R 0.2

1290 Words
Sementara Agatha mulai goyah karena terpengaruh rayuan Verrel, Shana justru sebaliknya. Ia tetap kekeh ingin mencoba menghubungi panitia makrab dengan berbekal nomor WhatsApp Contact Person acara itu. Ia mendapatkan nomor itu dari Verrel. Rencananya sih, Shana akan meminta pembatalan keikutsertaan dirinya dan Arthur dalam acara itu. Semoga saja bisa dan prosesnya gampang seperti yang Verrel katakan. Saat ia sudah mengirim pesan dan mendapat balasan, rupanya hal seperti ini harus diselesaikan secara tatap muka. Jadi CP dari panitia makrab itu meminta Shana datang ke stan pendaftaran mereka di kampus. Alhasil, Shana harus menunggu hingga esok tiba untuk membatalkan keikutsertaannya dalam makrab fakultas. Ia jadi tidak tenang dan masih kepikiran. Baru akan meletakkan ponselnya, Shana melihat ada telepon masuk dari Arthur. Gadis itu pun segera menerima panggilan itu. “Hallo, Ar,” sapanya. “Iya, Sha. Gimana soal pembatalan keikutsertaannya?” tanya Arthur to the point. Cowok itu memang tidak suka dan tidak jago berbasa-basi. “Besok diminta langsung datang ke stan pendaftaran di kampus,” jelas Shana singkat saja. Arthur ber-oh-ria di seberang sana. Mereka lantas tak banyak mengobrol dan memilih segera mematikan sambungan telepon. Setelahnya, Shana bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia yang seharian mendadak menjelma menjadi pemandu sorak jelas mengeluarkan banyak keringat. Shana tidak betah dengan tubuhnya yang kotor, lengket, dan bau kecut itu. Hingga ia buru-buru mandi dan berganti pakaian rumahan yang nyaman dan bersih. *** Pagi itu, Arthur, Verrel, Shana, dan Agatha berangkat menuju kampus. Arthur dan Shana jelas akan mendatangi stan tempat pendaftaran kegiatan makrab. Verrel akan menghadiri rapat Senat Mahasiswa. Sementara Agatha akan mengumpulkan lukisan ke UKM Seni Lukis. Jadi mereka langsung berpisah begitu tiba di kampus. “Sha, mana stannya?” tanya Arthur saat ia sudah berjalan berdua saja dengan Shana. Mereka mencari-cari keberadaan stan itu di kampus. Shana menunjuk ke satu tempat. Di tempat itu, ada sebuah stan yang didirikan dan tengah dikerumuni banyak mahasiswa. “Coba ke sana,” ajaknya. Mereka berdua berjalan menuju tempat itu. Dan benar saja, itu adalah stan pendaftaran kegiatan makrab. Anehnya, banyak juga mahasiswa yang mendaftarkan diri. Padahal menurut Arthur dan Shana, acara itu sama sekali tidak menyenangkan. “Permisi,” kata Shana pada salah satu panitia makrab yang tampak luang. “Iya, Kak?” jawab panitia itu. Shana jelas tahu bahwa panitia itu adalah kakak tingkatnya. Ia berkata dengan sopan, “Sebelumnya maaf, Kak, saya kemari mau mengajukan pengunduran diri dari keikutsertaan saya di acara makrab ini.” “Lho, kenapa, Kak? Sayang banget kalau batal ikut. Acaranya dijamin seru. Nanti kakak juga akan dapat pengalaman berharga dan pastinya relasi yang lebih luas, Kak,” kata panitia itu secara persuasif. Shana menoleh pada Arthur. Cowok itu membalas Shana dengan gelengan kepala. Sepertinya, Arthur tidak goyah dengan bujukan dari panitia itu. “Maaf, ya, Kak. Saya dan teman saya tetap mau mundur, Kak,” ujar Shana pada si panitia. Panitia itu tampak menyayangkan keputusan Shana dan Arthur. Tapi ia tetap mengantarkan Shana kepada panitia yang bertugas mengurus pendaftaran. Panitia itu berbincang sebentar dengan rekannya. Lalu panitia yang katanya mengurusi bagian pendaftaran itu pun menghampiri Shana dan Arthur. “Jadi kalian beneran mau mundur dari kegiatan makrab?” tanya panitia itu ramah. Shana dan Arthur kompak mengangguk. Bahkan Shana mempertegas lagi dengan jawabannya, “Iya, Kak.” “Hmm, kalian udah tahu ketentuan ini belum?” tanya sang panitia sembari memperlihatkan sebuah dokumen yang ternyata merupakan SOP kegiatan makrab. Shana dan Arthur membaca poin penjelas yang ditunjuk panitia itu. Keduanya kompak melotot tak percaya. “Maksudnya gimana, Kak?” tanya Shana karena ragu penglihatannya mungkin salah. Panitia itu meringis. “Hehe, iya yang Kakak baca itu benar. Untuk menghindari para peserta makrab yang sudah mendaftarkan diri mengurungkan niat mereka dan membatalkan keikutsertaan mereka dalam acara makrab, maka kami dari panitia membuat ketentuan ini. Bagi mereka yang mengundurkan diri maka tidak akan mendapat uang pengembalian dan justru diminta membayar denda empat kali lipat dari uang pendaftaran. Karena uang pendaftaran adalah sebesar Lima Ratus Ribu Rupiah, jadi dendanya sekitar Dua Juta Rupiah, Kak.” “Per orang, Kak?” tanya Arthur. Cowok itu biasanya lempeng-lempeng saja. Namun kali ini ia cukup terlihat kaget tak percaya. Panitia itu mengangguk. “Iya, Kak. Mau bagaimana lagi, kami juga harus berkoordinasi dengan pengelola resort untuk mengosongkan resort itu dan menyiapkan glampingnya, Kak. Sementara mereka enggan mengembalikan dana untuk fasilitas glamping dan booking tempat yang dibatalkan.” Arthur mengumpat dalam hati. Ia merasa dibodohi. “Tunggu, Kak, SOP ini diberitahukan saat peserta mendaftarkan diri tidak?” “Sudah, Kak. Tiap pendaftar kami minta untuk membaca dan memahami SOP ini. Memangnya kemarin Kakak tidak membaca bagian ini?” Panitia itu balik bertanya. Arthur dan Shana hanya bisa meneguk ludah. Bagaimana mereka bisa membaca kalau yang mendaftarkan mereka ke dalam kegiatan ini adalah Verrel? Cowok itu juga pasti melewatkan bagian ini karena dia bilang pencabutan pendaftarannya mudah. Arthur dan Shana bertukar pandangan sebentar. Meski enggan, mereka tak bisa berbuat apa-apa. Bukan kah sayang membuang uang sebegitu banyak? Bisa-bisa mereka harus berpuasa selama satu bulan! “Gimana, Ar?” bisik Shana pada Arthur. Arthur terpaksa menjawab, “Ya udah, ikut aja.” Shana dan Arthur pun tidak jadi mengundurkan diri dari keikutsertaan mereka di kegiatan makrab itu. Mereka langsung marah-marah kepada Verrel karena sembrono. Saat bertemu, Verrel langsung mendapat petuah dan nasihat panjang lebar dari Arthur dan Shana. *** Makrab akan dimulai hari Senin besok. Oleh karena itu, seluruh peserta makrab diminta berkumpul di kampus pada Minggu malam untuk bersama-sama berangkat ke lokasi. Ya, perjalanan dilakukan malam hari untuk menghindari kemacetan dan mereka akan banyak membuang-buang waktu di jalan. Butuh waktu tiga jam hingga bus rombongan mahasiswa peserta makrab itu tiba di tempat penyeberangan. Mereka kembali menunggu hingga perahu-perahu pesanan panitia tiba di sana untuk menyeberangkan mereka ke pulau tempat kegiatan berlangsung. “Teman-teman peserta makrab, harap kalian menyelesaikan urusan kalian dulu sebelum menyeberang ke pulau tempat kita akan melaksanakan kegiatan ini. Kalian bisa berpamitan pada orang-orang terdekat kalian dan memberitahukan bahwa kemungkinan besar untuk satu minggu ke depan, kalian akan sulit atau tidak dapat dihubungi.” Panitia memberi pesan menggunakan pelantang. Semua mahasiswa lantas sibuk dengan ponsel mereka. Tak terkecuali Arthur, Shana, Verrel, dan Agatha. Mereka juga mengabari orang rumah perihal kemungkinan besar mereka akan sulit dihubungi sampai satu minggu ke depan. “Ya elah, jangankan di pulau seberang, di sini aja udah susah sinyal,” gerutu Verrel. Padahal tadi ia sangat bersemangat untuk segera tiba di pulau terpencil itu. Shana mencibir, “Makan tuh nggak ada sinyal.” “Sha, jangan ketus-ketus,” ujar Agatha, “kita kan di sini mau bersenang-senang. Ya udah, have fun!” Shana mengembuskan napas. Ia berusaha tersenyum juga pada akhirnya. Sementara itu, Arthur mulai mengedarkan pandangannya. Cowok itu melihat-lihat sekitar. Ia memastikan bahwa panitia cukup baik dalam menyiapkan acara. Karena entah untuk alasan apa, Arthur merasa gusar. Arthur bahkan tidak bisa melihat ada tanda-tanda kehidupan di pulau yang akan mereka tuju. Bahkan letak pulaunya saja ada di tengah lautan nun jauh di sana. Ia tidak yakin bahwa ada tempat layak yang bisa mereka gunakan untuk acara makrab ini di pulau itu. Arthur menepuk bahu Verrel. Ia bertanya, “Lo yakin kita bakal nginep di glamping?” Verrel mengangguk yakin. “Gue ada foto lokasinya.” “Kirim ke gue. Gue mau lihat,” pinta Arthur. Tak sampai lima detik, Verrel sudah mengirimkan foto itu ke ponsel Arthur. Arthur pun segera mengamati lokasi mereka akan berkemah dan malaksanakan kegiatan makrab. Ya, Arthur melihat lokasi yang ada di foto itu cukup bersih dan indah. Tampak cukup terawat dengan tenda glamping yang fasilitasnya dijamin mewah. “Gimana? Bagus kan tempatnya?” tanya Verrel. “Lumayan.” Arthur mengangguk. Dari fotonya sih begitu. Tinggal lihat nanti saja saat mereka tiba di lokasi. Apakah realitanya akan sesuai dengan ekspektasi? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD