Arista tidak ingat bagaimana ia bisa tiba di kantor bahkan memandu berjalannya rapat evaluasi dengan lancar. Pikirannya benar-benar kacau setelah insiden tadi pagi. Rasa hangat dan lembut bibir Arka masih terasa nyata menyentuh bibirnya.
“Aaarkh!” jerit Arista frustasi. Menghalau bayangan kejadian tadi pagi dari kepalanya. Beruntung ia sedang sendirian di pantry.
“Kenapa, Ta?” tegur seorang pria yang tiba-tiba masuk ke pantry.
“Eh!" Arista segera memperbaiki ekspresinya. “Mumet aja habis rapat. Banyak banget masalah.” Ia pura-pura mendengus sebal.
Radi, salah satu staf administrasi yang baru saja masuk itu terkekeh. Ia berdiri di sebelah Arista. Mengaduk kopi instan miliknya.
Arista berbalik, bersandar pada counter table lalu mendekatkan gelas berisi kopi ke wajahnya. Menghirup aroma kopi yang menenangkan. Benar, keputusannya untuk membuat kopi sangat tepat. Hanya dengan menghirup aroma khas dan menyesap sedikit, sudah mampu membuatnya sedikit lebih rileks.
“Masalah apa tadi yang dibahas?” tanya Radi. Ikut berbalik dan menikmati kopinya.
Arista menghela nafas pendek. “Lo tahu ‘kan makin lama di sekitar hotel kita makin banyak rumah makan, café, bahkan restoran baru yang buka. Nah, itu bikin penjualan di restoran hotel kita menurun. Banyak tamu hotel yang lebih memilih makan di luar daripada di restoran kita. Gara-gara itu, pak Arka nugasin tim pemasaran buat nyelesaikan masalah itu. Dan ya, seperti biasa, gue harus selalu kasih laporan secara berkala gimana kemajuan kinerja tim pemasaran.”
Radi tersenyum, senyuman hangat yang selalu mencerahkan Divisi Administrasi. Pasalnya Radi punya eye smile yang lucu. “Semangat, ya, Ta!” ucapnya tulus.
Arista mengangguk. “Thanks!”
“Mbak Arista!” Seorang wanita tiba-tiba menyembulkan kepala di pintu pantry.
“Ya? Ada apa?” Arista yang merasa dipanggil segera menghampiri.
“Dipanggil pak Arka sekarang.”
“Sekarang banget?” Arista menaikkan alis.
“Iya! Diminta bawa hasil notulen rapat tadi.”
“Mampus! Belum gue print!”
Arista meneguk kopinya sejenak, meninggalkannya di atas meja, lantas berjalan cepat ke luar pantry. Meninggalkan Radi yang termenung menatap pintu. Wajahnya terlihat sendu, senyum tipis yang biasanya terkesan manis dan hangat itu entah kenapa kini tampak masam.
***
“Ini, Pak.” Arista menyerahkan dokumen yang diminta Arka. Mengatur nafasnya yang sedikit terengah.
“Kamu kenapa, Ta?” tanya Arka tanpa menoleh.
“Tadi buru-buru ke sininya. Jadi rada ngos-ngosan.” Arista nyengir, tentu saja Arka tak melihatnya.
“Kenapa buru-buru?”
“Ya, takutnya Bapak butuh segera hasil notulennya. Biar nggak nunggu lama gitu.”
“Oh, kirain.”
Arista mengernyit. “Kirain apa, Pak?”
Entah sengaja atau tidak, tiba-tiba Arka menyentuh bibirnya sambil fokus membaca kertas di tangannya. Seolah menggoda Arista. Wanita itu sontak melotot, buru-buru membuang muka. Kini pipinya terasa memanas.
“Kamu awasi terus pekerjaan mereka, ya, Ta.” Arka meletakkan kertas ke atas meja, beralih menatap sekretarisnya. “Saya mau paling nggak dua hari lagi sudah ada konsep marketing yang bisa dieksekusi.”
“Dua hari, Pak?” tanya Arista memastikan.
Arka mengangguk tegas. “Iya, dua hari. Masa nggak cukup?”
“Baik, Pak. Saya sampaikan ke tim pemasaran.”
Arista hendak pamit undur diri ketika ponsel Arka berdering. Ia jadi urung berpamitan dan memilih menunggu hingga bosnya itu selesai menelepon.
“Halo, Ma. Ada apa?”
Rupanya itu telepon dari Dewi. “Kosongkan jadwal nanti malam, ya?” tanyanya dari seberang telepon.
Arka menoleh ke Arista yang masih berdiri, bertanya tentang jadwalnya nanti malam melalui gerakan mulut tanpa suara. Arista cepat tanggap, segera memeriksa tablet yang senantiasa ia bawa. Lantas menggeleng tegas, isyarat bahwa tak ada jadwal nanti malam.
“Arka kosong nanti malam. Ada apa, Ma?”
“Makan malam di rumah eyang Ni, ya? Jangan sampai telat. Jam tujuh sudah harus kumpul di sana semua.”
“Oke. Arka perlu bawa sesuatu?”
“Nggak perlu. Bawa aja penjelasan soal usulanmu di lapangan golf tadi pagi,” tegas Dewi.
Arka tersenyum, mengusap bibirnya cepat. Sayangnya, gerakan natural tanpa maksud apapun itu justru membuat Arista yang sejak tadi memperhatikan bersemu merah. Pikirannya benar-benar dipenuhi oleh kejadian tadi pagi. Dan ia sedikit kesal karena Arka bersikap seolah tak pernah terjadi apapun di antara mereka.
Arka menutup sambungan telepon, kembali ke pekerjaannya. Dan ia menyadari bahwa Arista masih di sana.
“Kenapa masih di sini, Ta? Ada yang mau kamu bicarakan?”
Arista terhenyak. “Eh?!”
Arka menaikkan sebelah alisnya, menunggu.
“Nanti malam Pak Arka mau ke rumah eyang Ni?” tanyanya basa-basi. Ia mendengar percakapan Arka tadi. Ia hanya tak ingin segera pergi dari ruangan itu.
“Iya.”
“Mau berangkat dari sini atau dari rumah, Pak?”
“Hm, mungkin dari sini. Kenapa?” Arka menghentikan gerakan tangannya yang menulis di atas kertas, beralih menatap Arista.
Arista tampak berpikir sejenak. “Mau saya siapkan baju ganti? Mungkin Pak Arka mau mandi dulu di sini sebelum berangkat,” ucapnya asal.
Arka tersenyum tipis, memangku dagu dengan kedua tangan. Sementara tatapannya terkunci pada wajah cantik sekretarisnya. Ah, Arka baru sadar, Arista memang cantik. Mata bulat dengan iris berwarna cokelat, hidung ramping yang mancung, dan bibir merah muda yang mungil. Semuanya dibingkai oleh fitur wajah bulat telur yang indah.
“Sejak kapan saya mandi di kantor sebelum pergi?” sindirnya sambil menyeringai.
“Eh? Ah, maaf. Sepertinya saya kurang fokus.”
Arista membuang pandang ke lemari kayu di belakang Arka. Ia lupa bahwa Arka tak pernah melakukan hal selain pekerjaan di sini. Selarut apapun pekerjaannya selesai, Arka tak pernah menggunakan kamar mandi pribadi di ruangannya untuk mandi.
Arka berdiri, berjalan mendekati Arista yang menelan ludah dengan gugup. Tatapannya berubah intens.
“Atau, kamu mau bikin saya mandi di sini?” bisiknya dengan suara basnya yang rendah.
Arista merinding, telinga dan pipinya memerah. “Maksudnya, Pak?”
Arka mengedikkan bahu santai. “Sesuatu yang mungkin lebih jauh dari yang tadi pagi?”
Wanita bermata cokelat itu mendelik. Wajahnya memanas, dadanya berdebar tak karuan, sementara perutnya terasa geli. Situasi ini membuatnya kehilangan kendali.
“Ah, saya kira Pak Arka lupa soal tadi pagi,” celetuknya tanpa pikir panjang. Ia bahkan berani membalas tatapan bosnya.
Arka menyeringai. Ia merangsek maju. Berdiri setengah langkah di hadapan wanita yang lebih pendek darinya itu. Arka baru menyadari, ia suka raut wajah Arista ketika pipinya dihiasi rona kemerahan. Wanita itu jadi terlihat sangat menggemaskan.
Ruangan besar itu senyap. Arista sampai bisa mendengar suara jantungnya yang belingsatan. Atmosfer di antara keduanya memanas. Wanita itu menggigit bibir yang justru menggelitik sesuatu di dalam diri Arka.
“Agak lupa sebenarnya,” lirih Arka dengan nafas sedikit terengah. “Mungkin bisa kita ulangi supaya saya ingat.”
Tiba-tiba, pintu ruangan Arka terbuka. Menampilkan sosok Emir, manajer pengembangan hotel sekaligus sahabat Arka yang mendelik menatap Arka dan Arista yang berdiri nyaris menempel.
“Kalian ngapain?” tanyanya polos.
Arista melangkah mundur, berdehem pelan lantas cepat-cepat berpamitan. Mengangguk sopan ketika melewati Emir dan wusss… secepat kilat menghilang dari pandangan dua pria itu.
Arka kembali ke kursinya, sementara Emir melangkah masuk. Menatap sahabatnya penuh curiga. “Lo ngapain tadi?”
Arka tak menggubris, kembali sibuk bekerja.
“Woy! Gue transparankah?” protes Emir sambil melambaikan tangan tepat di depan wajah Arka.
“Lo ngapain ke sini?” tanya Arka datar.
“Wah! Lo mau berbuat m***m tadi, ya?”
“Cepetan, gue sibuk! Lo mau ngapain?”
Sama halnya Arka, Emir juga tak peduli dengan pertanyaan sahabatnya. “Jangan bilang … lo nolak dijodohin sama Lia karena lo sama Arista ada hubungan?”
Arka mendengus, tak menanggapi sama sekali.
“Jadi beneran, Ka? Lo mau jadiin Arista istri?!” serunya tak percaya. Ia bahkan sampai menggebrak meja Arka.
Pria berhidung mancung itu menoleh, menatap Emir. “Hm, kalau iya kenapa?”
“Kalau iya … gue yang seneng, Ka. Akhirnya lo berhasil move on.”