CHAPTER 3

1084 Words
Pagi itu, pasangan suami-istri yang masih dalam suasana intim mereka, kembali bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit karena ada operasi darurat yang mesti mereka tangani pagi itu juga. Scarletta menyisir rambutnya dengan gerakan sedikit cepat sehingga menyebabkan ada beberapa helai rambut pirangnya yang berjatuhan, sedangkan Axelle tengah sibuk merapikan kemeja biru langitnya dan juga menyisir rambut yang sudah ia ubah kembali menjadi warna hitam. "Sudah siap?" Scarletta mengangguk lalu dia meraih tas miliknya sebelum melangkah keluar kamar mereka diikuti oleh Axelle di belakangnya. Keduanya pergi menaiki mobil Porsche putih milik Axelle yang sudah terparkir rapi di depan halaman. Setelah memastikan semua pintu terkunci, barulah keduanya beranjak pergi. Malam ini adalah jadwal makan malam romantis mereka dan Scarletta harap tidak akan ada sesuatu yang menghalangi hal tersebut karena ia sudah mempersiapkan diri sedemikian rupa untuk malam ini. Sesampainya mereka di rumah sakit, Scarletta mengatakan kalau ia akan menemui para perawat terlebih dahulu dan meminta Axelle untuk segera bersiap di dalam ruang operasi bersama ahli medis lainnya. Beginilah kehidupan sehari-hari mereka. Jika sudah masuk ke ruang lingkup pekerjaan, Axelle dan Scarletta menjelma menjadi partner yang kooperatif. Operasi itu berlangsung cukup lama hingga memakan waktu sekitar 4 jam sebelum akhirnya operasi itu sukses. Namun, semua itu bukanlah apa-apa jika dilakukan demi menyelamatkan nyawa orang lain. Itulah sebabnya kenapa Axelle menyukai pekerjaan ini, ia ingin menyembuhkan setiap luka yang diderita oleh orang lain agar dapat kembali bercengkrama dengan keluarga serta teman-teman mereka. Pria itu melepas sarung tangan lalu membuka maskernya untuk beristirahat sejenak. Axelle tersenyum saat ia melihat istrinya turut melakukan hal yang sama dan bisa ia lihat kalau Scarletta tampak jauh lebih ceria dibanding dirinya. "Kau seperti superhero, Letta. Wajahmu bersinar sekali." Scarletta tersenyum dan dia juga mengatakan hal serupa kalau Axelle juga seorang pahlawan. Entah kenapa, Scarletta sangat menyukai ekspresi yang digunakan Axelle ketika sedang serius. Wanita itu benar-benar memuja cara Axelle berkonsentrasi dengan lipatan di kening yang menunjukkan betapa seriusnya ia. Maksudnya di sini, Axelle terlihat tampan dalam keadaan apapun dan itu membuat Letta terkadang merasa takut kalau ada gadis lain yang terpesona dengan wajah rupawan suaminya. Keduanya lantas kembali melanjutkan beberapa pekerjaan lainnya yang menunggu. Hari itu berjalan sangat sempurna tanpa adanya hambatan. Scarletta telah memikirkan banyak hal untuk nanti malam dan ia sangat tidak sabar untuk menanti makan malam romantis mereka yang telah Axelle persiapkan untuknya. Axelle mengatakan kalau ia mesti pulang lebih dulu karena ada satu urusan yang mesti ia kerjakan. Scarletta tidak menyangkal, dia pun mengiyakan dengan berkata kalau dirinya akan pulang menaiki bus. "Nanti malam, datanglah ke restoran yang sudah aku persiapkan. Kita akan bertemu di sana." Axelle mengecup bibir dan kening Scarletta cukup lama sebelum keluar dari ruangan wanita itu untuk segera pergi. Axelle tidak mengatakan kalau ia hendak mendatangi undangan perusahaan kepada istrinya karena dirinya tak mau membuat Scarletta merasa terabaikan. Setelah kepulangannya dari acara penyambutan itu, ia akan langsung bergegas mengganti pakaian yang sudah ia persiapkan di dalam bagasi mobil sekaligus membeli buket bunga untuk istrinya. Pria itu menghembuskan napas lega ketika dirinya sampai ke sebuah gedung tinggi di mana acara itu digelar. Axelle memarkirkan mobilnya di sebuah lapangan parkir yang ternyata sudah agak ramai. Pria itu merapikan kemeja yang ia kenakan lalu membenarkan tatanan rambutnya. Sejenak ia melirik jam tangan yang masih menunjukkan pukul 5 sore, dan ia punya sekitar dua jam lagi sebelum pergi ke kencan spesialnya dengan Scarletta. Axelle sudah memperhitungkan semuanya dan ia yakin kalau ia tak akan kembali mengacau untuk malam ini. Pria itu kemudian melangkah ke dalam gedung di mana semua orang berada. Ia masuk ke dalam lift— bersama beberapa tamu lain yang juga berdatangan. Axelle tidak kenal siapapun di sini dan jika bukan karena permintaan kakaknya, ia tidak akan mau datang ke acara menyebalkan yang dipenuhi puluhan orang asing di matanya. Pintu lift terbuka dan bisa Axelle lihat kalau memang ada banyak orang yang berada di lantai ini. Ia tidak mendapatkan informasi apapun soal si pemimpin baru, jadi Axelle tidak tahu apakah ia akan melakukan ini dengan baik— mengingat kalau dia orang yang susah untuk diajak berkomunikasi dengan orang baru. Axelle berjalan mendekati meja yang menyediakan berbagai kudapan. Ada kue bertingkat dua yang tampak besar di salah satu meja khusus dan ia bertanya-tanya berapa uang yang harus dikeluarkan untuk kue seperti itu. Ia tanpa ragu meraih segelas minuman yang tersedia lalu mulai menyeruputnya. Dia tidak mengenal satu pun orang di dalam sini dan sebisa mungkin Axelle menghindari percakapan yang panjang karena ia punya janji lain. "Oh, Tuan Grissham?" Axelle menoleh ke kanan dan melihat ada seorang pria paruh baya yang menjumpainya. Ia menaruh gelasnya kembali ke atas meja lalu menjabat tangan pria tua berkacamata itu. "Oh... Hai? Uhm... Aku rasa ini pertemuan pertama kita?" Dahi pria tua itu sedikit berkerut, tapi ia dengan segera menyadari sesuatu,"Ah, apakah Anda ini saudara kembar si direktur tampan?" "Ya, seperti yang kau lihat. Aku datang untuk mewakili kakak kembar ku." "Salam kenal kalau begitu. Namaku Harold Winston. Aku Paman dari calon pemimpin baru perusahaan mendiang kakak ku." Axelle menganggukkan kepalanya dan sebisa mungkin ia tersenyum sopan walau kenyataannya ia mulai risih untuk berbincang dengan orang asing. "Terlalu banyak hal yang terlewati setelah kematian kakak ku. Perusahaan mulai tak terkontrol, tapi beruntung putrinya mau meneruskan bisnis keluarga ini," Ucapnya tanpa memikirkan reaksi apa yang akan diberikan Axelle. "Kalau boleh aku tahu, mendiang Tuan Winston terkena penyakit apa?" "Penyakit turunan keluarga. Kakak ku lahir dalam keadaan jantung yang lemah dan itu membuat keadaannya tidak sebaik orang lain," Jawabnya dengan sedikit nada sedih yang bisa Axelle dengar. "Syukurlah karena ada penerus untuk bisnis kalian." "Ya benar, Caroline sangat membuat kami semua tertolong." Dahi Axelle sedikit mengerut dalam ketika mendengar nama itu dari bibir Harold. Nama itu seakan membawa kembali kenangan masa lalu di mana ia pernah berada di suatu perasaan paling membahagiakan. "Siapa? Caroline?" Memang terdengar konyol karena menanyakan itu. Axelle terlalu bodoh dengan berharap kalau wanita yang Harold maksud adalah benar Caroline nya dulu. "Ya, benar. Caroline Jean Winston, keponakan cantik ku yang bersedia kehilangan karirnya sebagai Chef hanya untuk meneruskan perusahaan ini." Napas Axelle lantas seperti terputus. Kepalanya terasa begitu aneh saat sekelebat bayangan masa lalu itu kembali muncul dan membuat hatinya semakin mendobrak untuk melampiaskan rasa rindu dan kesal yang bercampur menjadi satu setelah sekian lama terkubur menanti sebuah kedatangan. "Carol... Caroline itu?" Harold hendak menjawab, tapi mereka dikejutkan oleh suara pengisi acara yang tampaknya sedang menyambut semua tamu-tamu yang hadir. Harold dengan sangat terpaksa pamit dari hadapan Axelle untuk segera memberikan pidatonya. Axelle terdiam di tempat. Kepalanya begitu terasa pusing dan ia penasaran dengan tampilan Caroline yang sekarang setelah perpisahan mereka 7 tahun yang lalu. Benarkah dia Caroline itu? Kelinci manis ku? TBC A/N : Halo :) saya lanjut lagi nih hehe. Jangan lupa tekan like/follow ya supaya lanjut terus
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD