Bab 4. Usaha Pertama Arista

1288 Words
Arka berlari keluar dari pintu lift apartemen Arista. Jantungnya berdegup kencang. Bayangan kejadian buruk yang mungkin menimpa Arista terus berkelebat. Membuatnya semakin kencang memacu langkah kakinya. “Arista!” pekiknya panik begitu tiba di pintu apartemen yang kebetulan terbuka. Meski Arista sudah menyebutkan nomor unit apartemennya tadi, ia hanya ingat letak lantainya saja. Pikirannya kalut sekali. “Aaaarkh! Pergi! Pergi!” Suara teriakan Arista terdengar. Maka segera saja Arka melangkah masuk. “Arista?!” “Pak Arka!” Arista sedang berdiri di ruang tengah dengan sebuah sapu di tangan. Wanita itu segera berhambur memeluk Arka, melemparkan sapunya entah ke mana. “Kamu nggak apa-apa?” tanya Arka khawatir. Ia mengusap punggung Arista pelan, sembari matanya nyalang mencari sosok yang membuat sang dara ketakutan. “Pak, usirkan!” rengek Arista di d**a Arka. “Iya, tapi apa yang harus saya usir?” Arka sudah menyisir seluruh ruangan dengan tatapannya, tapi nihil. Tak ada tanda-tanda penyusup atau sejenisnya. “Itu, di atas sana!” Arista menunjuk ke langit-langit. Arka mengikuti arah telunjuk wanita di pelukannya dan mendapati seekor burung merpati bertengger di pipa panjang tempat gorden tergantung. “Burung merpati?” Mau tak mau, keningnya mengenyit bingung. Arista mengangguk pelan. Wajahnya pias, benar-benar ketakutan. “Kamu takut sama burung, Ta?” tanya Arka tak percaya. “Iya, Pak. Takut banget. Mending saya ketemu ular atau buaya deh daripada burung merpati.” Arista semakin mengeratkan pelukan. Ia bahkan menyembunyikan wajahnya di d**a Arka. “Ha … hahaha!” Sontak tawa Arka meledak. Arista mendongak demi mendengar suara tawa pria itu. Bahkan tubuh atletis Arka sudah bergoncang-goncang karena tak bisa menahan tawa. “Kok ketawa sih, Pak? Saya beneran takut, loh!” protesnya tak terima. Bukannya mengusir burung merpati itu, Arka justru merengkuh tubuh Arista semakin dalam ke pelukannya. Ia menghela nafas panjang lalu berbisik pelan. “Saya khawatir banget tadi, Ta. Takut sekali kalau apa yang diperingatkan eyang Ni dan mama langsung kejadian.” Arista tak menjawab, ia hanya tersenyum dan menyandarkan kepalanya di d**a bidang Arka. Ternyata dipeluk begini terasa nyaman sekali. Ketakutannya langsung menguap. Apalagi wangi cedarwood yang menguar dari tubuh Arka sangat memanjakan penciumannya. “Ta,” panggil Arka lembut setelah mereka berpelukan cukup lama. “Hm?” “Mau sampai kapan begini? Burung merpatinya nggak usah diusir?” “Eeeh!!!” Arista berseru panik, matanya melotot ngeri. Baru sadar masih ada burung merpati menyaksikan kemesraan mereka. “Usirkan, Pak. Tolong!” Arka terkekeh, melonggarkan pelukan. “Lepas dulu, biar saya usirkan.” Arista menurut, ia beringsut ke ujung ruangan yang bersebrangan dengan burung merpati itu. Meringkuk takut, menutupi kepalanya seolah burung merpati itu bisa mematuk kepalanya kapan saja. Beberapa menit berselang, terdengar suara jendela tertutup. Arka mendekati sang dara yang masih meringkuk. Berjongkok di dekatnya. “Sudah pergi, Ta.” “Betulan, Pak?” Arsita mendongakkan kepalanya sedikit, mengintip sekitar. “Iya, beneran.” “Haaaah ….” Arista terduduk di lantai dengan helaan nafas panjang yang lega. “Makasih banyak, Pak. Maaf saya asal telepon aja, soalnya temen saya yang tinggal di depan belum pulang.” “Nggak apa-apa.” Arka bangkit berdiri. “Mau ke mana?” tanya Arista bingung. “Pulang? Apa lagi?” “Nggak mau minum teh dulu? Sebagai imbalan Bapak sudah bantuin saya.” Arista menawarkan. “Kalau bicara soal bantuan, kayaknya kamu yang paling banyak bantuin saya, Ta.” Arka mengulurkan tangan, membantu Arista berdiri. Lalu pegangan tangan mereka terlepas karena ponsel Arka berdering. “Halo, Pa? Ada apa?” Arista memilih untuk membersihkan ruang tengah dari bekas-bekas pertikaiannya dengan si burung merpati tadi sembari menunggu Arka selesai menelepon. “Oh, bisa bisa. Jam 7 ‘kan?” Suara Arka terdengar lagi setelah beberapa detik diam mendengarkan. “Harus sama Arista?” Arista terhenyak begitu namanya disebut, menoleh dan tatapan mereka bersirobok. Ia bertanya lewat sorot matanya, tapi Arka hanya memberi isyarat ‘tunggu’ dengan tangannya. “Oke, Pa. Bisa. Iya, sampai ketemu besok, Pa.” Arista mendekat setelah Arka menutup sambungan telepon. “Ada apa, Pak?” “Besok ikut saya main golf sama papa dan om Hardi. Jam 7, kamu bisa?” Arista menarik nafas dalam, kemudian mengangguk. “Wah, ternyata udah dimulai nih drama keluarga kaya.” *** Arista sudah keluar dari apartemennya bahkan sebelum matahari terbit. “Mau ke mana, Ris? Ini masih pagi banget. Gue aja baru mau berangkat jogging,” tanya Nola, sahabat dekat Arista sekaligus tetangga apartemennya. “Diajak pak bos main golf,” jawab Arista singkat. Ia memeriksa kembali barang bawaannya, memastikan tidak ada yang tertinggal. “Wah, kencankah?” goda Nola. Arista memutar bola matanya malas. “Gue sih, ngarepnya gitu. Tapi ini sama Bos Besar, Sis!” “Hahaha.” Sebenarnya Arista belum menceritakan apapun soal sandiwara yang sedang ia jalani dengan Arka. Belum, belum saatnya. Nanti saja ketika keluarga Arka sudah merestui mereka. Karena jika sandiwara ini terus berlanjut hingga pertunangan, ia tak mungkin bisa menutupinya dari Nola. “Eh, jangan tutup pintu dulu!” Arista menahan tangan Nola yang hendak menutup pintu. Nola mengernyit. “Kenapa?” “Nih!” Arista mengangsurkan sebuah kotak kue kecil pada sahabatnya itu. “Gue bikin kue tadi pagi.” Kedua mata Nola membulat. “Wow! Chef Arista is back, huh? Dalam rangka apa nih bikin kue segala?” “Dalam rangka mau memikat hati calon eyang mertua gue.” “Siapa?” “Nanti juga lo tahu,” ucap Arista sambil berlalu pergi. Nola buru-buru meletakkan kotak kue di dalam apartemennya dan mengejar sahabatnya yang sudah mencapai lift. Sayangnya, kecepatan kaki Nola tidak dapat menandingi kecepatan pintu lift untuk menutup. Dan berakhir menggerutu kesal karena ditinggal begitu saja. Tadinya Arista akan berangkat ke lapangan golf dijemput oleh Arka, tapi semalam ia menolak karena hari ini Arista berencana mengunjungi kediaman eyang Ni lebih dulu. Maka, sesaat setelah matahari menampakkan wujudnya, Arista sudah tiba di halaman luas rumah eyang Ni. Arista tersenyum manis begitu mendapati wanita yang tetap berkharisma di usia lanjut itu duduk di teras rumah. “Selamat pagi, Eyang,” sapanya ramah. Senyum sama sekali tak lepas dari wajahnya. Eyang Ni merengut, tampak tak senang dengan kedatangan Arista. “Aku tidak ingat pernah mengundangmu ke sini sepagi ini.” “Memang tidak, Eyang. Kebetulan saya bikin kue putu ayu semalam sepulang dari sini dan sengaja saya sisihkan untuk Eyang.” Arista meletakkan kotak kue berukuran sedang di meja kayu bulat. “Pas sekali dinikmati bersama segelas teh hangat, Eyang,” imbuhnya ketika mendapati gelas teh milik eyang Ni masih mengepulkan asap. “Kue putu ayu?” alis Eyang Ni yang memutih terangkat, wajahnya terlihat sedikit tertarik. “Kamu bisa buat sendiri?” “Iya, Eyang. Dulu di panti asuhan kami belajar banyak keahlian. Nah, kebetulan saya mengambil kelas membuat kue. Salah satu kue yang diajarkan ini, Eyang.” Eyang Ni mengintip isi kotak yang dibuka Arista barusan, kemudian mengangguk-angguk. Arista tahu dari asisten rumah tangga eyang Ni bahwa nenek Arka itu menyukai kue-kue tradisional. Karena itu, meski ia bisa membuat kue-kue modern dengan lebih baik, Arista lebih memilih membawakan kue tradisional untuk eyang Ni. “Ya sudah, letakkan di situ saja.” “Baik, Eyang. Kalau begitu, saya pamit.” Arista mencium punggung tangan eyang Ni takzim. “Arista.” Panggilan Eyang Ni menahan langkah kaki Arista yang hendak menuruni tangga. “Kenapa, Eyang?” tanyanya seraya membalikkan badan. “Ini sogokan ‘kan? Supaya aku merestui hubunganmu dengan Arka?” tebak eyang Ni telak. Arista tertawa pelan. “Betul sekali, Eyang. Jadi Eyang siap-siap ya karena saya bakal sering berkunjung ke sini. Mungkin saya nggak bisa memberi sesuatu yang mahal karena nggak ada yang nggak bisa Eyang beli, tapi bukankah sesuatu yang dibuat dengan tangan sendiri akan terasa lebih berharga?” ucapnya retoris. Membuat eyang Ni tak kuasa menahan kekehannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD