Rupanya golf hanya dijadikan alasan oleh Hardiyanto. Tujuan utamanya adalah untuk mengonfirmasi foto yang ditunjukkan Lia padanya semalam. Dan benar saja, pagi ini ia melihat dengan mata kepalanya sendiri Arka membawa serta seorang wanita yang tidak lain dan tidak bukan adalah sekretarisnya sendiri. Maka benarlah dugaan putrinya semalam.
“Sejak kapan kau menjalin hubungan dengan Arka?” Hardiyanto bertanya ketika ia beristirahat sejenak usai memukul hampir sepuluh bola golf. Membiarkan Arka dan Yaksa bertanding berdua.
“Sejak … enam bulan lalu.”
“Tapi kenapa kau tidak pernah dikenalkan ke keluarga Arka? Kenapa baru sekarang?” cecar Hardiyanto, antara penasaran dan tak terima putrinya harus berebut posisi dengan wanita yang menurutnya berada di level rendah.
“Kami berencana akan mengumumkan hubungan kami keluarga beberapa bulan lagi, setelah kami sama-sama siap untuk melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius. Tapi karena berita perjodohan itu rilis lebih dulu, jadi ya mau tidak mau kami juga membuka hubungan kami.” Arista beringsut sejenak, menatap Hardiyanto berani. “Tapi saya harus berterima kasih pada Anda.” Seringai tipis muncul di bibir mungilnya.
“Untuk apa?”
“Karena berkat kecerobohan Anda merilis berita itu, hubungan kami jadi selangkah lebih maju.”
Hardiyanto menggeram, kesal bukan main. “Berapa yang kau butuhkan?”
“Hm? Apa maksud Anda, Pak?” Arista mengernyit tak mengerti.
“Aku akan memberimu berapapun asal kau tinggalkan Arka!”
Lengang sejenak. Hanya terdengar suara seruan Arka pelan karena berhasil memukul bola tepat sasaran.
“Wah, apa Anda sedang menyontoh salah satu adegan sinetron, Pak?”
“Jawab aku, Arista!” Hardiyanto menggebrak meja yang memisahkan dirinya dan Arista.
“Berapa, ya?” Arista pura-pura berpikir. Sama sekali tak memedulikan raut wajah pria di sebelahnya yang sudah merah padam oleh amarah. “Kalau salah satu cabang bisnis milik Anda, bagaimana?” tanyanya berani.
Hardiyanto naik pitam. “Kurang ajar!” tangannya sudah terangkat tinggi-tinggi, siap mendaratkan tamparan.
“Om Hardi!” Arka berteriak marah sambil berlari kencang. Sejak tadi ia sudah memperhatikan ada yang tak beres dengan obrolan Hardiyanto dan kekasihnya. “Apa-apaan ini, Om?” ia segera memasang badan di hadapan Arista yang menunduk takut.
“Tinggalkan dia, Arka! Dia pasti hanya akan mengeruk harta keluargamu saja!” Hardi menunjuk-nunjuk Arista yang bersembunyi di balik punggung Arka.
“Apa hak Anda menuduh pacar saya begitu?” Arka balas berseru.
“Kau … kau menyia-nyiakan Lia hanya untuk wanita matre seperti dia, hah?!”
Arka melirik wanita di balik punggungnya. Sedikit bertanya-tanya mengapa sejak tadi Hardi menuduh Arista demikian. Tapi mereka tak punya waktu. Tak ada untungnya meladeni kemarahan Hardiyanto.
“Om ingin sekali berbesan dengan keluarga saya?” tantang Arka. “Kalau iya, papa masih punya satu anak laki-laki lagi. Jodohkan saja dengan dia. Lagipula Lia dan Arya hanya terpaut satu tahun. Mereka pasti lebih bisa saling mengimbangi. Daripada dengan saya yang berjarak delapan tahun, Lia nggak akan bisa mengikuti ritme hidup saya.”
“Sekarang kau meremehkan putriku?!” Hardi melotot marah. Urat lehernya terlihat jelas ketika berteriak.
“Hardiyanto!” tegur Yaksa yang baru saja menyusul. “Ini tempat umum. Jangan mempermalukan diri sendiri dengan bertengkar di sini.”
Hardi mendengus kesal, berpaling.
“Kalian … pergilah! Permainan golf hari ini sudah selesai.”
“Terima kasih, Pa.” Arka mengangguk sopan pada papanya, menggamit tangan Arista dan segera meninggalkan lokasi.
“Kenapa kau membela mereka, Yaksa?! Bukankah kau juga tidak setuju dengan perempuan itu, hah?!” kini giliran Yaksa yang menjadi sasaran amarah Hardiyanto.
Yaksa menghela nafas pendek. “Aku tidak membela mereka. Aku hanya menghindari adanya berita buruk. Apalagi kamu tidak mungkin mau mengalah pergi, ‘kan?”
Hardiyanto tak menjawab, tapi dengusan pendek darinya sudah cukup sebagai jawaban.
“Aku setuju dengan Arka,” ucap Yaksa tiba-tiba. “Tujuan awal dari perjodohan Arka dan Lia adalah supaya kita bisa berbesan, mendekatkan hubungan. Kalau Arka tidak mau, kenapa tidak kita coba dengan Arya?”
Hardiyanto terdiam sejenak. “Tidak,” desisnya geram. “Sampai aku bisa memberi hukuman setimpal pada anakmu karena telah menginjak-injak harga diri keluargaku!”
***
Pukul 08.30 pagi, Arista sudah berlari kecil di lorong sebuah apartemen elit. Pakaian golfnya sudah berganti dengan blus putih yang dipadukan dengan celana kain berwarna dusty pink. Di pundaknya tersampir sebuah tote bag berwarna cokelat tua yang tampak penuh.
Arista berdehem pelan ketika tiba di depan sebuah pintu unit apartemen, merapikan diri sekali lagi kemudian menekan bel.
Tak butuh waktu lama, pintu di hadapan Arista terbuka. Kepala Arka menyembul dari baliknya.
“Sudah datang?” Arka membuka pintu lebih lebar begitu melihat sekretarisnya berdiri di depan pintu. “Cepet masuk!”
Lima belas menit lalu, Arka meneleponnya untuk membawakan dasi dan jam tangannya yang berada di kediaman orang tuanya. Sepulang dari bermain golf dan mengantarkan Arista, Arka memilih bersiap-siap di apartemennya alih-alih kembali ke rumah karena jarak tempuhnya lebih dekat. Tapi ia lupa bahwa apartemennya itu jarang disinggahi sehingga hanya sedikit barangnya yang ada di sana.
“Sepertinya sepulang kerja nanti saya akan memindahkan sedikit aksesoris Bapak ke sini,” ujar Arista sambil membantu Arka bersiap-siap.
Pria bertubuh atletis itu sudah mengenakan kemeja, celana, dan sepatu. Sementara Arista memakaian dasi, ia sendiri sedang memakai jam tangan di pergelangan tangan kanannya.
“Hm, ya. Lakukan saja,” sahut Arka setuju.
“Kalau Bapak berniat sering singgah ke sini, saya juga akan mengisi kulkas dengan beberapa makanan. Bapak belum sarapan ‘kan?” tanya Arista, melirik Arka yang berada tepat di hadapannya.
Sepasang pria dan wanita itu menahan nafas ketika tatapan mereka beradu. Jarak mereka cukup dekat sehingga Arista bisa mencium bau tubuh Arka yang segar sehabis mandi berpadu dengan parfum beraroma cedarwood yang hangat.
Arista menelan ludah, tangannya masih bergerak memasang dasi, tapi tatapannya tak bisa beralih. Seolah tersihir oleh sorot mata tajam bosnya.
“Saya … suka aroma parfum Anda, Pak.” Entah ide dari mana, kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya.
Arka menaikkan sebelah alisnya, tersenyum tipis. “Begitu?” tatapannya turun ke bibir mungil wanita di hadapannya. “Kalau saya suka warna lipstikmu.”
Tanpa sadar, Arista justru menggigit bibirnya. Jantungnya berdegup tiga kali lipat lebih kencang. Mendadak, atmosfer di walk in closet bernuansa abu tua itu memanas.
Beruntung, dasi Arka sudah sempurna terpasang. Arista segera mundur, berdehem beberapa kali. Mengusir canggung yang tiba-tiba menyergap.
“Tolong pakaikan jas saya,” perintah Arka tiba-tiba.
“Apa, Pak?” Arista melongo. Sepertinya ia belum sempurna tersadar dari feromon Arka yang ternyata sangat memabukkan itu.
“Pakaikan jas saya, Ta.”
“Me-memangnya Pak Arka nggak bisa pasang sendiri?” tolaknya. Ia tak yakin dirinya masih kuat menahan diri jika harus kembali berdekatan dengan Arka.
Arka masih tersenyum tipis, menatap Arista tak berkedip. “Nggak bisa. Tolong pasangkan, Arista.”
Arista mengangguk ragu, tapi kakinya beranjak juga. Mengambil sebuah jas berwarna navy dan mendekati Arka. Ia menarik nafas dalam, berdiri di belakang punggung bidang atasannya. Memasangkan satu persatu lengan jas mahal itu. Lalu, ketika ia pikir tugasnya sudah selesai, Arka justru berbalik. Membuat keduanya saling berhadapan dalam jarak dekat.
“Pak?” pekik Arista tertahan.
Arka tak menjawab, senyumnya masih tersemat di wajah tampannya. Sementara lengan kekarnya mengurung pinggang ramping Arista, membuat wanita itu tak bisa bergerak menjauh.
“Saya sudah bilang, saya suka warna lipstikmu.”
Suara bas Arka membelai pendengaran Arista, membuatnya tersihir. Lantas, sepersekian detik berikutnya, sebuah kecupan sudah mendarat di bibir mungil berbalut lipstik warna pink itu. Sekilas saja. Tapi cukup membuat Arista mematung. Bahkan, bernafas pun tak mampu.
“Ah, ternyata saya juga suka tekstur bibirmu,” ucap Arka santai. Lalu melenggang ke luar ruangan. Meninggalkan Arista yang terduduk di lantai karena kakinya seperti mati rasa.
“Hah! Mati gue!”