan aku biarkan kamu keluar dari balik selimut.” “Nggak usah bahas. Kita sama-sama tahu, apa yang menyebabkan pernikahan kita diundur.” Tentu saja Verlyn merasa kesal. Yang membuat pernikahannya diundur, kan karena Devano juga, tetapi sepertinya pria itu yang sangat kecewa. Padahal, sebagai wanita, yang katanya lebih mudah terbawa perasaan, Verlyn jauh lebih kecewa. “Iya, Sayang ... iya.” Devano menempelkan tubuh bagian depannya ke punggung Verlyn. Begitu lekat. Selama ini, mereka memang sudah terbiasa berciuman. Hanya sampai di situ, berakhir hanya saling bertukar saliva. Namun, kali ini sangat berbeda. Apalagi hujan di luar sana yang sepertinya sangat mendukung. Dan ditambah lagi ibu Verlyn mengabari jika dia akan pulang setelah hujan berhenti. “Dev....” “Hem?” Devano bergumam sambil terus mengecupi pundak, leher, hingga telinga Verlyn. Tanpa sadar, Verlyn meremas tangan Devano yang berada di perutnya. Pria itu sangat menyadari sinyal itu. Ia langsung membalik tubuh Verlyn agar menghadapnya. Setelah itu, diciuminya bibir tipis yang Verlyn miliki. Semakin tidak terkontrol, Devano mendorong pelan tubuh kekasihnya ke dinding. Mereka terus saja berciuman bahkan Verlyn sudah mengalungkan tangan di leher pria pujaannya. Semakin terbawa suasana, naluri pria dewasa Devano membuatnya mengangkat tubuh Verlyn. Wanita itu pun melingkari pinggang sang kekasih dengan kakinya. Kamar Verlyn yang menjadi tujuan mereka. Devano membaringkan tubuh Verlyn di ranjang. Menatap mata wanita yang kini juga sedang menatapnya. Kemudian ia mencium kening Verlyn, ada rasa bersalah yang teramat besar yang Devano rasakan. Namun, ia tidak ingin tenggelam pada perasaan sentimentil itu. Ciuman kembali terjadi. Tangan keduanya mulai membuka kancing baju pasangannya satu sama lain. Saat bagian tubuh atas Verlyn sudah terbuka, Devano mengecupinya. Tidak ada satu bagian pun yang terlewat dari bibirnya. Hal yang sama juga Verlyn lakukan pada tubuh Devano. Namun, untung saja, mereka masih waras untuk tetap menjaga mahkota yang Verlyn miliki. “Aku akan menunggu sampai kita sah menjadi suami-istri,” ucap Devano. Verlyn tersenyum. Ia beruntung memiliki Devano. Meskipun yang mereka lakukan sudah terlampau jauh, tetapi sang kekasih masih menjaga kehormatannya. “Hayoloh ... inget, nih, pasti,” tegur Talia membuyarkan lamunan Verlyn. “Ih, kamu, Tal ... bikin kaget.” “Ya lagian, senyum-senyum sendiri. Keinget bibir Devano, nih, pasti.” “Hah ... please, deh, Tal, jangan bikin malu.” Talia tertawa. “Iya, iya ... maaf. Nggak ada yang denger, kali.” “Ya, udah, lah. Aku udah ngomong ke kamu. Sekali lagi aku minta maaf, ya.” “Iya. Aku doakan masalahnya cepet selesai, terus kamu bisa cepet-cepet pakai baju rancangan aku. Terus honeymoon, abis itu kasih keponakan, deh, buat aku.” “Aamiin.” Mendengar kata keponakan, membuat hati Verlyn berdebar. Dia sudah pantas menyandang status sebagai ibu. Tapi, ya ... memang harus lebih bersabar lagi. Dia yakin, Tuhan pasti punya rencana yang lebih indah untuknya. *** Kehamilan yang Flo alami, membuatnya harus bedrest sepanjang waktu. Tidak hanya muntah saat perutnya diisi, tetapi untuk duduk dan berdiri pun, kepalanya pusing. Sebelum berangkat bekerja, Verlyn selalu menyempatkan diri datang ke rumah Devano untuk menyiapkan segala yang Flo butuhkan. Devano pun merasa sangat terbantu dengan hadirnya sang kekasih. “Makasih, Ver ... udah mau bantuin aku. Padahal, gara-gara aku, kamu dan Kak Vano batal menikah,” ucap Flo. Ia memang memanggil Devano dengan panggilan Kak Vano. Verlyn tersenyum tulus. “Nggak apa-apa. Kita kan keluarga. Harus saling nolong.” Flo menggenggam tangan Verlyn. Matanya menyiratkan rasa bersalah yang begitu besar. “Ver ... udah siang. Ayo berangkat. Nanti kita terlambat,” ajak Devano, “Kakak berangkat dulu, ya, Flo,” lanjutnya. Kemudian ia mencium kening sang adik. “Oke. Aku berangkat dulu, ya, Flo. Kalau nanti nggak lembur, aku mampir ke sini.” “Iya, Ver.” Verlyn dan Devano berangkat bersama. Sementara Flo memandangi sang kakak dan kekasihnya. Matanya berkaca-kaca, menyiratkan banyak kesedihan. “Kak Vano...,” gumamnya. *** Tanpa Devano tahu, sebenarnya Verlyn cemburu dengan sikap pria itu pada adiknya. Kenapa mereka terlihat seperti memiliki perasaan lebih dari sekadar kakak-beradik? Namun, ia tidak mungkin menunjukkannya di depan Flo. Sepanjang perjalanan ke kantor, Verlyn diam. Hal tersebut membuat Devano bertanya dalam hatinya, adakah kesalahan yang telah dibuatnya? “Sayang, kamu kenapa? Adakah kesalahan yang sudah aku buat?” tanya Devano pada akhirnya karena ia merasa sudah tidak nyaman pada kediaman sang kekasih. “Aku ingin biasa saja. Tapi, kenapa melihat interaksi kamu dan Flo, cukup mengusik hati aku?” Air muka Devano berubah. Namun, ia kembali mengubahnya sebelum Flo menyadari. “Kenapa?” tanya Devano. “Kalian, tidak seperti kakak-adik. Lebih terlihat seperti sepasang kekasih.” Devano tertawa sumbang. “Sayang ... seperti kamu baru mengenalku saja. Aku dan Flo memang seperti itu, kan? Dan lagi, kami hanya berdua di dunia ini. Tidak mungkin aku tidak menyayanginya.” Mengungkapkan perasaannya, adalah hal yang salah. Ya, tentu saja Devano akan mengatakan seperti itu, bukan. Verlyn menyesal telah mengatakan kegundahan hatinya pada pria yang saat ini sedang memarkirkan mobil di parkiran kantor bank. Verlyn menggenggam tangan kiri Devano dengan tangan kanannya. “Maaf, aku sudah kekanak-kanakan,” ucapnya. Devano tersenyum. Tubuhnya mendekat ke arah Verlyn. Ia kecup bibir wanita yang sangat dicintainya itu. “Kamu dengar baik-baik, aku sangat mencintai kamu. Jangan pernah kamu meragukan itu. Oke?!” Verlyn mengangguk. Ia dekatkan wajahnya ke wajah Devano dan balas mengecup bibir prianya. Saat ia akan menjauhkan wajah, Devano menahan leher Verlyn. Ciuman panjang terjadi. Setelah tautan bibir mereka terlepas, Verlyn tertawa saat melihat noda lipstik menempel di bibir kekasihnya. “Maaf,” ucapnya sambil membersihkan bibir Devano dengan ibu jarinya. “Jangan lagi bersedih melihat sikapku pada Flo, oke?!” “Iya ... maafkan sikapku. Ya, beginilah kalau manjaku kumat.” Devano membelai rambut Verlyn dengan sayang. “Jangan acak-acak rambutku,” protes Verlyn karena memang cepolan rambutnya sudah rapi. Ia tidak mau berantakan ketika masuk ke kantor. Cukup bibirnya saja yang lipstiknya sedikit belepotan. “Iya, Sayang ... iya. Maaf.” “Aku maafkan.” *** "Ver...." Verlyn sedang merapikan kamar saat sang ibu masuk ke area pribadi putrinya itu. "Ya, Bu?" jawab Verlyn sambil memasukan bajunya ke lemari kembali setelah ia rapikan karena lipatannya sedikit berantakan. "Bagaimana hubungan kamu sama Devano?" Verlyn menghentikan aktivitasnya. Ia tersenyum. Wanita itu sangat tahu kekhawatiran sang ibu. Putri satu-satunya, di usia yang sudah sepantasnya menikah, harus mengundur pernikahannya. Meskipun ada rasa kecewa juga dalam diri Verlyn, ia berusaha untuk membesarkan hati ibunya. Verlyn duduk di ranjang, di sebelah sang ibu. Dirangkulnya pundak wanita yang sudah lebih dari separuh baya itu. "Hubungan Verlyn sama Devano baik-baik aja, Bu. Ibu tidak perlu khawatir. Setelah anak Flo lahir, kami akan segera menikah." "Apa ayah dari anak yang Flo kandung masih tidak mau bertanggungjawab?" Tidak ada yang bisa Verlyn lakukan selain menggeleng. Sampai sekarang, baik Devano maupun Flo tidak ada yang pernah membahas pria itu. Mau bertanya pun, Verlyn tidak enak hati takut menyinggung perasaan calon adik iparnya. "Ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik buat kamu, Nak. Semoga setelah ini, kamu benar-benar medapatkan kebahagiaan kamu," doa Lusi, tulus "Terima kasih, Bu. Sudah selalu ada buat Verlyn. Selalu mengerti Verlyn." Kedua wanita beda generasi itu saling memeluk. Lusi hanya bisa berharap, sang putri selalu dilimpahi kebahagiaan. Menjadi single parent dalam membesarkannya, membuat Lusi pun ikut merasakan apa yang putrinya rasa. *** Waktu sembilan bulan nyatanya bukan waktu yang lama. Karena baru saja Flo melahirkan bayinya yang berjenis kelamin laki-laki. Bayi itu diberi nama Dafa. Saat melahirkan, Devano setia menemani. Bersikap layaknya suami, ikut masuk ke ruang bersalin. Sebagai kekasih, tentu saja Verlyn merasa cemburu. Namun, ia bisa apa? Melalui kaca yang ada di pintu, wanita itu melihat Devano menggenggam erat tangan Flo, sesekali mencium keningnya, memberinya kekuatan, membuat mata Verlyn panas. Air matanya mendesak ingin keluar. Dadanya sakit, sesak, ia tersiksa. Ingin menghilangkan rasa itu, ia memilih untuk menyingkir dari depan ruang bersalin. Tidak. Verlyn tidak ingin egois. Namun, entah mengapa saat ini ia selalu dilingkupi rasa cemburu. Apalagi semenjak pernikahannya diundur untuk kedua kalinya. Ia selalu merasa Flo lebih berarti untuk Devano dibanding dirinya. Setelah perasaannya lebih baik, Verlyn kembali ke depan ruang bersalin. Ia dapat melihat jika proses persalinan sudah selesai. Bayi itu sudah berada di atas dada Flo yang masih terbaring. Ia dapat melihat aura bahagia dari dua orang yang berada di dalam sana. Hatinya kembali terusik. "Tuhan, jauhkan aku dari pemikiran-pemikiran buruk," gumamnya. Verlyn memilih untuk duduk di kursi tunggu. Jujur saja, ia merasa dilupakan, tersisih. Merasa tidak menjadi bagian yang penting. Devano tidak mengingat keberadaan dirinya. Benarkah? Namun, nyatanya mungkin memang sejak tadi bisikan-bisikan setan yang terlalu mendominasi dalam otaknya. Buktinya, Devano keluar dan langsung memeluk sang kekasih. "Semuanya lancar, Ver. Semuanya lancar, Sayang," ucapnya. Untuk sesaat, Verlyn merasa terkejut pada yang Devano lakukan. Namun, kemudian ia tersadar dan langsung balas memeluk pria itu. "Selamat, Sayang. Kamu udah jadi om." "Selamat juga, kamu udah jadi tante." Mereka tersenyum bersama. Verlyn merasa bersalah atas apa yang dirasakan dan dipikirkannnya beberapa menit lalu. Ya, tidak ada apa-apa antara Flo dan Devano. Semuanya tidak lebih dari perasaan sentimentil yang ia rasakan. "Mau masuk ke dalam?" tawar Devano. Ia ingin mengenalkan bayi itu pada kekasihnya. "Apa tidak apa-apa?" Devano menggeleng. "Suster sedang membersihkannya. Nanti kamu bisa menggendongnya. Hitung-hitung, latihan sebelum kita punya sendiri." Mendengar Devano berkata demikian, hati Verlyn menghangat. Bukan hanya dirinya yang menginginkan anak, tetapi pria yang sangat dicintainya itu pun juga menginginkan. Mereka pun akhirnya bersama-sama masuk ke ruang bersalin. oOo
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD