CHAPTER 4

1939 Words
Kepala Axelle kembali menoleh saat suara tepukan riuh para tamu di sekelilingnya. Ia dengan segera menatap ke depan dan matanya semakin melebar saat dengan benar dia melihat Caroline yang tampak cantik dalam balutan gaun merah muda yang ia kenakan. Wajahnya dipoles dengan sentuhan tangan yang profesional dan lihat senyumnya... Masih saja mempesona seperti dulu dan itu membuat kinerja jantung Axelle semakin tidak karuan. Hatinya kembali mendamba dan dia senang karena bisa melihat Caroline setelah sekian lama terpisah darinya karena alasan konyol yang dulu sempat terjadi di antara mereka. Kenapa pula Axelle sampai tidak menyadari nama Winston yang sedari tadi disebut oleh tiap-tiap orang? Kenapa ia bisa sampai lupa kalau Winston adalah nama belakang Caroline nya... Kelinci manisnya dulu? "Carol..." Bisiknya dalam hati. Wanita yang berdiri di samping Harold tampaknya tidak terlalu menyadari kehadirannya di tengah banyak orang-orang dan itu sedikit membuat Axelle kecewa karena Carol tidak melihatnya. Ia dengan setia mendengarkan pidato panjang wanita itu. Apa kau sudah melupakan aku, kelinci manis? Apa kejadian waktu itu membuatku benar-benar kehilangan mu? Pria itu kembali tersadar dari lamunannya saat tanpa sengaja mata mereka beradu pandang sepersekian detik, tapi itu tidak membuat pandangan mereka lantas terhenti. Senyum yang dikeluarkan Caroline langsung memudar— digantikan rona keterkejutan dan rasa tidak percaya saat melihat pria yang selalu mengisi hatinya muncul di tengah-tengah keramaian orang yang sedang bersuka cita menyambutnya. Axelle pun sama. Ia terpaku di tempat sambil mengagumi keindahan wajah yang terpahat di depannya. Kelinci manisnya tak pernah berubah, bahkan selalu mempesona di setiap langkah kakinya yang menggoda. Pandangan itu lantas terhenti saat Axelle tiba-tiba membalikkan badannya. Ia membuang semua pemikiran itu saat tiba-tiba wajah Scarletta muncul di dalam otaknya. Bagaimana bisa ia lupa soal kencan makan malam yang dia buat? Namun, entah kenapa Axelle tidak lagi b*******h. Pertemuan singkatnya dengan Caroline membuat semua dunianya terasa mati dan ia merasakan pedih yang sama saat Caroline memutuskan untuk menggugurkan kandungannya dan pergi jauh. Sesaat sebelum ia menekan tombol lift, sebuah tangan menahan langkahnya. Ia lantas menoleh ke belakang saat melihat Caroline lah orang yang menghentikan langkahnya. "Axelle... Ini benar dirimu?" Axelle melirik sekitar saat ia menyadari kalau tidak ada orang yang memedulikan mereka, tampaknya Harold berhasil mengalihkan perhatian mereka atas kepergian Caroline yang tiba-tiba dari atas podium hanya untuk menghentikan langkah Axelle. "Kau... Ternyata kau-" Deg! Axelle terpaku saat Caroline tiba-tiba memeluknya erat sambil berbisik mengatakan kalau dirinya begitu merindukan Axelle. Ia tidak tahu kalau hal itu membuat hati Axelle semakin goyah dan tidak bisa menahan rasa rindu yang menggebu-gebu di saat mereka berpisah. "Aku tidak percaya kalau kita akan bertemu, Pangeran tampan. Aku rindu padamu..." Axelle memejamkan matanya. Dia dengan agak ragu membalas pelukan wanita yang merupakan cinta pertamanya itu. Pelukan akrab ini... Nyaris setiap malam ia bermimpi untuk bisa memeluk tubuh Caroline seperti yang selalu ia lakukan dulu saat mereka masih menjalin kasih. Betapa waktu cepat berlalu... Caroline melepaskan pelukannya terhadap Axelle lalu kedua tangannya ia tempatkan ke atas d**a pria itu,"Aku ingin berbincang denganmu berdua, Axey. Ayo kita pergi keluar." Axelle tidak menolak sama sekali saat Caroline menarik tangannya masuk ke dalam lift. Sesampainya di lantai dasar, Caroline kembali menarik tangan Axelle keluar gedung perkantoran untuk berjalan di taman yang berada tepat di samping gedungnya. "Ah... Di sini lebih baik. Bukan begitu?" "I-iya... Kau benar." Axelle tersentak saat Caroline bergelayut di lengan kanannya sambil terus berjalan beriringan ke sepanjang jalan setapak itu. Hari mulai gelap dan lampu-lampu jalan mulai menyala. Axelle lupa soal apa yang hendak ia lakukan setelah ini karena Caroline membuat dia sedikit teralihkan dari semua kegiatannya. "Hari ini cukup dingin, Axey. Jadi... Uhm... Apa kabarmu setelah sekian lama ini?" Axelle melirik Caroline sejenak sebelum tersenyum tipis,"Aku baik-baik saja. Aku berhasil mewujudkan cita-citaku untuk menjadi seorang dokter dan saat ini aku bekerja di salah satu rumah sakit besar Toronto." "Wah... Pangeran tampan ku sangat mengalami kemajuan sejak... Sejak peristiwa itu." Langkah Axelle terhenti sejenak. Ia langsung memegang kedua tangan Caroline dan matanya menatap serius ke dalam netra biru Caroline. "Carol, aku ingin bertanya satu hal. Apa... Apa kau benar-benar menggugurkan bayi kita?" Caroline menundukkan kepalanya sebelum ia mengangguk pelan,"Maafkan aku, Axelle. Aku terpaksa melakukannya karena aku tidak ingin membuat kedua orang tuaku kecewa, tapi percayalah... Aku menyesal karena telah melakukannya dan pergi meninggalkan dirimu. Kuharap waktu bisa ku putar agar aku bisa terus bersamamu dan... Mungkin merawat anak kita..." Sebelah tangan Caroline mengusap pipi Axelle sebelum ia tersenyum pahit. Axelle pasti tak lagi mencintainya dan itu sudah bisa ia tebak dari raut wajah Axelle yang agak berbeda. "Apa aku boleh menanyakan sesuatu?" "Apa, Carol?" "Masih kah kau mencintaiku seperti dulu, Axey?" Pertanyaan itu seribu kali lebih menyakitkan untuknya dan Axelle tak mampu berkata banyak karena dia tidak ingin mengatakan apapun. "Axelle... Sejujurnya aku masih mencintaimu. Aku tidak bisa berpaling pada pria mana pun karena aku masih berharap kalau kau lah yang akan menikahiku. Apa... Apa kau pun punya rasa yang sama?" Tanyanya dan kini ia semakin berani untuk mengusap permukaan bibir Axelle yang masih terkatup rapat. Axelle mulai merasa gelisah, ucapan Caroline seakan membuat dia punya harapan lain. Seolah semuanya menunjukkan kalau masih ada kesempatan untuk kembali menjalin asmara yang sempat terputus di tengah jalan. Namun, bagaimana dengan Letta? "Axelle, dengarkan aku. Aku tahu kau pasti kecewa padaku, tapi ku mohon... Jika kesempatan itu ada, biarkan aku menempatinya kembali. Aku ingin menjadi kelinci manis mu lagi." Axelle hanya mampu tersenyum. Dia tidak akan mengatakan apapun karena dirinya tak bisa membuat Letta ataupun Carol merasa tersakiti. "Hari semakin malam. Sebaiknya kita jangan terlalu lama di luar." Dengan memendam kesedihan, Carol kembali melangkah dengan kaki yang agak tertatih karena tumitnya sedikit terluka akibat sepatu hak tinggi yang ia kenakan terlalu ketat. Sesekali ia meringis kecil dan itu menarik perhatian Axelle kepadanya. "Kau baik-baik saja?" "Ah, tidak. Tumit ku agak lecet. Rasanya tidak nyaman sekali." Axelle dengan segera berjongkok lalu mengecek kaki Caroline yang memang agak berdarah. "Kakimu harus diobati. Kau mau kembali ke acara?" "Bisakah kau... Mengantarku ke hotel? Letaknya tidak jauh dari sini dan aku tinggal di sana untuk sementara waktu." Tanpa berpikir panjang, Axelle mengangguk. Ia membantu Carol untuk berjalan menyebrangi jalan karena Carol mengatakan kalau hotelnya berada tidak jauh dari kantor. ... Scarletta kembali memerhatikan dirinya di depan cermin dan sesekali dia berdecak senang karena gaun yang ia kenakan tampak sangat cocok di tubuhnya. Wanita itu meraih kalung berlian pemberian suaminya lalu dengan cepat dia memakainya di leher, membuat tampilan Scarletta tampak sangat memukau. Rambutnya ia biarkan tergerai rapi dengan sedikit gelombang di ujung rambutnya. Scarletta bukan perempuan yang senang memakai sesuatu yang seksi, jadi sebisa mungkin ia menyembunyikan semua lekuk tubuhnya di balik pakaian yang ia kenakan. "Oke, aku rasa aku siap." Ia kembali terkekeh pelan ketika mengingat kalau Axelle memintanya untuk menunggu di dalam restoran karena ada satu kejutan lain yang ingin pria itu berikan. Seperti kencan para remaja ingusan saja, tapi Scarletta menyukainya. Bagaimana pun bentuk acara kencan mereka, Scarletta tidak akan pernah merasa tidak puas. Dia menyukai setiap pemberian Axelle untuknya. Scarletta pergi menaiki taksi karena dia nanti pulang bersama Axelle. Tak lama kemudian, ia pun sampai di tempat tujuan. Setelah membayar uang kepada si supir taksi, kakinya yang terbalut Stiletto hitam lantas langsung melangkah tepat ke dalam restoran yang benar-benar sepi karena malam ini adalah milik mereka berdua. Di dalam sana ia telah disambut oleh Liliana yang ternyata menunggu kedatangannya dengan senyum lebar. "Kau sangat memukau, Nyonya Grissham. Axelle pasti akan terpesona melihat tampilan mu." Scarletta hanya berterima kasih dan ia pun duduk di sebuah kursi yang telah dihias dengan bunga mawar. Matanya menatap kagum pada konsep tempat ini yang memang berubah menjadi lokasi kencan paling romantis yang pernah ia lihat. Senyuman tak pernah luntur dari bibirnya apalagi saat ia mulai mendengar alunan piano yang sangatlah membelai indera pendengarannya. Aku penasaran di mana Axelle sekarang. Hatinya masih setia menunggu bahkan sesekali memikirkan kado apalagi yang akan suaminya berikan. Lama ia menunggu, tak ada satu pun pertanda kalau Axelle akan segera datang. Scarletta melirik jarum jam yang ada di dinding dan ternyata sudah menunjukkan pukul 8 malam. Ia berada di sini lebih dari satu jam dan Axelle belum juga datang. Ia mulai merasa cemas dan bingung karena Axelle tidak mengatakan apapun tadi sore sebelum mereka berpisah. Yang Scarletta tahu, Axelle punya urusan sedikit sebelum datang kemari sambil membawa kejutan. "Mungkin dia masih bersiap-siap dengan kejutannya," Gumam Scarletta. Ia tidak mau berburuk sangka apalagi sampai langsung kecewa begitu saja. Liliana mengawasinya dengan cemas dari pintu dapur. Berulangkali ia menelepon Axelle untuk menanyakan keberadaannya, tapi sayang sekali tidak pernah ada jawaban. Liliana takut kalau Scarletta menunggu terlalu lama dan dia tidak tahu harus mengatakan apa. Akhirnya wanita itu memilih untuk keluar menemui Scarletta dan duduk di depannya,"Sepertinya Axelle membawa kejutan yang besar sehingga dia agak terlambat." Scarletta tersenyum kecil dan mengangguk sebagai jawaban. Suara piano tidak lagi terdengar karena Scarletta meminta orang tersebut untuk berhenti sejenak karena ia sudah bermain cukup lama. "Letta, kau mau langsung makan saja?" "Ah, tidak. Aku menunggu Axelle dulu." Liliana tersenyum pahit lalu ia pun kembali ke dapur. Di dalam sana ia mencoba menghubungi Axelle lagi, tapi lagi-lagi tidak dijawab. Waktu terus berjalan dan kini sudah jam 10 malam. Liliana memutuskan untuk mengatakan kepada Scarletta mungkin saja Axelle terlibat urusan yang benar-benar darurat sehingga dirinya tak bisa datang. Scarletta lagi-lagi hanya tersenyum pahit dan dia memutuskan untuk segera pulang. "Aku antar ya, Letta?" "Tidak usah. Aku akan naik bus saja." "Tapi ini sudah malam sekali. Bagaimana jika-" Scarletta menggeleng dan dengan segera memakai kembali mantel merah hati miliknya sebelum melangkahkan kaki untuk pergi. Scarletta berjalan cukup cepat meninggalkan restoran itu dengan kehampaan. Matanya mulai memerah dan ia akhirnya menangis. Entah kenapa hal ini bisa membuat ia sedih, tapi sekali lagi Axelle mengacaukan kencan mereka. Ia duduk di halte bus dengan wajah yang pucat. Scarletta belum makan malam dan sekarang waktu untuk makan sudah sangat telat. Ia tersentak saat mendengar suara gemuruh petir dari atas langit dan diiringi oleh rintikan hujan yang semakin membuat suhu malam ini sangatlah dingin. Wanita itu mengusap kedua tangannya dan sesekali meniupnya agar tetap merasa hangat. Bus belum datang sejak tadi atau mungkin ini sudah terlalu malam untuk menaiki bus? "Ya tuhan... Axey, kau di mana?" Scarletta mengeratkan kembali mantelnya karena dia masih merasa kedinginan. Apa yang membuat dia menggigil selain suhu yang dingin? Jawabannya adalah kesepian. Axelle tidak berada di sini untuk memeluknya padahal seharusnya mereka sedang kencan romantis di restoran. "Tidak apa, Axey. Aku tetap mencintaimu meski kau membuatku kecewa ribuan kali." Di sisi lain, sepasang manusia tampak saling menghangatkan tubuh di tengah dinginnya cuaca luar. Angin kencang disertai suara air hujan yang berjatuhan membuat suasana malam mereka sangatlah panas. Pria itu berkeringat dengan geraman yang sesekali keluar dari bibirnya. Tak pernah berhenti ia bergerak di dalam tubuh wanita yang terkulai pasrah di bawahnya, bahkan bertambah sangat erotis. "Engghh! Axey! Oh, Tuhan! Jangan pernah berhenti, aku mencintaimu!" Racauan itu semakin membuat Axelle merasa gila. Ia menghujam semakin dalam dan sebelah tangannya pun turut meremas daging kenyal yang bergoyang di bawahnya dengan menggoda. Bibir mereka kembali bersentuhan sehingga membuat kedua saliva mereka menyatu di dalam sana. "Carol... s**t! Aku sangat mencintaimu, sayang!" Ia pun turut berucap tanpa menyadari kalau ucapan dan perilakunya itu dapat menyakiti hati wanita lain yang saat ini tengah menunggunya dalam sepi dan kedinginan di bawah lampu penerangan yang semakin menipis di malam itu. Axelle tidak akan pernah menyadari kalau ia telah melupakan janjinya pada sang istri yang saat ini telah kecewa karena harapan semu yang ia beri. Caroline mendesah keras saat lagi-lagi Axelle menumpahkan benihnya di dalam tubuh penuh keringat Caroline tanpa memikirkan risiko dari apa yang akan terjadi. "Hmm, kau tetap menjadi pria jantan. Aku mencintaimu, Axelle." Axelle tersenyum kecil lalu ia kembali mencium bibir merah Caroline penuh damba dan ia tak akan pernah berhenti untuk melakukan ini. Dirinya telah jatuh— dalam hal ini ia jatuh untuk yang kedua kalinya ke dalam pelukan Caroline. Mata biru Caroline menatap jari manis Axelle tanpa sengaja. Matanya mengerjap beberapa kali saat menyadari kalau ada cincin pernikahan yang tersemat di jari manis kekasihnya ini. Itu sempat membuat ia ragu, tapi dirinya tak akan menyerah kali ini. Caroline menginginkan Axelle kembali. "Axelle... Jangan pernah tinggalkan aku demi siapapun." TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD