Kau adalah wanita yang masuk ke dalam hidupku tanpa izin. Pergilah, jangan datang dan memperbaiki diriku. Tidak akan kubiarkan kau menyusun kepingan hatiku yang sudah hancur sejak dahulu. Aku takut jika akhirnya kebaikan itu datang menghampiriku dan membuatku untuk mulai bergantung padanya.
֍
“Honey, mau satu permainan lagi?” bisik menggoda seorang wanita di telinga pria yang ia duduki. Mereka duduk bertumpuk di atas sofa, di dalam ruangan yang remang tanpa cahaya matahari. Hanya ada beberapa lilin aroma yang dipasang di sudut ruangan. Dia laksana boneka barbie dengan pakaian yang setengah terlucuti, menggelayut mesra di atas tubuh seorang pria yang masih setengah sadar.
“Aku lelah, pergilah.” Pria itu menutup wajahnya dengan punggung tangan yang berhias tatto dan beberapa luka sayatan lainnya. Semua itu ia dapatkan setelah berduel tangan kosong di dalam lapas dengan narapidana lainnya. Dean hanya memakai celananya, membiarkan bagian atas tubuhnya terekspos bebas untuk dimainkan oleh wanita yang ia pesan tersebut. Namun, wajahnya mengisyaratkan ia benar-benar lelah sekarang.
Tidak mendengarkan, wanita bayaran itu melanjutkan aksinya. Ia tentu saja tidak akan melepaskan kesempatan ini, dibayar tinggi dan mendapat klien setampan pria di depannya. Jika saja ia bisa menyimpan satu atau dua benih di perutnya, mungkin ia tidak perlu melayani kakek-kakek tua dan menjijikan itu lagi ke depannya. Benar, mungkin saja hidupnya akan berubah untuk ke depannya.
“Mmph,” rintihnya kesakitan. Ia melotot kaget ketika rahangnya tiba-tiba dicekal kuat dan ditarik ke depan. Bukan itu yang membuatnya takut, namun sorot mata sedingin serigala itu yang kini mengancamnya tajam. Mendadak tubuh polosnya bergetar ketakutan, ia belum pernah merasa setakut ini sepanjang hidupnya.
“Apa kau tidak mendengarkan perkataanku?” tanya Dean, matanya terbuka lebar namun sorotnya seperti tidak segan untuk membunuh wanita itu kapanpun juga.
“Kau tuli?”
Wanita itu menggeleng, matanya mendadak berkaca-kaca. Ia ketakutan. Pikirannya untuk mengubah nasib hidupnya mendadak hilang begitu saja. Ia hanya ingin keluar hidup-hidup dari tempat ini sekarang. Dean mendorong rahangnya keras, wanita itu langsung meringis kesakitan dan merangkak pergi dari atas Dean. Dia segera mengambil semua bajunya dengan tergesa dan terbirit pergi ke luar.
“Tunggu.”
Seperti sebuah ultimatum, wanita itu mendadak berhenti. Ia menoleh perlahan ke arah Dean yang menyesap anggur di gelasnya dengan wajah seolah tidak peduli sedikitpun. Telunjuk pria itu terangkat, mengarah pada meja kecil yang terletak di pinggir kasur hotel.
“Bayaranmu ada di atas nakas. Jangan lupakan itu.”
“Te-terimakasih.” Dia mengambil sebuah amplop cokelat berisi segepok uang dan memegangnya erat di tangan. Wanita itu langsung pergi tanpa berkata apapun lagi. Kenyataanya, ia lebih menyayangi hidupnya daripada menjajal resiko untuk tinggal bersama seseorang yang mengerikan seperti itu.
Setelah pintu kamar hotel ditutup kembali, satu-satunya yang tersisa di dalam hanyalah Dean dengan kesunyian di sekelilingnya. Ia menyandarkan kepalanya di atas sofa, mengebulkan asap rokok yang ia hisap dalam-dalam. Netranya memejam erat saat ini, namun bulu lentik di kelopak matanya itu tidak memungkiri ketampanannya yang memang di atas rata-rata tersebut. Hidung bangir lurus dan garis bibir yang menggoda siapapun untuk mencoba bagaimana rasanya. Apakah pahit, manis, atau mungkin lebih menakjubkan dari itu. Siapa yang tahu?
Berbicara tentang bagian tubuh, bisa dibilang jika otak adalah organ milik manusia yang paling aneh. Dia seperti memiliki kehidupan sendiri. Kadang otak dengan liciknya memutar beberapa kilas kejadian yang paling ingin kita lupakan meskipun kita menolaknya keras. Dean juga merasakan hal yang sama saat ini. Di tengah pikirannya yang kosong, serentetan memori memaksa masuk untuk membuatnya teringat akan dendam dan hasrat yang selama ini membelenggu dirinya.
***
“Kamu memang selalu bisa dibanggakan, Bryan. Tidak sia-sia Papah memilihmu untuk jadi penerus Grup Zulkarnain ini.” Seorang pria paruh baya berwajah ramah mengacak rambut putranya dengan bangga. Bryan, nama anak kecil itu, berdiri dengan senyuman lebar di wajahnya beserta sebuah piala Olimpiade di tangannya.
“Bryan memang selalu bisa diandalkan, Mas. Dia pasti akan jadi pemimpin yang baik.” Sang ibu juga menimpali dengan senyuman manis di wajah cantiknya. Bryan nampak begitu bahagia bersama kedua orang tuanya. Mereka adalah keluarga yang ideal dan harmonis.
Hanya itu.
Hanya kesimpulan itu yang mampu Dean remaja ambil ketika ia melihat mereka bertiga dari kejauhan. Ia sendirian di sana. Tidak ada Ibu yang tersenyum memujinya atau Ayah yang bangga akan dirinya. Sesak. Remaja laki-laki itu menahan sesak yang mulai bersarang di dadanya.
Pria paruh baya itu mendadak menatap ke arahnya, dengan raut wajah 180 derajat berbeda dari apa yang ia tunjukan pada sang adik. Mereka semua menatap Dean dengan tatapan iba, heran dan jijik. “Berkebalikan denganmu, kakakmu itu sama sekali tidak lulus sekolah menengah dan hanya bermain bersama orang-orang jahat. Entah jadi apa perusahaan ini jika dipegang olehnya.”
“Mas,” tegur sang Istri yang juga merangkap titel sebagai ibu kandungnya. Dean tidak terlalu memikirkan mereka, jujur saja. Satu hal yang benar-benar membuatnya terganggu adalah tatapan anak kecil itu padanya. Bryan … mengasihaninya. Dean sangat marah ketika sorot mata iba itu mengarah padanya. Memangnya siapa dia berhak mengasihaninya? Memangnya Dean pernah memintanya untuk bersimpati padanya? Sial! Dean menendang salah satu kursi di sebelahnya dan ia langsung pergi dari sana tanpa berkata apapun.
“Dean! Dean!” Ibunya memanggil namun remaja laki-laki itu tidak peduli. Tentu saja, ia sudah dibuang secara terang-terangan oleh keluarganya sendiri. Dean juga akan membuang mereka dari kehidupannya.
***
“s**t!” Umpatan yang disusul bunyi gelas pecah itu datang dari Dean yang tiba-tiba saja merasa depresi dan mulai membanting apapun di sekitarnya. Gelas, botol anggur, telepon hotel hingga meja ia tendang dengan keras, mencoba untuk melampiaskan amarah yang meledak di hatinya. Wajahnya berkeringat, ia terengah-engah setelah selesai mengacaukan kamar tersebut dengan sempurna. Dean bahkan tidak peduli sedikitpun pada telapak tangannya yang kini berlumur darah segar setelah terkena pecahan kaca.
[triiiiiing …]
[triiiiiing …]
Itu suara panggilan yang masuk. Dean mendesah tidak suka. Ia tidak sedang dalam kondisi yang baik untuk menerima sebuah telepon. Namun tetap saja tangannya bergerak mengambil ponsel yang terselip di celananya. Layar ponsel itu mendadak kotor ketika tangan Dean yang berlumur darah mengusapnya. Panggilan kemudian tersambung.
[Halo, nak?]
Shit. Dean mengumpat di dalam hatinya. Ia langsung dipertemukan dengan orang yang memantik api kebencian di hidupnya. Wajahnya mendadak dingin kembali, ia tidak ingin melihat wajah wanita itu kembali. Dean menarik napasnya perlahan, ia menetralkan perasaan marah yang berkecamuk di hatinya dan memasang seringaian kecil di wajahnya setelah itu. “Sungguh Ibu yang sangat perhatian. Dia akhirnya mau menelepon anaknya setelah bertahun-tahun tidak pernah ia kunjungi sedikitpun di penjara.”
[Dean … maafkan Mamah atas semua kejadian di masa lalu.]
“Maaf?” tanya Dean, bingung. Ia menautkan kedua alisnya seolah tidak paham apa yang dikatakan wanita tua itu. “Memangnya apa yang perlu dimaafkan?”
[Dean … Mamah tahu kamu masih benci sama kami. Tapi sekali saja dengerin permintaan Mamah kali ini, tolong datang ke rumah ya. Ada yang mau Mamah bicarain sama kamu. Ini masalah penting.]
“Tidak.” Dean menolaknya langsung, ia tidak mau bertemu dengan wanita itu atau anak kecil yang memberikan tatapan iba itu kepadanya. Dia tidak akan menemui mereka lagi. “Jika hanya itu yang ingin kau katakan, maka selamat malam—”
[Tunggu sebentar, Dean! Ini benar-benar penting, nak! Datanglah besok malam ke rumah! Mamah menunggumu. Kamu masih tetap keluarga kami, keluarga Zulkarnain. Ayahmu juga menyayangimu sampai akhir hayatnya.]
Tut! Panggilan terputus. Dean menatap ponsel itu sejenak dan terdiam cukup lama sebelum ia membantingnya ke lantai dengan keras. Dean berdiri dan menginjak ponsel mahal itu dengan sepatunya sampai remuk tidak berbentuk, “Keluarga? Ayah? Kasih sayang?”
“Omong kosong, semua itu hanya untuk mereka yang lemah.” Dean mengambil jaketnya dan pergi ke luar kamar, baiklah, jika wanita itu mengatakan bahwa ia masih bagian dari keluarga itu, biar Dean tunjukan apa yang bisa ia lakukan pada keluarganya sekarang. Hatinya menggelap lagi, setiap titik cahaya yang datang selalu tertelan oleh api kebencian yang membara. Tidak ada cara untuk menyelamatkannya.
Tidak ada satupun cara.
Tidak ada …,
Mungkin, hanya tersisa sebuah cara. Menghujani hati yang sudah mengeras seperti batu itu dengan apa yang mereka inginkan. Cinta dan kasih sayang. Itupun jika Dean mau menerimanya, jika ia benar-benar mau mengizinkan kedua hal itu untuk kembali mengisi jiwanya yang sudah kosong dan dingin tersebut. Mungkin takdir yang akan membawakan hal itu padanya. Mungkin juga takdir yang akan merenggut semua itu darinya kembali. Entahlah, takdir memang selalu menarik untuk dinanti.