bc

Arisha

book_age16+
175
FOLLOW
1K
READ
family
fated
second chance
goodgirl
powerful
independent
inspirational
heir/heiress
drama
female lead
like
intro-logo
Blurb

Dipublikasikan sejak : 09 Juni 2021

_______________________

Berkisah tentang wanita kuat yang harus bekerja keras untuk menghidupi putra-putrinya, seorang diri. Statusnya bukanlah seorang janda. Namun ia merasa dunia telah melabelinya dengan status tersebut karena selama lima tahun belakangan ini, Arisha Danastri hanya hidup dengan putra-putrinya saja—Naufal dan Sheva.

Hidup bertiga di sebuah rumah kontrakan sederhana tak menghalangi segala tekad dan semangat hidup Arisha. Baginya, setiap hari merupakan lembar juang. Jangan sampai sesuatu terjadi dan menciptakan robekan menganga pada tiap lembarnya.

Karena hidup akan terus berjalan, tak peduli bila kakimu patah sekali pun.

____________

cover by Lana Media

chap-preview
Free preview
Arisha - 01
Hujan sore ini membuat Arisha mengurungkan niatnya untuk menyapu halaman rumah kontrakan minimalis yang sudah bertahun-tahun di huninya bersama dengan Naufal dan Sheva. Putra-putrinya hidup tanpa seorang ayah selama bertahun-tahun. Mungkin dalam ingatan Naufal, wajah ayahnya masih sesekali kerap menyapanya dalam mimpi. Sebagai bunga terindah. Namun tidak dengan Sheva, gadis kecil nan malang. Sejak lahir ke dunia ini pun, Sheva belum pernah sama sekali melihat paras tampan nan gagah sang ayah. Mata Arisha kerap mengembun dengan sendirinya ketika melihat tumbuh kembang putra-putrinya itu. Tanpa kasih sayang seorang ayah, mereka berdua kerap menyembunyikan kesedihan mereka dari Arisha. Mau dikatakan apalagi, takdir lebih berkuasa. “Bunda! Mas Naufal nakal! Baju Sheva kena lumpur semua!!” “Ya kalau nggak mau kena lumpur, jangan main hujan-hujanan, Sheva!” Seketika suara putra-putrinya itu mampu menarik kesadaran Arisha untuk kembali pada dunianya kini. “Sudah main hujan-hujanannya. Nanti kalian berdua masuk angin!” “Nggak kok, Bunda. Naufal sudah biasa, tenang saja!” Naufal—anak lelaki berusia tujuh tahun itu mengacungkan tinggi-tinggi jari jempolnya untuk meyakinkan sang bunda agar tidak khawatir. Dirinya merasa anak jagoan yang paling unggul di dalam keluarga kecil mereka. “Sheva, sini Sayang!” Arisha mengayunkan tangannya sebagai pertanda ajakan yang serius ditujukannya untuk Sheva. Mengesampingkan Naufal yang memang sudah terbiasa dengan kegiatan berhujan-hujanan. Arisha yang tengah duduk di teras rumahnya pun mulai mengalihkan perhatian Sheva dari kegiatan berhujan-hujanan itu, dengan membentuk kertas menjadi sebuah perahu. Mereka berdua—Arisha dan putri kecilnya mulai memainkan perahu kertas mereka masing-masing. Tanpa berbasah-basahan, Arisha dengan ide cerdasnya mampu melukiskan senyum di bibir Sheva yang sampat manyun itu. “Yeayyy! Perahu Sheva bisa jalan, Bunda!” “Perahu Bunda juga,” celetuk Arisha dengan tangan yang masih fokus menciptakan gelombang pada cekungan kecil di depannya yang berisikan oleh air hujan itu. Dari samping, Arisha dapat dengan jelas melihat ekspresi bahagia yang sangat natural dari Sheva. Dalam hati Arisha berkata, ‘Nak, maafkan Bunda. Hanya kasih sayang Bunda yang dapat kau nikmati entah sampai kapan nanti..’ “..Bunda? Kok bengong sih!? Bunda lagi mikirin apa?” “N—nggak kok. Sheva udahan ya mainnya. Baju kamu basah, nanti kamu masuk angin. Mandi, Sayang..” titah Arisha dengan lembut dan penuh dengan kasih sayang. Putrinya itu hanya mengangguk dan pandangan matanya kemudian beralih pada sang kakak laki-laki yang masih asyik bermain hujan-hujanan. Arisha tahu apa yang tengah ada dipikiran Sheva. “Kamu duluan, habis ini Mas Naufal. Mas Naufal biar Bunda yang urus.” “Kok Mas Naufal jarang sakit ya, Bun?” “Mas Naufal ‘kan jagoan Bunda dan Sheva. Mas Naufal itu kuat!” “Nanti kalau Sheva sudah besar, Sheva juga pasti sekuat Mas Naufal. Ya ‘kan, Bun?” Arisha tak lagi menyahuti pertanyaan Sheva, ia hanya menganggukinya saja. Pasalnya, Sheva bila sudah berbicara, susah berhenti. Ceriwis sekali! Malam harinya. Seusia menemani Sheva hingga gadis kecilnya itu terlelap dalam tidurnya. Arisha mengurungkan niatnya untuk pergi beristirahat di kamar pribadinya. Rumah kontrakan minimalis ini memang memiliki tiga kamar yang ukurannya kecil. Akan tetapi, selama ini masih sangat nyaman untuk di tempati. Karena tidak banyak barang-barang yang ada di rumah kontrakan ini. Hchh! Hcchhh! Suara bersin-bersin itu bersumber dari dalam kamar anak pertama Arisha—Naufal. “Naufal..” Tok..tok..tok.. “Naufal, buka pintunya..” Beberapa saat kemudian Naufal membuka pintu kamarnya dengan memeluk selimut yang telah menyelimuti seluruh tubuh mungilnya. Wajahnya pucat pasi, dahinya mengeluarkan tetesan keringat. Arisha mengernyit heran. Apa yang terjadi pada sang putra? Tangannya pun bergerak lembut, meletakkan tempurung tangannya pada dahi Naufal guna memastikan sesuatu. “Ya Allah, Naufal! Badan kamu panas sekali, Nak..” “Kenapa tidak bilang Bunda?” “N—nggak apa-apa, Bun. Besok juga sembuh-sembuh sendiri,” katanya dengan suara yang berbeda dari biasanya. Mungkin karena hidung Naufal tersumbat. Tanpa berlama-lama lagi, Arisha segera membuatkan secangkir teh manis hangat untuk Naufalnya. Arisha juga sempat menawarkan pada Naufal untuk pergi ke puskesmas terdekat yang buka selama 24 jam. Akan tetapi Naufal menolak. Ia berkata bahwa dirinya akan sembuh bila meminum obat penurun panas yang beberapa bulan yang lalu sempat bundanya beli karena Naufal jatuh sakit kala itu. Akhirnya, meski berat hati. Arisha putuskan untuk berpamitan pada Naufal, dirinya harus pergi ke apotek terdekat. Karena obat itu sudah lama habis. Dan selama ini Arisha tidak pernah menyetok obat-obatan di rumah. Pukul sembilan malam, hujan sisa sore tadi nyatanya masih awet. Bedanya hanya rintik-rintik saja yang tersisa. Dinginnya malam membalut tubuh ramping Arisha yang berjalan menyusuri jalan raya yang mulai sepi oleh pengendara motor. Mungkin karena sudah larut malam dan gerimis. Tak lupa Arisha juga membawa payungnya agar tidak kehujanan karena ia hanya berjalan kaki untuk sampai di apotek. Berharap apotek masih buka. Semoga saja.. Sampai di apotek, entah suatu keajaiban yang tengah Tuhan turunkan sebagai penolongnya malam ini ataukah tentang do’anya di sepanjang melangkahkan kaki kemari penuh dengan kekhawatiran—yang terkabul. Apotek di depannya itu sudah hampir tutup. Sesegera mungkin Arisha membeli obat-obatan yang biasanya diberikannya pada Naufal saat jagoan kecilnya itu sakit. Memutuskan bergegas pulang ke rumah karena Naufal sendirian dengan kondisi tubuh yang sedang demam, Arisha mempercepat langkah kakinya. Namun, tiba-tiba sebuah mobil melaju cukup kencang di sebelahnya sehingga rok panjang dan sweater cokelat yang dikenakannya sukses terguyur air cipratan tersebut. Untunglah si pengemudi langsung sadar karena teriakan spontan Arisha. Hingga turunlah dari sebuah mobil hitam, seorang pria bertubuh tinggi nan tegap. Berjalan pasti ke arah Arisha berdiri. “Mohon maaf, saya tidak sengaja..” Meski kesal. Arisha tidak ingin berurusan dengan orang tak dikenal di hadapannya ini. Yang ia inginkan adalah segera pulang dan memberikan obat yang ia beli ini untuk Naufal yang sedang sakit. Setelah menarik napasnya agar tidak begitu kentara memperlihatkan kekesalannya. Arisha menjawab dengan santai, “Tidak apa-apa. Permisi.” “Tunggu dulu!” Kira-kira baru tiga langkah Arisha meninggalkan pria itu dengan jalan gontai. Pria asing tersebut kini sudah berada di hadapan Arisha. Keadaan jalan yang sudah sepi malam ini membuat Arisha waspada. Siapa sangka memangnya kalau pria asing ini tengah melancarkan sebuah modus kejahatan di jalan raya pada larut malam seperti ini. “Rumah kamu di mana? Saya antarkan saja. Baju dan rok kamu basah karena saya.” “Tidak perlu, Pak. Saya bisa pulang sendiri. Tolong, saya ingin segera pulang ke rumah.” Arisha pun lantas melanjutkan kembali berjalan secepat mungkin untuk segera sampai di rumah kontrakan sederhana yang dihuninya itu. Karena khawatir dengan seorang wanita yang larut malam seperti ini masih berkeliaran dengan membawa sekresek putih yang ia yakini berisikan obat-obatan karena cap yang tertera menunjukkan sebuah nama apotek. Aji Saka Laksmana pun memutuskan untuk mengikuti wanita itu dari belakang. Dengan sorotan lampu mobil yang sengaja ia perlihatkan agar wanita itu bisa melihat jalanan yang berlumpur sisa hujan ini. Aji tidak pernah mempunyai niat buruk sama sekali. Ia hanya merasa bersalah karena ulahnya yang sembrono melaju kencang, hingga membuat baju yang dikenakan oleh wanita asing itu basah dan kotor oleh lumpur. Sampai di sebuah kontrakan kecil, Aji benar-benar tidak menyangka bila wanita itu bukanlah wanita asing. Dapat dipastikan oleh Aji, bahwa mamanya sudah pasti mengenal siapa wanita itu. Hendak segera pergi begitu saja tanpa jejak. Walau sebenarnya Aji tahu, wanita itu sudah pasti peka bila sejak tadi diikutinya. Belum sempat Aji memutar balik mobil yang dikendarainya. Tok..tok..tok… Ketukan tangan di kaca mobilnya membuat Aji mau tidak mau membuka kaca mobil di sampingnya itu. “Terima kasih sudah repot-repot mengantarkan saya pulang. Jangan berpikir untuk melakukan tindak kejahatan setelah anda mengetahui tempat tinggal saya. Urungkan niat anda bila memang apa yang saya katakan ini sebuah kebenaran, karena percuma saja. Di kontrakan kecil saya ini, tidak terdapat barang-barang berharganya.” Tersinggung karena dikira penjahat yang sedang melancarkan aksinya. Aji pun keluar dari mobil kemudian berkata, “Hei!? Saya bukan penjahat!” “……..” Tak ada jawaban dari wanita asing itu. Namun Aji masih enggan untuk beranjak. Ia justru semakin penasaran dengan wanita yang terang-terangan menganggapnya orang jahat. Memangnya wajah tampannya ini mirip dengan para penjahat? Tidak bukan? Mata Aji masih setia mengamati wanita itu. Tubuh tegapnya kini bersandar di mobil sembari menyilangkan kedua tangan di depan da-danya. Aji pun kemudian menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwasannya wanita asing itu pulang ke kontrakan dengan disambut seorang anak kecil laki-laki di ambang pintu. Dan, yang lebih tidak terduganya lagi. Anak kecil itu sempat melihat kea rah Aji dan mengulas senyum tipisnya. Wajahnya pucat. Aji baru tahu kini, bahwa wanita asing itu ingin segera pulang karena adiknya sedang sakit di rumah. Syukurlah jika bukan ia yang sakit.. Di dalam rumah. Arisha masih setia menunggui Naufal yang kini sudah memposisikan tubuhnya untuk kembali berbaring. Sesekali tangan lembut Arisha mengusap tangan kanan Naufal, tak segan pula ibu dua anak itu menciumi tangan Naufal. “Bun..Bunda tidur aja. Naufal nggak apa-apa kok. Besok juga sembuh, Bun.” “Bunda malam ini mau tidur di samping Naufal, boleh?” Naufal pun seketika menunjukkan senyum tipisnya tanda ia memperbolehkan sang bunda untuk tidur bersamanya mala mini. Hingga akhirnya Arisha dengan wajah berseri-seri dalam bahagianya, mulai memposisikan tubuhnya untuk turut berbaring di samping putra kecilnya yang tengah jatuh sakit itu. Tanpa aba-aba pun Naufal langsung memeluk erat tubuh Arisha, seperti seorang anak yang selamanya tidak akan pernah bisa jauh dari sang bunda. “Panas sekali suhu tubuh kamu, Naufal.. Besok kalau belum sembuh juga, kita ke puskesmas ya?” “Iya, Bun. Tapi Naufal yakin, besok pasti sudah langsung sembuh. Apalagi malam ini tidurnya dipeluk Bunda. Sampai pagi ya Bun peluknya..” Arisha hanya mengulas senyumnya tanpa diketahui oleh putranya yang tengah menyembunyikan wajahnya di ceruk leher sang bunda. Rasa khawatir seorang ibu pada anaknya kala sakit memang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Meski pun sang anak berkali-kali meyakinkan sang ibu, tetap saja. Manusiawi bukan? Naufal jagoan Arisha yang paling kuat selama ini. Bahkan jauh sebelum Sheva bisa berjalan dan berbicara seperti sekarang ini. Hanya Naufal-lah yang kerap memeluk Arisha yang bersedih ketika sering kali bayangan Firman—ayah Naufal dan Sheva hadir tanpa diundang. Cinta pada pasangan hidup memang tidak bisa begitu saja terlupakan oleh waktu yang terus berjalan. Meski sering kali kata orang, waktulah yang nantinya akan menggerus berbagai kenangan. Nyatanya hingga detik ini, kepulangan Firman masih dinanti Arisha dan putra-putrinya. “Bun..” “Hm?” “Yang tadi antar Bunda itu siapa? Teman Bunda?” “Y—yang mana?” Arisha sungguh tidak mengerti dengan pertanyaan putranya itu. Apakah saat ini Naufal tengah mengigau karena demam yang dirasakannya? Tapi suara Naufal kala bertanya pada Arisha sangat jelas. Dan Arisha menduga saat ini Naufal masih sadar sepenuhnya. “……..” Tak ada jawaban apa pun yang keluar dari bibir Naufal, padahal Arisha sungguh penasaran menanti kata selanjutnya yang akan diucapkan oleh Naufal. Namun, belum sempat mengusaikan rasa penasaran yang memenuhi pikirannya. Ingatan Arisha tiba-tiba terseret pada kejadian beberapa jam yang lalu. Pria asing itu! “Maksud Naufal yang tadi—“ “Iya, Bun. Yang di mobil. Tadi teman Bunda sempat senyum waktu Naufal juga senyum. Baik—“ “Jangan menunjukkan senyum ramah pada sembarangan orang, Naufal. Yang tadi itu orang asing. Bunda tidak kenal.” “Tapi sepertinya bukan orang jahat Bun,” sanggah Naufal dengan keyakinan dalam dirinya. Entahlah, ia hanya mempercayai senyum tulus yang dilihatnya sendiri saat membukakan pintu untuk bundanya tadi. Pria asing yang dimaksud oleh bundanya itu bukanlah orang jahat, Naufal yakin akan hal tersebut. Arisha tak ingin Naufal terus mengajaknya berbicara dengan topik pembahasan mengenai pria asing tidak jelas itu. Wanita itu pun memutuskan untuk meminta Naufal memejamkan matanya, sembari merasakan usapan lembut telapak tangan bundanya di punggung. Benar saja. Tidak lama kemudian, Naufal terlelap dengan nyaman bergegas menuju alam mimpinya. Perlahan Arisha mendaratkan kecupan lembutnya di dahi Naufal. “Lekas sembuh, Jagoan Bunda. Kalau kamu sakit seperti ini. Pada siapa lagi Bunda berpegangan untuk dapat kuat berdiri dan terus melangkahkan kaki? Sementara hanya kamu dan Sheva semangat hidup Bunda.” Pilu memang, tetapi tidak ada yang mendengar rintihan kecil yang bersumber dari bibir manis Arisha itu. Hanya angin malam yang mendengar tanpa bisa membeberkan pada dunia bahwa kenyataannya, serapuh inilah sosok Arisha Danastri bertahun-tahun menjalani hidup tanpa Firman Nasir Alamsyah—suami tercintanya. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
95.7K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook