Part 6

2024 Words
Situasi di alam bawah sadarnya tidak pernah jauh dari kata baik. Sekali pun. Liu merasa ruang di sekitarnya menyempit dengan gulungan peristiwa yang berpusar pada satu tempat. Titik tersebut menggulung, dari jauh nampak seperti angin puyuh yang datang menerbangkan apa pun. Semakin dekat, semakin jelas bahwa pusaran itu membesar memakan massa yang melintas di dekatnya. Tiba-tiba dia tersentak bangun. Dahinya mengerut dan titik keringat membanjir dengan cepat. Liu tidak tahu kapan dia menutup mata. Dia tidak pernah ingat kapan dirinya berada di atas ranjang empuk, diselimuti bahkan dipakaikan baju panjang yang hangat. Liu tidak ingat apa pun. Pemandangan pertama yang tertangkap adalah langit-langit kamar. Warnanya gading pucat dengan lampu yang menyinari ruangan dan membuat pandangannya menjadi samar, mengirim peringatan penuh pada otaknya ketika beberapa bagian tubuhnya tersentak karena nyeri. Hanya beberapa yang Liu tahu; kepala, d**a, perut, bahu, pipi bahkan beberapa jari kakinya kram. "Butuh waktu lama untuk kau bangun." Dadanya langsung sesak sebab rasa dingin yang merambat di sekujur tubuhnya. Begitu menoleh, dia menemukan wajah Teo menatapnya. "Aku akan memanggil Sed," kata pria berambut oranye itu, melesat tanpa mendengar persetujuan dari Liu. Tak sampai satu menit, terdengar langkah kaki yang terburu-buru disertai gebrakan pintu yang menghantam tembok. Teo melihat dari arah belakang, hampir mengumpat melihat temboknya tergores karena hal itu. "Kau sudah sadar, Liu?" kata sebuah suara. Liu tidak menoleh. "Astaga, kau membuat kami berdua takut." Liu menutup mata ketika merasakan belaian di rambutnya. Jemarinya terangkat untuk menyentuh sesuatu yang melingkar di bagian kepala. "Kau terluka," kata Sed memberitahu. Liu tak menyahut. Sebaliknya dia memaksa tubuhnya bangun, dan membiarkan rasa sakit perutnya semakin terasa. "Siapa yang melukaimu?" Sed mengambil segelas air putih yang tersedia di nakas dan menyerahkannya pada Liu. Bibir Liu bergeletar samar, tapi tidak ada satu pun kata yang terlontar. Alisnya menukik seakan-akan ada sesuatu yang tengah dipikirkannya dengan begitu keras. Satu nama terlintas di kepala Sed begitu saja. "Kau bertengkar dengan Kal? Apa bocah itu yang melukaimu?" "Kita tidak bisa menuduhnya." Teo menginterupsi. "Kal sedang bekerja pada saat kejadian." Sed bangkit, menaruh gelas yang dipegangnya kembali ke meja. "Kenapa kau terus membelanya?" "Aku tidak membela. Aku hanya mengingatkanmu kalau dugaan itu salah." Sed melirik Liu yang cukup tahan dengan pandangan kosongnya. Sesekali dahi pria itu mengerut. "Liu ... kau paling tidak suka jika aku menghina kekasihmu, bukan? Jadi, apakah kau punya alasan yang kuat untuk menyangkalnya? Hei, jawab aku!" Sekarang bahu Liu sudah berada di cengkeraman Sed. Terguncang-guncang dengan cepat. "Katakan sesuatu! Liu! Kau membuatku takut!" teriak Sed frustasi. "Hentikan, Sed!" Sed menggelengkan kepalanya kesal, Teo yang berada di sampingnya punya inisiatif untuk menenangkannya. "Kau mengenaskan. Tunggu! Aku akan membawakan cermin besar agar kau bisa melihat penampilanmu sendiri." Teo menahan langkahnya. Apa yang dikatakan pria bermata ungu itu tidak masuk akal. "Jangan membuat situasi menjadi panas," katanya, mengambil alih posisi Sed sebelumnya, menatap pria berambut silver itu. "Liu, kau bisa mengatakannya pelan-pelan. Apa yang terjadi padamu?" Dada Liu kembang kempis. Sekelebat peristiwa melintas di otaknya. "A-Aku mimpi buruk," katanya. "Mimpi buruk apa?" Teo menyuarakan kebingungan Sed. Melirik Liu penuh keingintahuan. Tanpa diduga-duga, Liu menggelengkan kepalanya cepat-cepat. Matanya terpejam sementara tangannya menangkup erat wajahnya. Napasnya terengah-engah. "Liu?" Sed panik. Liu berjengit ketika tangan Sed bersinggungan pada bahunya yang tertutup kain fleece. Ketakutan yang dipendamnya mencuat. "Pergi! Pergi!" Liu berteriak. Sed bangkit secara spontanitas. Mundur. Beberapa saat kemudian, dia mencoba mendekat lagi. "Jangan mendekat! Pergi! Kumohon pergi!" "L-Liu—" Beberapa benda melayang mengenai tubuh kedua pria yang berdiri di sana. Kemudian dengan tubuh terhuyung, dia membuka semua laci yang ada pada nakas. Isinya dihamburkan keluar. Tangan pucat itu mengobrak-abrik ke dalam satu laci dan di beberapa tempat penyimpanan lain. "Hei, Liu!" tegur Sed. "O-Obatku ... di mana obatku?" Liu meracau, sementara Teo mulai bergerak untuk menarik lengannya. Tentu saja, dia kembali mundur karena Liu menepisnya sekuat tenaga. "Liu, hentikan!" Di sisi lain, Sed berhasil menangkap lengannya, dan memudahkan Teo untuk mengambil lengannya yang lain. Tak kehabisan akal, Liu rupanya menendang ke sembarang arah dan membuat Sed yang bertubuh kecil hampir kewalahan. Pada pertarungan itu, Sed tidak mau kalah. Dia langsung mendorong Liu untuk berbaring di ranjang. Akan tetapi Liu bangkit lagi seolah-olah tenaganya masih tersisa banyak. Hal itu membuat Sed mendorongnya lagi dan lagi. "Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Teo di tengah berontaknya tubuh kurus itu. "Tanya jawabnya nanti, hentikan dulu bocah ini." Sed salah besar jika menyuruh Teo melakukan hal itu, karena detik berikutnya Liu jatuh pingsan karena pukulan di tengkuknya. "Teo!" teriak Sed murka. Dengan wajah tanpa dosa, Teo menggaruk kepalanya. Begitulah akhirnya mereka memutuskan untuk menyantap santapan dini hari. Teo pelopornya. Dengan cekatan dia mengeluarkan semua camilan di rumahnya untuk membujuk Sed yang marah besar. Keduanya diam di tengah gemericik balok-balok es bercampur soda yang mendesis sesaat setelah dituang ke dalam gelas. Teo menuangkan soda yang sama pada gelas beningnya, gumpalan busa meluap hingga tumpah melewati bibir gelas. "Kau sudah bisa menjelaskannya sekarang," katanya, "Liu akan tertidur setidaknya sampai pagi." Sed mengerling, tidak suka dengan kalimat itu. "Dia tidak tertidur! Dia pingsan! Kau yang memukulnya!" Teo menguyah snack yang disiapkan di meja sembari mencoba mengabaikan nada sarkasme itu. "Kau semakin melukainya." "Aku tahu, dan seharusnya kau juga tahu alasan kenapa aku melakukannya." Teo memang benar. Sed tahu betul. Kalau kejadian itu tidak segera diatasi, kemungkinan Liu akan menyakiti diri sendiri. "Sekarang apa yang harus kita lakukan?" Sed menggumam lemah. "Menghubungi Kal?" Teo menjawab ragu-ragu. "Tidak!" "Sed, Kal harus tahu soal ini. Dia pacar Liu." Sed menolak untuk menggubris. Beberapa tegukan mampir di tenggorokan pria bermata ungu itu, jakunnya bergerak naik turun dengan konstan. Gerakan sederhana seperti itu sudah cukup untuk membuat pandangan mata Teo tidak teralih. Pun air soda yang bergulir dari dagu hingga meluncur bebas di leher jenjang pria itu. Saat Sed selesai dengan minumnya, Teo kembali memberi saran yang sama, "Bagaimana jika kita menghubungi Kal?" Dia melirik jam dinding. Pukul dua pagi. "Seharusnya dia sudah pulang ke rumah." "Aku tak heran jika sebentar lagi kau jadian dengannya," sindir Sed dengan lirikan mata yang tajam. "Kenapa?" Sed mengambil gelas yang ada di tangan Teo, mengulangi tegukannya sampai tandas. "Omong-omong kita melakukan indirect kiss," tukas Teo santai. Pria yang tersindir segera menjulurkan lidahnya dengan maksud memuntahkan minuman yang masuk ke mulutnya. Sementara tangannya mengusap kasar bibirnya saat menyadari itu. "Kau menjijikkan!" "Kau merebut minumanku," sahut Teo dengan ekspresi yang tidak berubah dari waktu ke waktu. "Jadi, bisa kau jelaskan sekarang. Apa yang terjadi pada Liu?" "Kau pasti sudah tahu." Teo mengerutkan dahi, memberikan gestur kalau dia tidak tahu apa yang dimaksud lawan bicara dan hal itu membuat Sed menarik napas dalam-dalam. "Oke, baiklah. Aku tahu, tapi tidak keseluruhan. Hanya beberapa poin penting." Teo menuang soda lagi pada dua gelas kosong di mejanya. "Apakah ini berhubungan dengan Rua?" Sed berjengit ketika nama itu disebut. "b******n itu tidak ada di kota ini!" "Apa salahnya memikirkan kemungkinan terburuk? Bisa jadi semua ini karena ulah Rua yang tiba-tiba datang dan menyerang Liu." Terdengar cukup masuk akal, tapi Sed tidak mau gegabah dengan tuduhan itu. Faktanya memang sudah jelas. Liu terguncang. Memang tidak separah dulu, namun tanda-tanda itu menguat jika dikaitkan dengan pria bernama Rua. Nama itu tidaklah asing di telinga Sed. Bahkan kalau boleh jujur, dia sama sekali tidak bisa melupakan pria gila satu itu. Rua adalah mantan kekasih Liu semasa sekolah. Rua adalah pria yang sama di mana peristiwa bullying terhadap Liu tercatat. Di masa lalu, Liu memang menjalin hubungan tidak sehat—pria dan pria. Pada awalnya Sed tidak terlalu peduli karena sudah sejak lama Liu memiliki kelainan orientasi. Rasa curiganya justru muncul ketika nama Rua disebut-sebut sebagai kekasih sepupunya itu. Semua orang tahu-warga sekolah tahu, Rua adalah pria straight tulen. Dia berpacaran dengan gadis sesaat sebelum berpacaran dengan Liu. Lama-kelamaan kelicikan pria itu terkuak saat Sed mengetahui rencana taruhan konyol yang dilakukan Rua dan beberapa temannya. Sed mendengar secara tidak sengaja, saat dia melintas pada gerombolan anak di sudut kantin. Rua di sana, tertawa dengan sangat konyol ketika mengejek betapa polosnya Liu karena mau menuruti ajakannya berpacaran. Beberapa lembar uang dikeluarkan oleh semua temannya sebagai bayaran untuk Rua. Di luar dugaan, saat Liu mengetahui kebenaran ini, Rua justru makin menjadi-jadi. Dia mulai mengejek dan mengekang Liu sebagaimana syarat taruhan lain yang diajukan teman-temannya. Liu tidak melawan, dia diancam. Bagi anak remaja sepertinya, ancaman Rua cukup membuatnya takut. Di sela-sela sepi, bahkan Rua sering menciumnya dengan kasar. Alasanya masih sama; taruhan. Sed menjadi marah dan mulai menyelidiki tentang ini, namun Liu terus bungkam akan kenyataan yang sesungguhnya. Sampai pada akhirnya Liu ditemukan di gudang sekolah dalam keadaan mengenaskan setelah dua hari menghilang. Dia terbujur di dalam lemari sempit dalam keadaan pingsan dan babak belur. Kaki tangannya terikat serta mulutnya terbungkam dengan lakban. Setelah kejadian itu, Liu koma selama tiga hari sejak dilarikan ke rumah sakit. "Sed? Sed!" Sed terkesiap. Matanya mengerjap sehingga sebutir air matanya jatuh. "Kau melamun." Sed menjawabnya dengan desahan lelah. Kepalanya menyandar pada badan sofa, dengan kepalan tangan yang membentur dahinya berkali-kali. "Aku tidak ingin kejadian di masa lalu kembali menimpa Liu. Aku tidak mau melihatnya terguncang lagi. Aku tidak bisa." Dulu, saat sadar dari koma, kondisi mental Liu sangat terguncang. Selama beberapa waktu dia bahkan tidak bisa mengenali keluarganya, juga dirinya sendiri. Pria itu hanya hidup dengan pikiran yang kosong. Tidak berbicara pada siapa pun yang ditemuinya. Sed ingat betul bagaimana wajah sang paman ketika mengetahui orientasi seksual anak semata wayangnya. Ada ekspresi kecewa yang kentara sekali di matanya. Bibinya juga sangat terpukul. Pada bagian ini Sed tidak yakin apa yang ditangisi oleh ibu dari Liu tersebut; pelecehan yang terjadi pada Liu atau tentang terungkapnya orientasi seksualnya. "Tidakkah kau berpikir kalau Liu berhak memiliki kehidupan yang normal seperti orang kebanyakan?" Suara Sed melirih, namun jawaban yang diinginkan dari Teo tak didengarnya. "Liu memang gay, tapi dia tidak pantas mendapatkan semua ini." Teo memberikan usapan di bahunya ketika Sed kembali goyah. Ketakutan Sed memang beralasan. Mereka bertiga sudah saling mengenal sejak lama. Teo adalah sahabat dekat kakaknya Liu. Mereka semua berasal dari distrik yang sama. "Kau harus bertindak sebelum keadaan semakin memburuk," usulnya. Buku-buku jari Sed memutih saat dia menggenggam gelasnya. "Tidak, bukan aku saja. Kau juga harus membantuku." "Ya, tentu." Teo meliriknya. "Jadi, apakah kau sudah punya rencana?" Pria bertubuh ramping itu mengangkat kepalanya dan menatap lawan bicara dengan tatapan bimbang. "Mungkin yang kau katakan benar. Sepertinya aku harus menemui Kal besok. Aku harap bocah itu tidak terlibat dengan kejadian ini." "Apa yang akan kau katakan padanya?" "Aku akan memintanya untuk menjauh dari Liu," kata Sed pelan, memaku gelas di meja dengan tatapan benci. Pada akhirnya, apa yang pernah ditakutkan Teo terjadi. Sed memang tidak pernah jera untuk membuat keduanya berpisah. Kejadian ini mungkin dianggapnya sebagai kesempatan yang bagus. "Kau harus meminta izin Liu untuk itu." Sed mencibir, tidak terima. "Apa maksudmu? Aku tidak perlu izin dari siapa pun." "Liu tidak akan pernah setuju jika kau mengusik pacarnya." "Tidak!" Sed menaruh gelasnya dengan kuat. "Ini bukan masalah setuju atau tidak setuju. Lebih daripada itu, ini adalah masalah di mana aku peduli pada sepupuku sendiri." Keduanya terdiam dalam kebisuan yang panjang, Teo terlalu lelah untuk memikirkan cara lain sementara mereka seakan-akan dikejar oleh waktu. Jika semua yang diduga Teo benar, kemungkinan Rua akan menyerang lagi. Tetapi, tentu saja, tidak ada bukti kuat yang mengarah ke sana. Sed memijat batang hidungnya, tiba-tiba merasa lelah. "Beruntung kita menemukannya tepat waktu, Teo," katanya. "Menurutmu, sudah berapa lama dia pingsan seperti itu?" "Kita tiba di sana sekitar jam sembilan, kemungkinan dia pingsan sejak dua jam sebelum itu—atau mungkin kurang," Teo meneguk minumannya sebentar. "Aku rasa si pelaku tahu keberadaan kita di sana." Sed mencoba membayangkan apa yang terjadi di rumah itu. "Seharusnya kita kembali lebih cepat." "Bila kau lupa, kita tidak akan kembali jika ponselku tidak tertinggal di sana." "Kau benar. Aku akan memberi penghargaan pada benda itu nanti." Sed berkata cuma-cuma. "Sebaiknya kau menghubungi Noa juga, Sed. Dia harus tahu masalah ini." "Tidak!" balas Sed cepat-cepat. "Aku akan menunggu sampai keadaan Liu pulih terlebih dahulu, agar aku bisa mengorek informasi lebih banyak sebelum Noa menghajarku." "Noa memang selalu kalap jika berkaitan dengan keselamatan Liu." Sed tersenyum kering. "Ya, kau benar." Dentingan gelas yang membentur meja adalah suara terakhir dalam keheningan mereka. Selanjutnya, mereka terdiam dalam pikiran masing-masing—dan tertidur di sana beberapa menit kemudian. tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD