R 0.1

1423 Words
Shana, Arthur, Agatha, dan Verrel tengah menonton pertandingan olahraga antar fakultas guna memeriahkan berakhirnya masa ujian dan menyambut awal masa liburan. Sambil menunggu nilai UAS mereka keluar, mereka memilih melepaskan penat dengan ikut menjadi suporter pertandingan olahraga antar fakultas itu. Siang ini, suasana di stadion olahraga milik Universitas Adikarya cukup ramai dan meriah oleh sorakan dan dukungan dari penonton. Tentunya mereka memberi dukungan pada delegasi dari masing-masing fakultas. Kebanyakan dari mereka juga duduk berkelompok agar bisa semakin kompak dalam memberikan dukungan. Tak terkecuali dengan Agatha dan Shana yang tak henti-hentinya berteriak girang kala tim jagoan dari Fakultas Ekonomi berhasil mencetak angka atau memenangkan pertandingan. Bahkan mereka sampai lompat-lompat layaknya tim pemandu sorak. Belum lagi keduanya ternyata sangat hafal dengan jargon dan yel-yel tim suporter Fakultas Ekonomi. "Gila apa ya mereka? Pulang-pulang bisa ilang itu suara," seloroh Verrel mengomentari tingkah Agatha dan Shana. Ia sendiri memilih duduk tenang bersama Arthur di bangku penonton. Arthur terkekeh sambil mengangguk-angguk membenarkan ucapan Verrel. Namun ia menambahkan, "Biarin aja. Teriak-teriak gitu juga bisa ngelepasin stres dan penat." "Sana lo ikutan," seru Verrel mendorong Arthur. Meski yang ia dorong tak bergerak dari tempatnya. Arthur berdecak dan menyingkirkan tangan Verrel yang merusuh mendorong-dorong bahunya. Ia agak risih dengan orang yang sok akrab. Meski sebenarnya mereka juga sudah bisa dikatakan sangat akrab untuk sekarang ini bila dibandingkan dengan beberapa tahun lalu di awal mereka bertemu. Melihat Arthur yang menanggapinya dengan kaku, Verrel pun menghentikan aksinya. Ia menarik tangannya dan kembali bersikap tenang, seperti orang di sampingnya. Setelah terdiam cukup lama, Verrel kembali tergelitik untuk mengganggu Arthur. "Ar, Ar," panggil Verrel. Arthur menoleh sekilas sembari menaikkan sebelah alisnya, tanda bertanya. Arthur memang begitu. Ia irit bicara dan seringnya hanya memberi tanggapan lewat bahasa tubuh. "Gue jadi ikut makrab fakultas," ujar Verrel memberitahu, “lumayan, bisa dapet kenalan temen dari jurusan lain, juga dari kakak tingkat.” Arthur menggumam saja dan masih tetap tak menanggapi Verrel dengan serius. Alhasil Verrel mencoba membuat pertanyaan yang sekiranya bisa membuat Arthur buka mulut dan bukannya menggumam-menggumam saja. “Ar, gue juga daftarin lo, Agatha, dan Shana,” kata Verrel lagi, “jadi besok kalian join makrab, ya?” Tak seperti yang Verrel bayangkan bahwa Arthur akan senang mendengar itu, Arthur justru memasang tampang sengit. Ia bertanya untuk memastikan, “Barusan lo bilang apa? Lo udah daftarin gue, Shana, dan Agatha ke acara makrab itu?” Verrel mengangguk takut-takut. “Iya, Ar. Gue daftarin kalian semua.” “Lo pikir gue akan senang dan berterima kasih gitu, Rel?” tanya Arthur. “Sorry, Ar,” cicit Verrel mengkeret juga. “Lo udah punya rencana buat ngisi liburan ini?” Arthur menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Verrel. Dia memang belum punya rencana untuk menghabiskan waktu liburannya. Namun tentu Arthur juga malas kalau harus bersosialisasi dengan banyak orang di acara makrab. Dia bukan Verrel yang senang bergaul dengan banyak orang. Makrab bukan ide yang bagus untuk Arthur. Arthur melihat Verrel sudah ketakutan. Jadi ia berusaha menurunkan emosinya dan bersikap tenang seperti biasa. “Jadi gimana cara batalinnya?” Verrel langsung menjelaskan apa yang Arthur tanyakan dengan lengkap dan gamblang. Ia bahkan bersedia menemani Arthur mengajukan pengunduran diri dari keikutsertaan di acara makrab. “Kalian kenapa, sih? Kok kelihatan kaya orang habis ribut,” komentar Shana. Gadis itu sudah kembali duduk di samping Arthur dan sekarang ini tengah menenggak isi dari botol kemasan air mineral. Agatha juga turut duduk di sebelah Verrel. Cewek itu menanyakan hal yang sama dengan yang Shana tanyakan. “Verrel daftarin kita semua ke acara makrab,” ujar Arthur dengan suara agak keras agar suaranya tidak kalah dengan sorak sorai para suporter. “Hah?” Agatha terkaget-kaget. “Lah, kok lo nggak tanya-tanya dulu sih, Rel?” Shana turut cemberut. Dia kan juga malas datang ke acara seperti itu. “Sorry, guys,” ucapnya, “nanti gue anter kalian ke bagian pembatalan keikutsertaan deh. Santai aja, gampang kok prosesnya!” Mendengar bahwa prosesnya gampang, maka ketiga teman Verrel itu pun tak lagi mengeluh atau menyalahkan Verrel atas kelancangan yang ia perbuat. Bahkan Shana dan Agatha kembali berperan menjadi tim pemandu sorak dadakan. Hanya Arthur yang jadi kelihatan sangat bad mood. *** Acara suporteran berakhir bersamaan dengan pertandingan yang juga dijeda agar pemain serta para penonton bisa ishoma. Jadi keempat sekawan yang terdiri dari Arthur, Verrel, Shana, dan Agatha itu pun bergerak keluar dari stadion olahraga. “Mau makan siang di mana?” tanya Agatha. Gadis itu selalu ceria dan bersemangat. Shana yang sedikit lebih kalem dari Agatha pun menjawab, “Kafenya Kak Panji aja gimana?” “Boleh.” Arthur setuju. “Kenapa enggak? Lidah gue udah cocok banget sama masakan kafenya Kak Panji,” timpal Verrel. Agatha menoyor Verrel. “Mentang-mentang dia ketua Senat dan lo anggotanya, terus lo promosi terselubung gini?” “Lah, emangnya lo nggak suka sama makanan di kafenya Kak Panji?” Verrel balas menantang. Cowok itu memang belakangan ini memilih untuk mendaftarkan diri menjadi bagian dari Senat Mahasiswa, seperti yang Agatha singgung barusan. Padahal tadinya ia sangat berminat untuk menjadi anggota BEM Fakultas Ekonomi. Tapi karena satu dan lain hal, Verrel berganti haluan. Agatha nyengir kuda. “Ya, gue suka sih. Suka dapet tambahan makanan gratisnya juga,” katanya malu-malu. “Dih,” desis Shana. Ia agak malu punya sobat yang begitu blak-blakan. Arthur geleng-geleng kepala. Ia memang biasa bertugas menjadi pelerai dalam setiap kerusuhan yang ada di antara mereka. “Udah-udah, nanti ribut berkepanjangan,” katanya memisahkan Verrel, Agatha, dan juga Shana. Mereka akhirnya berjalan agak berjarak menuju ke parkiran. Menggunakan mobil Verrel, keempat orang itu meluncur menuju kafe milik Panji. Namanya Kafe Dua Belas Jari. Mereka tiba di sana saat jam makan siang. Jadi tak ayal, mereka kesusahan mencari tempat duduk. Untunglah karena faktor orang dalam—alias mereka kenal pemiliknya—mereka bisa mendapat kursi tambahan yang dikeluarkan oleh pramusaji di kafe itu. Mereka kebagian tempat di teras samping. Di sana memang sedikit panas mengingat matahari sedang terik-teriknya. Namun beberapa pepohonan yang tumbuh di taman samping kafe rupanya cukup membantu menghalau sinar matahari. “Yuk, ah. Buruan makannya. Panas banget duduk di sini,” gerutu Agatha. Ia tidak sabar menyantap makanan yang datang. Selain karena lapar, ia juga kepanasan duduk di teras. Mereka pun makan dengan cepat. Hingga tak ada obrolan yang sempat mereka lakukan. Lima belas menit kemudian, makanan-makanan dan minuman-minuman pesanan mereka sudah ludes tak bersisa. “Ini kita kepanasan jadi pengen cepet-cepet, doyan, atau kelaperan?” celoteh Verrel mengundang kekehan ketiga temannya. Termasuk Arthur, meski cowok itu tetap memasang wajah kaku. Mereka tak berlama-lama di sana. Keempat orang itu kembali ke mobil Verrel dan tujuan mereka selanjutnya adalah kembali ke rumah masing-masing. Ya, mereka tidak akan kembali suporteran di stadion olahraga tadi karena delegasi dari Fakultas Ekonomi tidak akan bertanding dalam waktu dekat. *** Seperti yang sudah-sudah, Verrel memang menyediakan tebengan kepada teman-temannya. Meski tidak setiap hari juga. Namun kalau jadwal kuliah mereka berbarengan, bisa dipastikan mereka datang dan pergi bersama. Verrel mengantarkan satu per satu temannya ke rumah. Lalu seperti biasa, Agatha jadi yang terakhir. Cewek itu semula duduk di kursi belakang bersama Shana. Sementara kursi penumpang depan diduduki oleh Arthur. Setelah Shana dan Arthur turun, tentu saja Agatha akan melipir dari kursi belakang pindah ke kursi penumpang depan. “Tha, kita tetep ikut makrab, ya?” mohon Verrel pada Agatha sesaat setelah ia kembali melajukan mobilnya dari menurunkan Arthur. Agatha menggeleng. “Gue nggak mau ikut kalau Shana nggak ikut. Ogah banget gue di sana. Mending liburan di rumah, di sekitar sini aja,” kata Agatha. “Ya, elah, Tha. Di sana kan pasti lo juga bakal dapet temen baru,” bujuk Verrel, “lo bakalan nyesel kalau nggak ikut. Makrab ini nggak setiap tahun ada. Terus tempat makrabnya juga yang dulu-dulu tuh biasa aja. Kapan lagi coba kita glamping di tepi pantai.” “Tau deh, lo jangan pengaruhi gue!” Agatha memberi peringatan. Tapi kalau sudah seperti itu, Verrel tahu bahwa Agatha mulai goyah. Sedikit lagi, Verrel bisa mengubah keputusan Agatha. “Tha, acaranya dijamin seru. Pokoknya di sana kita bakalan hidup tanpa beban.” “Dih, apaan, sih? Lo lebay banget, Rel!” Agatha terkekeh melihat Verrel yang kemampuan promosinya sangat-sangat mumpuni layaknya sales asuransi. “Tapi lo goyah juga, kan?” Verrel mengerling. “Dah lah, Tha. Nurut apa kata gue aja. Nanti di sana gue juga akan temenin lo.” “Halah, palingan asik sendiri sama sesama anak organisasi,” cibir Agatha. Verrel berkata dengan serius. “Gue nggak akan gitu, Tha. Janji!” Agatha mengangguk-angguk saja. Ia masih akan memikirkan ini nanti. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD