Rachel masuk ke kamar pribadi ayahnya, sembari tersenyum pada pria tua yang sedang mengerjakan sesuatu di mejanya. Mario Surya Pratama.
"Hai, Papa! Ada yang ingin Rachel perlihatkan pada Papa!" ucap Rachel duduk di sampingnya.
Mario sedang fokus pada Kertas-kertas yang berserak di mana-mana, bahkan Rachel melirik kertas itu, dia menemukan sesuatu terselip pada beberapa dokumen lainnya.
Rachel pun menarik pelan-pelan dan Rachel lagi-lagi menemukan tak terduga. Sebuah lukisan dengan ukiran sangat indah sekali. Mario mendongak kemudian segera merebut kembali kertas dari tangan putrinya.
"Jangan ganggu Papa sekarang, Rachel. Bersikaplah manis layak wanita pada umumnya. Sebentar lagi kau akan menjadi nyonya muda di rumah ini," ucap Mario dingin.
Rachel mengerti, dia turun dari duduknya kemudian berdiri menunjukkan sesuatu pada Mario. Mario yang sedang stres dengan kertas dokumen di mejanya. Perusahaan yang dia pegang sekarang semakin menurun bahkan persaingan dari kolega-kolega bisnis semakin banyak.
Mario berusaha menjatuhkan salah satu perusahaan yang terus menekannya. Apalagi investasi dia tanam tidak akan cukup untuk anak cabang sedang dia bangun salah satu kota ternama. Hanya satu cara bisa dia lakukan adalah menemukan satu akses dari ukiran di kertas ini.
Mario menoleh sebuah kertas sobek-sobek di tangan putrinya. Mario adalah pria bersifat keras dan mudah emosional. Disaat seperti ini putri tersayang masih saja mengganggu dirinya.
Rencana menjodohkan Rachel dengan Roy. Mantan kepercayaan dari almarhum saudara kandungnya.
Mario merencanakan ini agar dia bisa mendapat di mana akses sisa disembunyikan oleh Almarhum saudaranya itu. Selama dua puluh satu tahun dia perjuangkan agar bisa merebut semuanya, maka dia akan bebas dari haus kemiskinan.
"Papa beritahu berapa kali kepadamu, saat ini Papa tidak ingin bercanda denganmu!" pungkas Mario dan menampik tangan Rachel dari kertas sobek itu.
Kertas itu pun berjatuhan ke lantai hingga terpisah di mana-mana. Rachel yang merasakan itu pun terdiam, dia segera memungut kertas itu satu per satu.
"Rachel tahu, sekarang Papa sedang sibuk dengan dokumen itu! Tapi, ada yang ingin Rachel perlihatkan pada Papa?!"
Rachel menyingkirkan kertas dokumen itu dan berikan sedikit tempat kosong untuk menyusun kertas yang sudah disobek oleh Sarah tadi. Mario cukup mengamati setiap inci dari kertas tersebut. Pada akhirnya kertas yang sobek itu disatukan, Mario terbelalak tidak percaya. Sebuah ukiran lukisan yang indah.
"Ini?"
Rachel senyum, Rachel yakin Mario akan kaget dengan apa dia lihat. "Rachel punya cara agar Papa bisa mendapatkan Akses itu," ucap Rachel dengan ide cemerlangnya.
Mario menatap putri tersayangnya, ah, Mario lupa kalau Rachel juga memiliki IQ seperti dirinya. Tidak sia-sia Mario akan menyerahkan semua warisan perusahaan kepada Rachel.
"Papa ingin tau siapa yang mengukir lukisan indah ini?" Rachel sekali lagi bertanya pada Mario hingga beliau benar-benar penasaran.
Tidak perlu diberi tahu Mario sudah bisa menebaknya. Dia pun mengumpulkan kertas itu kemudian beranjak dari duduknya, tapi dicegah oleh Rachel.
"Jangan sekarang, Papa!"
"Tapi, Sayang,"
"Pa, kalau pun sekarang, apa Papa akan dapat itu semua? Ingat, Pa. Dia jauh lebih genius dari IQ kita, Pa. Rachel tau, Papa rencanakan ini agar perusahaan sekarang Papa pegang bertahan agar tidak dijatuhkan oleh siapa pun, bukan?" terang Rachel, seakan dia tau semua isi otak Mario.
Rachel bukan tidak tau semua akal busuk dibalik seorang pria tua seperti Mario. Bahkan Rachel tau sebagaimana bencinya Mario pada almarhum pamannya telah meninggal selama dua puluh satu tahun setelah lahirnya seorang perempuan yang sekarang sudah mereka angkat menjadi keluarga mereka.
****
Esok harinya, Sarah bersiap untuk berangkat kuliah. Sarah memilih jadwal kuliah pagi daripada Malam. Karena dia lebih menyukai cuaca yang terang. Jadi malam dia bebas untuk melakukan tugas rutinitasnya, bisa berkumpul dengan keluarganya.
Cukup beberapa hari berada di rumah yang membosankan baginya. Sejak kejadian semalam, Sarah memilih mendiami sang kakaknya. Entahlah, mungkin soal coretan pensil dilakukan oleh Rachel.
Sarah tidak terlalu mengharapkan apa pun, meski dirinya dipuji oleh kakak tercinta. Cukup untuk fasilitas yang dia punya.
"Sarah!" Rachel memanggil adiknya yang tengah berdiri di luar depan pintu rumah tersebut.
Sarah tetap memasang wajah sedemikian, untuk tidak membuat wajah sedih sang kakaknya.
"Ya, Kak?" sahutnya dengan senyuman.
"Maaf, soal semalam. Kakak tidak bermaksud untuk ...."
"Tidak apa-apa, Kakak berhak, kok, cuma semalam Sarah sudah mengantuk saja, seharian di rumah bete," sambungnya kemudian sembari merangkul lengan kanan sang kakaknya.
Rachel masih belum puas, tetapi melihat sikap adiknya melupakan kejadian semalam, mau tidak mau dia ikut tersenyum, dan mengacak rambut adik tercintanya.
"Ih! Kak Rachel! Rambut Sarah jangan di acak-acak, bersusah payah Sarah ikat rambut ini!" protesnya kembali merapikan rambut sebagian berantakan karena ulah Rachel.
Rachel tertawa kecil, semakin gemas melihat sikap adiknya. Bahkan Rachel sangat rindu akan suara manjanya itu. Entahlah, Rachel juga kadang bingung kenapa dia sangat menyayangi adik satu ini.
"Sarah, Kakak mau bertanya sesuatu kepadamu," Rachel mengalihkan percakapan lain, setelah adiknya selesai merapikan rambutnya.
"Apa itu?" Sarah menjawab.
"Menurut kamu, bagaimana sosok Om Roy? Sepertinya dia lebih dekat denganmu ..., maksud Kakak, Kakak hanya penasaran dengannya. Saat perbincangan dengan Papa, sikap Om Roy beda saat membahas soal perjodohan," ucap Rachel dan bertanya basa-basi tentang Roy.
Secara tak langsung Sarah menegak saat nama itu disebut oleh sang kakak tercinta. Cukup lama Sarah memikirkan agar dia bisa beri jawaban tepat kepada Rachel.
"Kenapa, Kakak bertanya kepadaku? Bukankah Om Roy adalah calon suami Kakak? Apalagi akan menjadi menantu di keluarga kita? Kenapa tidak Kakak tanya ke Papa?" kata Sarah, kembali bertanya kepada Rachel.
Ya, Sarah tidak bisa beri jawaban jujur, bahkan dia tidak mengerti pada pria bertato itu. Jika dia menjawab sejujurnya dari pertanyaan Rachel. Kecurigaan itu semakin memperburuk keadaannya.
"Bukan itu, melalui kamu tidak ada salahnya? Sejak perjamuan makan malam semalam, Om Roy suka menghilang tiba-tiba. Waktu keluar untuk melihat kondisi perusahaan Papa sekaligus jalan-jalan, dia menghilang tanpa jejak. Jadi, Kakak tanya kepadamu, bisa saja Om Roy kembali ke rumah, karena ...." Rachel melirik adiknya, sekaligus menyelidik apakah ada disembunyikan olehnya.
Sejak kepulangan dia dari Amerika, sikap adiknya jauh beda. Lebih dewasa, suka berpakaian pendek di rumah. Mungkin saja zaman modern serba seksi. Tetapi, bagi Rachel tidak pengaruh soal ini. Bukan dia merasa iri akan wajah adiknya jauh lebih cantik darinya, karena perawatan? Mungkin saja.
Sarah merasa punya firasat buruk, jika Rachel mencurigai bahwa pria bertato itu kembali ke rumah hanya untuk menginginkan dirinya.
"Maksud, Kak Rachel? Sarah ada hubungan spesial dengan Om Roy, begitu?" tebak Sarah, bukan dia takut, jika diketahui oleh sang Kakak tercintanya.
Tentu saja, bagaimana Sarah tidak takut, kalau Roy tiba-tiba muncul di rumah, tanpa ada yang curiga. Bahkan, Roy tanpa santai melakukan semaunya dengan menyentuh dirinya.
Rachel menatap tajam pada Sarah, sebaliknya Sarah juga, membalas. Saling bertatapan serius. Pada akhirnya Rachel menarik bibirnya panjang membuat Sarah mengernyit tidak mengerti.
"Apa yang Kakak senyum kan? Terserah, apa yang Kakak pikirkan soal Sarah? Tak ada hubungan apa pun diriku dengan Om Roy! Om Roy tetaplah Om Roy, bukankah sebentar lagi dia akan menjadi keluarga di rumah ini? Jadi ...."
Rachel mencubit hidung adiknya yang gemas itu, pasti adiknya merasa kesal padanya.
"Kakak tidak menuduh kau berhubungan dengan Om Roy, Kakak cuma bertanya saja. Karena, dia begitu misterius, terlalu banyak mendiami ku. Apakah, aku terlalu lama berada di negara seberang, sehingga dia terlihat asing di mataku?" ucap Rachel sekali lagi melirik adiknya.
Sarah mengangkat bahu, kemudian bersiap untuk berangkat ke kuliah menggunakan mobil sendiri dari pemberian ayahnya saat ulang tahun, tahun kemarin.
"Sarah tidak tahu, kenapa Kakak tidak bertanya langsung saja pada orangnya? Bukankah dia itu, calon suami, Kakak nantinya?" ujar Sarah berlalu masuk ke mobil, kemudian menghidupkan mesin mobilnya.
Rachel tidak menjawab ujaran dari adiknya. Ada benarnya di maksud oleh adiknya tadi, kenapa dia tidak bertanya langsung pada orangnya?
"Di lain waktu aku akan bertanya padanya," gumam Rachel kembali masuk ke rumah.
Setelah menjauh dari rumah kediamannya, sebuah deringan ponsel milik Sarah berbunyi. Dengan otomatis yang telah canggih, bluetooth. Sarah sekali menekan bagian hubungan ponselnya.
"Halo, Baby, kau sudah bangun?" Suara parau dan basah, seseorang yang selalu memanggil nama Baby, hanya satu, yaitu Roy.
Sarah mendengus, tak akan ada akhirnya Roy mengganggu hidupnya. Tetapi Sarah menyukainya, meskipun Roy selalu berikan terbaik padanya.
"Hm," sahutnya.
"Ada apa dengan jawabanmu? Kau marah? Karena tidak bisa memuaskan mu?"
"Please, Om! Aku sedang mengemudi, jangan mengganggu konsentrasi ku di jalan!" sanggah Sarah sebal. Selalu saja pertanyaan pria bertato itu tidak memikirkan tempat.
"Hahaha, aku hanya penasaran dengan jawaban mu, aku tahu kau kecewa soal semalam, kau tentu tahu, maksud ku melakukan itu. Aku ingin sekali menikahimu, sayangnya ...."
"Lain waktu pembahasan itu, Om. Aku harus masuk kelas, sudah tidak ada waktu lagi untuk berbasa-basi, bye!"
Sarah mematikan panggilan telepon dari Roy. Ya, hanya Sarah seorang bisa melakukan itu sebelum percakapan telepon selesai.
"Sarah!"
Teman-teman Sarah menyapanya setelah tiba di kampus. Sarah menyambut penuh senyuman manis, mereka pun meninggalkan parkiran ke kelas.
****
Ayo Guys! berikan komentar kalian. Aku yakin kalian suka cerita ini! hehehe.