Bab 7. Syarat dari Eyang Ni

1234 Words
“Pak, ini kenapa jadinya saya ikut?” protes Arista. Setengah jam lalu, Arka meminta Arista ikut ke rumah Eyang Ni untuk makan malam. Tentu saja Arista tidak bisa menolak. Karena mau alasan apapun, selama itu masih hari kerja, Arista masih punya kewajiban untuk menuruti perintah atasannya. “Terus, kenapa saya perlu ganti baju begini? Dandan begini?” Arista menatap pantulan dirinya di kaca spion mobil. “Pak, coba jelaskan dulu!” Ya, pakaian kerja Arista sudah berganti menjadi gaun mini dress berwarna biru muda dengan detail brukat indah di sekitar leher dan lengan. Sepatu berhak rendah yang ia pakai sepanjang hari tadi juga sudah berubah menjadi ankle strap heels berwarna senada dengan hak setinggi 5 cm. Membuat siluet kaki jenjangnya tampak semakin indah. Arka menoleh sekilas, lalu melirik jam di pergelangan tangannya. “Kita hanya punya waktu sepuluh menit sebelum jam tujuh malam.” Arista tersenyum masam. “Baik, Pak.” Di kursi kemudi, Arka tersenyum tipis melihat eksresi sekretarisnya yang tampak campur aduk. Tapi ia pikir perlu melakukan ini. “Kamu cantik, Ta,” celetuknya tiba-tiba. “Eh?!” Arista melotot. “Apa, Pak?” “Kamu cantik.” Arista terdiam, tapi jantungnya tidak. Salah satu organ paling penting di tubuhnya itu kini sedang berdegup kencang tak karuan. Bersamaan dengan semburat merah yang muncul di pipi pualam wanita itu. Ia tak menyangka akan diserang secara terang-terangan begini. “Kayaknya selama empat tahun kerja bareng Bapak, baru kali ini saya dipuji cantik,” ucapnya berani. Arka tertawa pelan. “Saya cuma baru menyadarinya aja.” “Sebelum ini gimana?” “Sebelum ini…” Arka menjeda kalimatnya. Menurunkan kecepatan mobil karena sudah memasuki halaman rumah Eyang Ni. Kalimat itu masih menggantung hingga mobil Chevrolet Corvette merah yang dikendarainya terparkir di depan sebuah rumah yang didominasi warna cokelat. Arka melepas sabuk pengamannya, lalu mendekat ke arah Arista dengan cepat. Hingga membuat wanita itu menahan nafas karena jarak mereka terlalu dekat. “Sebelum ini kecantikan kamu sedikit tertutupi oleh kinerja kamu yang luar biasa.” Arka menyeringai di ujung kalimatnya. Arista menelan ludah. Bukan main gugupnya. Berada dalam jarak sedekat ini membuatnya bisa melihat dengan jelas iris mata kecokelatan milik Arka yang tengah menatapnya lekat. Perlahan, mata tajam pria itu bergerak turun. Terkunci pada bibir mungil Arista. “Saya juga suka warna lipstik yang ini.” Arka mengusap lembut bibir Arista dengan jemarinya. Membuat sang dara menegang di tempatnya. Tidak, ia tidak akan mengacaukan riasan wanita itu sekarang. Meski tentu saja nalurinya berkata lain. Maka pria itu tetap mundur. Membuat Arista akhirnya bisa bernafas lega. Arka tersenyum ketika mengulurkan tangannya pada Arista, mengajak wanita itu masuk ke rumah Eyang Ni sambil bergandengan tangan. “Sepertinya benar kata Emir, aku sudah move on.” *** “Memangnya Arya mau?” tanya Dewi dengan alis bertaut. “Nanti kayak Arka, tiba-tiba udah bawa pacar,” sindirnya ketus. Benar, makan malam ini diadakan darurat untuk membahas usulan Arka terkait rencana perjodohan Arya dan Lia. Entahlah, mereka suka sekali menjodoh-jodohkan anak-anak mereka. “Tawarkan saja. Mereka seumuran, aku lebih setuju begitu.” Eyang Ni berkomentar sambil menyomot emping melinjo yang terhidang di atas meja. “Mama, sudah cukup empingnya,” tegur Dewi seketika. “Nanti asam uratnya kambuh loh.” Eyang Ni berdecak kesal, meletakkan kembali emping melinjonya. Sedangkan Arista yang duduk di hadapan Dewi mengangguk-angguk, mencatat baik-baik informasi barusan. Eyang Ni punya asam urat. “Suruh anak itu pulang!” perintah Eyang Ni setelah meneguk segelas air. Ia terlihat kesal, entah kesal karena dilarang makan emping melinjo atau kesal karena cucunya tidak pernah pulang sejak dikirim belajar ke luar negri. “Mana ada anak kuliah nggak pulang sampai hampir lima tahun begini? Ngapain di sana? Nggak mungkin belajar terus. Memangnya dia nggak kangen keluarganya? Nggak cukup kalau cuma lewat video call itu!” omelnya panjang lebar. “Arya sedang menyelesaikan kuliah magister keduanya, Ma. Karena itu dia belum bisa pulang. Bantu doakan supaya dia bisa wisuda tahun ini.” Yaksa menjelaskan dengan lebih baik. Ruang makan lengang sejenak, menyisakan suara piring dan sendok yang beradu. Selama makan malam ini, Arista lebih banyak diam karena merasa ia tak bisa masuk ke dalam obrolan penting keluarga Arka. “Arka,” panggil Yaksa tiba-tiba. Arka mendongak dengan mulut penuh makanan. “Kenapa, Pa?” sahutnya setelah menelan makanannya. “Kenapa kamu membawa Arista ke sini? Dia tidak berhak mendengarkan obrolan penting mala mini, Arka,” tegur Yaksa dengan wajah merengut. “Oh, itu … Eyang Ni yang nyuruh.” Arka melirik Eyang Ni yang masih santai menikmati jeruk keprok manis yang juga terhidang di atas meja. “Mama?!” Yaksa semakin merengut menatap ibunya. “Kenapa? Mama sudah mau menerima dia? Ma, kita belum tahu—“ Eyang Ni mengangat sebelah tangannya, menghentikan ocehan Yaksa. “Aku mau berterima kasih.” “Untuk apa?” kerutan di antara kedua alisnya tampak semakin dalam. “Ada deh!” Eyang Ni melengos, dan kali ini menatap Arista. “Besok kamu mau bawa apa lagi?” “Hm….” Arista tampak berpikir keras karena ia memang belum menentukan akan membawakan apa untuk Eyang Ni. “Eyang mau apa? Kalau bisa nanti saya buatkan.” “Beneran nih aku yang menentukan?” tanya Eyang tak yakin. “Beneran, Eyang,” sahutnya sambil tersenyum manis. “Aku mau gethuk, kau bisa?” Arista membulatkan bola matanya, menggeleng pelan sembari meringis. Membuat Eyang Ni berdecak kesal. “Ck, ya sudah! Besok terserah mau kamu bawakan apa, tapi gethuk harus ada dalam rencanamu. Jadi, belajarlah untuk membuatnya.” “Kalau saya belikan aja gimana, Eyang?” Arista mencoba menawar. Ia merasa tak sanggup kalau harus menyisihkan waktu untuk belajar membuat kue. Waktunya sudah habis untuk bekerja. “Nggak mau! Kamu sendiri yang bilang, bukankah sesuatu yang dibuat dengan tangan sendiri akan terasa lebih berharga?” Eyang Ni menyeringai, wajahnya terlihat sangat menyebalkan. Wanita berbibir mungil itu tersenyum masam. “Baik, Eyang.” Arista masih mempertahankan senyumnya meski sebenarnya ia sedang menjerit dalam hati. “Aaaargh! Ini kenapa jadinya gue kayak dikerjain, sih?!” *** Sementara itu, di sebuah rumah mewah berjarak belasan kilometer dari kediaman Eyang Ni, Hardiyanto tengah membaca sebuah surel yang dikirimkan padanya beberapa menit lalu. Surel itu berisi jawaban atas permintaannya semalam. Belum juga selesai membaca, ponsel di sebelah komputernya berdering nyaring. “Anda sudah membaca isi email yang saya kirimkan, Pak?” sebuah suara bariton yang amat akrab di telinganya segera menyambut. “Sudah,” jawab Hardi singkat. “Saya minta maaf, itu belum lengkap, Pak. Saya baru saja mendapatkan informasi baru mengenai latar belakang keluarganya. Tapi, saya belum bisa memastikan kebenarannya.” Hardiyanto mengernyit. “Apa susahnya mencari latar belakang keluarga seorang karyawan biasa?” “Saya tidak bisa memastikannya, tapi yang pasti ada seseorang yang sengaja menghapus jejak keluarga Arista, Pak.” Rahang Hardi mengeras. “Baiklah. Lakukan secepatnya.” “Baik, Pak.” “Ah, tidak!” ucap Hardi tiba-tiba. “Tidak usah menunggu informasi itu. Kirimkan saja orang untuk menghabisinya segera!” Tak ada jawaban. “Kau mendengarku? Jangan bilang kau takut!” “Ah, tidak. Saya hanya berpikir, apa tidak terlalu terburu-buru?” “Dia sudah merebut posisi yang seharusnya ditempati anakku! Apanya yang terburu-buru, hah?!” bentaknya geram. “Baik, Pak.” “Lagipula apa sih susahnya menyingkirkan satu perempuan lemah?!” “Baik, Pak. Saya pastikan Anda akan mendengar kabar baiknya sebelum matahari terbit.” Hardiyanto tergelak. “Hahaha, bagus! Semangat seperti itu yang aku suka!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD