Makan malam itu berlangsung lebih lama dari biasanya. Selain membahas soal perjodohan Arya dan Lia, mereka juga membahas rencana terbesar Arka tahun ini. Yaitu membangun cabang hotel Sunflower di kawasan wisata Bandung. Pendapatan hotel yang cukup stabil selama tiga tahun terakhir membuat Yaksa akhirnya menyetujui rencana itu.
Pukul sepuluh malam, mobil Arka masih meluncur di jalanan. Membawa si pemilik dan Arista yang duduk dengan wajah sedikit ditekuk di kursi penumpang.
“Lagian kamu ngapain bawain kue-kue segala? Eyang Ni memang begitu, tengil dan usil. Sifatnya nurun ke Arya.” Arka berkomentar sambil sesekali menoleh. Jalanan di depannya masih cukup ramai meski malam semakin larut.
“Maksud saya ‘kan mau ngambil hati Eyang Ni, Pak. Tapi malah dikerjain gini,” sahut Arista bersungut-sungut yang justru membuat Arka tergelak.
Senyap menghinggapi ruangan mobil itu sekejap setelah tawa Arka reda. Tak ada musik yang terdengar dari speaker mobil. Pun tak ada yang berbicara hingga akhirnya mobil merah itu merapat di depan lobi apartemen Arista.
“Kamu serius sekali dengan hubungan kita, Ta? Ini ‘kan hanya hubungan simbiosis mutualisme. Maksud saya, kalau sampai kamu berhasil ngambil hati Eyang Ni, lalu disuruh menikah dengan saya, kamu mau?” Arka bertanya beruntun setelah mobil sempurna berhenti.
“Kenapa nggak mau? Pak Arka tuh idaman semua wanita loh!”
“Termasuk kamu?”
Arista berpikir sejenak. “Tentu saja!” sahutnya riang.
Arka terbelalak, namun segera tertawa pelan. “Wah, kamu pandai sekali bikin jantung saya nggak aman, Ta,” lirihnya dengan jantung berdegup tak karuan.
“Terima kasih banyak sudah mengantar saya, Pak.” Arista mengangguk sopan sebelum membuka pintu mobil.
Arka mengangguk. Meski sedikit kecewa karena Arista tak menanggapi ucapan lirihnya tadi, tapi ia tak bisa menahannya. Ini sudah larut, mereka butuh istirahat karena besok masih harus bekerja.
Mobil Chevrolet Corvette merah milik Arka kembali membelah jalanan ibukota setelah pengemudinya memastikan Arista sudah benar-benar masuk ke dalam apartemen dengan aman. Pria di belakang kemudi itu menyalakan musik dengan volume rendah, bosan juga berkendara tanpa teman begini. Hingga akhirnya ponsel yang ia tempelkan di dashboard mobil berdering. Menampilkan nama Arista di sana.
Pria itu tersenyum. “Berasa déjà vu.” Ia menekan tombol kecil di handsfree yang terpasang di telinganya. “Halo, Ta? Ada apa?”
“Tolong saya, Pak!” suara bergetar Arista menyambut pendengarannya.
Arka tertawa pelan. “Apa lagi? Burung merpati lagi?” tanyanya santai.
“Tolong, Pak. Cepat! Ini lebih serius!” Arista sudah menangis di ujung telepon. Disusul suara gedoran pintu yang sangat keras dan suara seorang pria berteriak menyuruh keluar.
Arka menegang di tempat. Ia memutar kemudi cepat, menginjak pedal gas dalam-dalam. “Saya ke sana sekarang, Ta.”
***
Beberapa menit sebelumnya, Arista masuk ke unit apartemennya dengan wajah sumringah. Meski lelah, senyumnya terlihat cerah. Tanpa tahu apa yang menanti di balik pintu.
Sepersekian detik setelah menutup pintu, seseorang dengan pakaian serba hitam segera menyergapnya. Mengunci tubuhnya, membekap mulutnya.
“Argh!” jerit Arista tertahan. “Mmmppph!” suaranya teredam tangan orang itu.
Tubuh Arista terangkat oleh lengan kekar yang membekapnya, entah mau dibawa ke mana. Situasi apartemen yang gelap membuat Arista semakin panik. Ia hanya bisa menendang-nendangkan kakinya, berharap bisa terlepas. Lalu, ketika harapan untuk terlepas seakan sirna, tangan Arista yang bebas menyenggol vas bunga. Dengan cepat, ia meraihnya meski gelap.
Arista memukulkan vas itu ke belakang. Pilihannya, mengenai kepala orang yang membekapnya atau justru meleset dan menghantam kepalanya sendiri.
Beruntung, Arista benar-benar beruntung. Vas itu pecah di kepala belakang pelaku. Membuat cengkeramannya terlepas dan Arista berhasil kabur. Wanita bertubuh ramping itu berlari gesit, memasuki salah satu kamar lantas menguncinya dari dalam.
Sambil menangis ketakutan, tangannya yang bergetar menelepon Arka. Satu-satunya orang yang ia pikir bisa menolongnya saat ini.
***
Arka menyelimuti tubuh Arista yang menggigil dengan selimut, merangkulnya lantas membawanya keluar dari unit apartemen yang kini menjadi tempat kejadian perkara. Sepuluh menit lalu ia datang bersama dua orang polisi dan segera meringkus pelaku yang tergeletak dengan luka di kepala di depan pintu kamar tempat Arista bersembunyi. Sepertinya ia masih berusaha mengejar meski sedang terluka. Sementara polisi meringkus pelaku, Arka menerobos ke dalam kamar mencari kekasihnya. Ia tak pernah merasa setakut dan sekhawatir ini sebelumnya.
“Hei, masih kaget?” tanya Arka. Mereka sudah berdiri di lorong.
Arista mengusap wajahnya kasar. Mengangguk pelan.
“Apartmu nggak bisa dipake, malam ini mau tidur di apart saya saja? Atau kamu punya tujuan lain?” tanyanya lembut.
Arista melirik pintu apartemen milik Nola yang ada di hadapannya. Sahabatnya itu malam ini tak pulang ke apartemen, ia menginap di rumah sakit karena neneknya sedang dirawat. Arista menggeleng.
“Ya sudah, kalau gitu ke apart saya aja.”
Arista mengangguk. Membiarkan Arka berpamitan pada para polisi lantas segera turun dan bertolak ke apartemen Arka.
Apartemen mewah itu ternyata sangat luas dan memiliki kesan dingin. Luasnya sekitar empat kali lipat dari apartemen Arista. Desain interior yang dominan berwarna abu-abu membuatnya terkesan semakin dingin. Arista baru menyadari kesunyian apartemen ini meski sudah pernah beberapa kali memasukinya.
“Kamu tunggu di sini, saya pesankan baju--”
“Nggak usah, Pak!” sergah Arista cepat. “Pake baju apa aja yang ada di sini.”
“Begitu? Di sini cuma ada baju-baju saya, loh.”
“Nggak apa-apa.”
Arka terdiam sejenak, kemudian mengangguk. “Oke kalau itu maumu. Ya sudah, saya balik ya?”
“Pak Arka nggak mau nemenin saya di sini?”
Arka mengangkat sebelah alisnya. “Kamu mau ditemenin?”
Arista mengangguk, wajahnya menunduk malu-malu. Membuat Arka gemas.
“Oke, saya temenin. Kamu cari sendiri baju di walk in closet, ya? Saya mau mandi di dalam kamar. Kamu bisa mandi di kamar mandi lantai atas.”
Arista tersenyum, mengangguk mantap. “Makasih, Pak!”
Setengah jam kemudian, Arka lebih dulu selesai mandi. Ia baru saja kembali ruang tengah usai mengambil pesanan makananya. Ia menyalakan televisi sambil menyusun kudapan di atas meja untuk menemaninya berbincang sebentar dengan sekretarisnya. Mungkin percakapan ringan bisa sedikit menenangkan wanita itu.
“Bapak pesen makanan?” Arista turun dari tangga dengan kaos dan celana kebesaran.
“Iya.”
“Buat apa?” ia ikut duduk di sebelah Arka. Wangi segar
“Katanya, makanan manis bisa memperbaiki mood dan bikin rileks. Mungkin kamu butuh?”
Arista terdiam sejenak. “Wah,” gumamnya takjub. “Saya tahu Pak Arka sangat detail, tapi saya nggak tahu kalau Bapak juga sangat perhatian.”
Arka tersenyum. “Mulai sekarang, kamu bisa menikmati perhatian dari saya.”
“Oke!” serunya senang.
Arista mencondongkan tubuhnya, melewati tubuh Arka, hendak menyomot sebuah choco cookies. Namun, tangan kekar Arka lebih dulu meraih pinggangnya, membalikkan tubuhnya, lantas mendudukkannya di atas pangkuan.
Arista menahan nafas, melotot ke arah atasannya. “Bapak ngapain?”
Arka justru memejamkan mata, menghirup nafas dalam-dalam. “Saya nggak tahu kalau aroma sabun mandi saya akan jadi seenak ini kalau bercampur dengan wangi tubuh kamu.”
Arka menarik pinggang ramping Arista mendekat, mengikis jarak di antara mereka. Tatapannya terkunci pada bibir mungil wanita itu.
“Call me ‘sweetheart’ again!” titahnya dengan nafas yang mulai menderu. Terpacu oleh dopamin yang deras mengaliri darahnya.
Arista tersenyum tipis, mendekatkan bibirnya pada telinga Arka, lantas berbisik lembut sembari mendesah pelan.
“Wanna kiss my lips, sweetheart? I know you keep watching them.”
Arka mengabulkan rayuan Arista dalam waktu kurang dari sedetik. Menikmati manis bibir wanita itu, yang baru ia tahu, ternyata sangat adiktif. Membuat ketagihan.
Malam ini, ruang tengah apartemen Arka tak lagi dingin. Atmosfer panas membubung ke langit-langit. Kudapan yang tertata di atas meja tak tersentuh. Sepasang pria dan wanita itu lebih suka saling memakan satu sama lain.