Part 7

2376 Words
Kal menjatuhkan tubuhnya kasar ke bangku taman, mendesah frustasi. Sore ini lumayan gerah dengan segala hal yang mencekik lehernya. "Aku tak percaya ini. Apa yang sebenarnya dilakukan si bodoh itu sih?" gerutunya. "Siapa si bodoh?" Gadis berambut pinky yang baru saja tiba, menyahut. "Rua!" Kal bersedekap. Tidak mau berpura-pura lagi kalau dia membenci pria itu. "Aku ingin sekali membunuhnya." Saat ini Kal mengenakan kemeja gelap dengan dua kancing teratas yang terbuka. Bau parfumnya tercium oleh gadis yang ada di sebelahnya dan membuatnya merona. "Jadi, apa yang dilakukannya sampai kau bisa semarah ini?" Alih-alih menjawab, Kal mengambil ponselnya dalam saku dan memeriksa apakah pesan yang dia kirim sudah tersampaikan. Nyatanya, pesan itu tertunda, nyaris dua belas jam penuh. Kal kembali menekan-nekan layar ponselnya, bergulir pada satu pesan yang masuk pada inbox, dengan kesal dia menyuruh gadis pinky itu untuk melihat. "Rua izin datang terlambat?" Dengan enggan, Kal mengangguk. "Kemarin dia absen dengan alasan sakit, sekarang dia bilang padaku akan datang terlambat. Menurutmu harus aku apakan anak ini, Jia?" Posisi Kal masih baru di kantor itu, terhitung tiga hari bekerja. Kal masih harus banyak belajar tetapi pembimbingnya seolah-olah kabur dari tanggung jawab itu dengan alasan tak masuk akal. Keadaan kantor juga masih cukup ramai, para karyawan nampak menjejaki jam terakhir pengiriman tugas. Masuknya laporan-laporan itu di komputer membuat kepala Kal meledak. Sudah cukup kemarin malam, dia pulang tanpa menemukan Liu di rumah. Kekasihnya itu tidak mengabarinya sama sekali ke mana akan pergi. Saat Kal mencoba menghubunginya, ponselnya tidak aktif. Liu tidak pernah seperti ini sebelumnya. "Mungkin dia benar-benar sakit," kata Jia kalem, mengerling pada Kal yang tengah menyesap minuman es susunya dengan rakus. "Dan juga ... Valmore itu kota besar, siapa pun bisa terjebak macet." "Itu tidak bisa dijadikan alasan. Seharusnya dia berangkat lebih awal kalau tahu akan macet." "Lalu sekarang apa yang akan kau lakukan di sini? Jangan katakan kau sengaja terlambat memeriksa laporanmu dan berniat bermalas-malasan di sini." "Aku tidak seperti itu," elak Kal. "Aku hanya ingin menikmati udara sore yang sejuk sebelum kembali sesak napas saat berdua dengannya nanti di dalam kantor." "Jadi kau benar-benar membencinya? Kau tidak boleh seperti itu, Kal, dia pembimbingmu selama sebulan penuh. Buatlah catatan kerja yang baik." Kal sama sekali tidak suka dengan fakta itu. Akan tetapi, dia sudah mantap untuk meneruskan pekerjaan ini, karena ini yang Kal tunggu-tunggu. Dia harus mendapatkan pekerjaan tetap, agar dia bisa pergi dari rumah Liu sesegera mungkin. "Apa ada hal lain yang ingin kau bicarakan?" tanya Jia lagi. Kal mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan itu, lalu menyeringai. "Apakah kau sedang menawarkan diri untuk menampung ceritaku, Jia?" Gadis dengan rambut sebahu itu memalingkan wajah. "Rasanya aku menyesal sudah menaruh perhatian padamu." Gelak tawa mengudara. Jia masih saja tidak bisa menahan rona merah muda di pipinya melihat Kal tertawa lepas seperti itu. Penyempitan di dadanya semakin terasa saat dia mengakui rasa sukanya pada Kal sama sekali belum mengikis. Kalau saja dia bisa lebih menarik perhatian pria itu, mungkin sekarang Kal akan menjadi miliknya. "Ah, sudahlah." Jia memasang kartu pengenal di lehernya. "Aku harus pergi. Aku harus kembali ke lapangan sekarang." "Kenapa? Apa kau sedang sibuk?" Jia memang tidak sedang sibuk, tapi berlama-lama dengan Kal di saat dia tidak bisa mengendalikan perasaannya sendiri bukan pilihan yang tepat. Jia memberikan balasan berupa gumaman bernada negatif kepada Kal dan berdiri dari tempat duduknya. Mengobrol dengan Kal tidak pernah terasa membosankan. Mereka sudah saling mengenal sejak menjadi mahasiswa. Saat itu mereka pernah berada di salah satu mata kuliah yang sama. Kal yang sangat ceria dan mudah bergaul membuat mereka akrab begitu cepat. Dari situlah benih-benih cinta mulai tumbuh padanya. "Apa boleh buat," Kal mengangkat bahu tak acuh. "Hati-hatilah, Jia, ada razia perempuan jelek di seberang sana. Pastikan wajahmu tertutupi masker, oke?" Jia diam sejenak, bangkit, dan menghantamkan tas kulitnya ke wajah tampan berjanggut tipis di hadapannya. Dia cemas karena lama-lama tidak bisa mengontrol dirinya ketika melihat wajah tan itu tertawa. "Kau memang menyebalkan!" Kal menggerakkan tangannya menangkap kedua bahu Jia. Gerakan itu sangat tiba-tiba sehingga Jia tidak terlalu siap dan tergelincir jatuh ke depan. "Kau melukai wajahku, Jia. Ini aset mahal." Jia mengerjap lambat. Darahnya berdesir hingga puncak kepala. Posisi mereka benar-benar ambigu. Tubuh bagian depannya bertumpu pada d**a milik Kal. Sedangkan salah satu kaki Kal berada di tengah kedua pahanya. Sekali lagi, Jia mengerjap. Mengerjap lagi—kali ini lebih lambat. "Jia?" Kal memanggil, yang terdengar di telinga Jia seperti desahan. "Hei! Ji—" Mata Kal membulat, suaranya teredam oleh benda kenyal yang secara tiba-tiba membungkam bibirnya. Hanya sementara, mungkin sekitar tiga detik. "M-Maaf." Jia melepaskan tubuhnya dari lengan yang mengungkungnya. Kal gagal paham. Ketika tersadar dan hendak menanyakan apa yang terjadi barusan, sosok Jia sudah menjauh hingga Kal hanya bisa melihat punggungnya yang semakin menjauh. Barusan itu, hal gila macam apa yang terjadi? Jia ... menciumnya? *** Otaknya penuh secara mendadak karena kejadian ambigu yang terjadi. Untuk itu, setelah kepergian Jia, Kal memutuskan kembali pada rutinitas kerja seorang editor iklan; mengecek kelayakan design dan slogan. Dia memfokuskan dirinya pada layar segiempat di depannya untuk mengalihkan perhatiannya yang kacau. Tangannya bergerak mengabsen setiap folder yang berbaris untuk diperiksa. Fokus. Dia fokus. Berusaha untuk tidak memecahkan pikirannya lagi. "Kal, kau mengerjakan bagian apa?" Rua menginterupsi, melirik fitur Kal yang tegang dari samping. "Sosial media." "Baiklah, kalau begitu aku akan mengerjakan bagian koran." Rua mengambil alih folder data lain yang masuk dalam komputernya. Mulai hari ini, komputer kerja mereka sudah ditambah satu unit lagi. "Hmm, Jia," gumamnya. Kal melirik rekannya dengan ekor mata. Mengukuhkan diri sepenuh hati bahwa dia tidak akan mempedulikan apa pun yang dikatakan pria itu. Dia akan menjawab dengan afirmasi yang singkat, padat dan tidak melebih-lebihkan-jika itu perihal pekerjaan. "Jia itu gadis yang cantik, bukan?" Kalimat itu menghentikan gerakan tangan Kal. Awalnya dia berniat menahan diri, namun satu pertanyaan lepas dari bibirnya. "Apa maksudmu?" "Aku hanya memujinya, itu yang dilakukan para pria normal, 'kan? Gadis cantik tidak bisa diabaikan begitu saja tahu." Kal tidak berpikiran seperti itu, baginya gadis cantik adalah mereka yang memiliki kepribadian yang baik. Jia memang memiliki keduanya, tapi Kal tidak tertarik pada gadis itu. "Ya, dia cantik, baik dan juga perhatian."—Tapi super barbar, Kal menambahkan dalam hati. "Apakah kau menyukainya?" tanya Rua. "Huh?" Rua melepaskan tawanya melihat ekspresi kebingungan Kal. "Tak perlu sekaget itu, Kal. Aku juga menyukai Jia kok." "Aku tidak—" "Tidak perlu mengelak." Rua mengibaskan tangannya seolah mengusir lalat. "Aku tidak sengaja melihat kalian berciuman di taman." Kal memberikan respon tak nyaman. Sifat Rua yang sering menebar senyuman benar-benar terlihat memuakkan di matanya. Dia tahu di balik senyum itu terdapat seringai yang jahat, pria ini bisa sangat rapi menyembunyikan wajah aslinya. Suatu saat nanti, Kal pasti akan mengungkap jati dirinya, dia bersumpah. "Kalau kau khawatir mengenai ciuman itu, aku akan mengklarifikasinya segera." Kal merasa bodoh membicarakan ini, tapi dia tetap melanjutkan, "Ciuman tadi hanya kecelakaan. Kalau kau memang menyukainya, aku akan memberikannya padamu." Rua tersenyum tipis. "Apa kau baru saja menganggap Jia itu sebuah barang?" Kal menggebrak meja hingga keyboard di sana bergeser. "Jangan mengubah-ubah perkataan orang, berengsek!" "Wow! Tenanglah, bung! Kau ini memang orang yang temperamental, ya?" Kal bergeming. "Bagaimana kalau seluruh kantor ini tahu kalian berciuman di jam kerja? Kira-kira apa yang dikatakan bos padamu?" Kal berdiri dari kursi panasnya tiba-tiba. Benda mati beroda itu berjalan mundur karena gerakan tiba-tiba tersebut. "Kau sedang mengujiku, ya?" "Tidak. Kenapa kau berpikiran seperti itu?" Kalau ada penghargaan bagi orang yang bisa menahan kesabarannya selama ini menghadapi senior yang berisik-bisa dipastikan Kal akan mendapat medali emas sekarang juga. "Aku tidak peduli jika kau memang ingin melaporkan kejadian itu, tapi tolong jangan seret Jia untuk masalah ini," kata Kal. Peraturan di kantor ini memang sedikit kolot, tapi Kal tak sebodoh itu untuk tidak mengingatnya. Pertama; dilarang berpacaran di kantor. Kal cukup sadar dia melanggar bagian itu walaupun kejadian yang dialaminya sama sekali tidak direncanakan. Konteksnya juga berbeda, mereka tidak sengaja berciuman, namun orang lain pasti akan berpikiran sebaliknya. Nyatanya jika Kal bersikeras menyangkal itu dan berbalik membalas keras kepala Rua dengan keras kepalanya sendiri, dia yakin akan jauh lebih unggul. Namun, Rua pasti punya rencana licik karena setiap kali mereka sedang berdua, anak itu selalu memancing emosinya. Jadi, yang harus dilakukan Kal sekarang adalah; tidak terpancing oleh omongan itu. "Kau memang pembimbingku. Ini sudah keterlaluan. Aku tak peduli lagi jika aku tak diterima di kantor ini pada akhirnya." Rua bergumam dengan santai. Matanya menatap Kal dengan pandangan absolut. "Bagaimana, ya? Apakah aku mendapat jaminan agar tak melaporkan itu?" "Kau memerasku?" jawab Kal jengkel. Dia berdiri, menarik kerah baju Rua. Benar-benar tak peduli dengan catatan baik supaya diterima bekerja di kantor ini. Harga dirinya sudah tercabik-cabik. Dengan mudah, Rua menyingkirkan tangan Kal dari bajunya. Tersenyum simpul. "Aku hanya mencoba menyadarkanmu, Kal. Tidakkah kau sadar kalau Jia sangat menyukaimu?" Kal tidak bergerak. Seluruh tenaganya terserap dengan fakta yang baru saja terlontar dari bibir Rua. Sebenarnya tidak perlu diingatkan, Kal sudah sangat peka bahwa Jia masih menyimpan perasaan padanya. Gadis itu memang menyangkal, tapi matanya tidak pernah bisa membohongi Kal. Tanpa sadar dia mengusap bibirnya sendiri. Ada bekas bibir Jia yang masih menempel di sana. Kal melipat bibirnya, berharap ada rasa manis yang tersisa, tapi dia tidak menemukannya. Rua menepuk punggungnya dan membuat Kal terkesiap. "Jangan sia-siakan orang yang menyukaimu, Kal, kau tidak akan menemukan yang setulus gadis itu dua kali." Tulus? Bahkan Kal tidak tahu apa itu tulus sejak dia datang ke kehidupan Liu untuk memanfaatkannya. Apakah lelaki jahat sepertinya pantas untuk mendapatkan ketulusan dari orang-orang itu. Liu dan Jia. Kal berdeham sembari merapikan posisi kerah bajunya. Soal catatan baik dia sudah tidak memikirkannya. "Aku mau keluar untuk merokok. Kau mengizinkanku, senior?" Rua tersenyum sangat lebar seperti biasa. "Tentu saja." Meskipun Kal ingin membuat Rua kesal dengan izin itu, tapi sepertinya yang kesal justru dirinya sendiri. Pria itu meskipun selalu memasang senyum ramah, hatinya benar-benar seumpama batu. Kalaupun pada akhirnya Kal tidak diterima di sini, Kal berharap itu tidak akan mempengaruhi pekerjaan Jia ke depannya. Kal sudah mempersulit Jia begitu banyak. "Ah, pegawai baru, kebetulan kau ke sini. Aku baru saja akan ke ruanganmu." Kal menaikkan alis. Salah satu security yang berjaga di bagian lobi tampak memasuki bagian front office. Pria berseragam hitam itu berlari kecil menghampirinya. Rambutnya klimis, jejak minyak rambut terasa sangat pekat sampai Kal mengira-ngira berapa banyak yang dipakainya hari ini. "Kau tidak menelepon lewat intercom?" tanya Kal, kebingungan. Ini adalah hal yang langka, security jaga mencari pegawai sampai masuk ke dalam kantor. Security yang diketahui bernama Ibi itu menggeleng. "Aku sudah mencobanya, tapi kau tidak di ruangan. Tuan Rua bilang kau keluar untuk merokok." Kal mengangguk. "Oh, ya, ada seseorang yang mencarimu. Dia menunggumu di lobi." "Siapa?" tanya Kal cepat. Jantungnya berdegup. "Dia menyebut namanya adalah Sed." Ibi mengingat-ingat. Jantung Kal kembali pada ritme normal dengan pasti. "Oh." "Kau mengenalnya?" "Iya, dia—" Kal menjeda, memikirkan nama kekerabatan yang cocok untuk pria menyebalkan itu, "—temanku." "Baiklah, segera temui dia. Aku sudah menyuruhnya masuk, tapi dia menolak." Kal menjawabnya dengan anggukkan. Saat melewati pintu kaca yang bergeser otomatis, Kal melihat pria bertubuh kurus berdiri membelakanginya di dekat meja satpam. "Darimana kau tahu aku di sini?" tanya Kal. Sed berbalik dan memasang ekspresi terkejut yang dibuat-buat. "Sepertinya kau sedang sibuk, kau datang dengan wajah marah." "Apa maumu sebenarnya?" Mata Sed berkeliling pada jajaran gedung yang berada di sekitar tempatnya berada, masih dalam satu lingkup di perusahaan besar itu. "Kau bekerja di perusahaan besar secara sembunyi-sembunyi rupanya. Kenapa selama ini kau mengaku sebagai penjaga tiket kereta?" Sed jelas salah paham. Kal memang belum sempat memberitahu Liu karena ingin memberi kejutan pada pria itu. Tetapi rasanya itu juga tidak perlu, mengingat Kal mungkin akan dipecat sebentar lagi. "Katakan intinya, Sed, aku sedang sibuk." Sed menatapnya dengan cemooh. "Sibuk? Apa posisimu begitu penting di kantor besar ini?" Kalimat Sed jelas sebuah sindiran. Kali ini Kal berusaha kuat menahan diri supaya dia tidak kelepasan kontrol seperti tadi. "Aku memang tidak ada waktu. Ini jam kerja," pungkas Kal. Sed menatapnya dengan menyelidik. Dia ingin sedikit bermain-main dengan pria yang sangat dicintai Liu ini. "Oh, ya? Kukira kau tidak sekaku itu—bekerja dengan sangat rajin?" "Jika kau hanya ingin menghinaku, lebih baik aku pergi," sahut Kal dingin, berbalik. Mood-nya sedang sangat buruk karena Rua, sekarang ditambah pria menyebalkan ber-title sepupu Liu. Hari ini memang hari yang super. "Liu ada di rumahku." Dugaan Sed tidak meleset, Kal menghentikan langkahnya karena kalimat itu dan berbalik. "Apa?" tanyanya dengan kerutan di dahi. "Aku bilang, Liu ada di rumahku."—Tepatnya di rumah Teo, Sed menggumam dalam hati. "Aku yang menahannya di rumahku. Tidakkah sebaiknya kalian memang berpisah seperti ini, Kal?" Kal berkata tak acuh, "Katakan saja itu pada sepupumu sendiri." "Aku akan melakukannya setelah ini. Tolong jangan menangis meraung setelah dia meninggalkanmu, mengerti?" Kal tersinggung dengan ucapan pria itu. Kedua lengannya bersedekap di d**a, mencoba menutupi rasa takut jika apa yang disimpulkan oleh Sed benar. Yang harusnya terjadi di sini adalah bukan Liu yang meninggalkannya, tapi Kal yang akan meninggalkan pria itu. "Liu tidak mungkin meninggalkanku karena dia sangat mencintaiku." Sed menatapnya dengan remeh. "Benarkah?" "Tentu saja," kata Kal percaya diri. Sed bergeming. Ekspresinya sudah mengalahkan datarnya tembok. Kedua lelaki itu saling melemparkan tatapan permusuhan. Bukan jadi rahasia lagi kalau mereka berdua adalah dua kepribadian yang sama-sama keras kepala. Kal bukan orang yang semudah itu bisa dilecehkan. Sejak pertama kali mengenal Sed hingga sekarang ini kebencian Kal padanya makin meningkat setiap harinya. Kal punya alasan yang kuat. Dia tidak tahan dengan Sed sebab pria itu mengidap cousin complex yang akut. Keprotektifannya terhadap Liu sangat mengerikan. "Aku akan melihat sejauh mana rasa percaya dirimu itu," ujar Sed kalem, berdebat di tempat seperti ini bukan gayanya. "Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu, untuk sementara Liu akan tinggal bersamaku hingga waktu yang tidak ditentukan. Tolong jangan membuat kontak apa pun padanya sampai dia sendiri yang menghubungimu, mengerti?" "Tidak." "Ya, aku tahu kau memang bodoh, tapi untuk kali ini kau harus mengerti. Kau tidak tahu bahaya apa yang sedang berada di sekitarmu, 'kan?" "Apa maksudmu?" Sed menaikkan sebelah alisnya. "Apa lagi? Berandalan sepertimu tentu punya banyak musuh di Valmore." "Kau—" "Jangan mendekat." Kedua tangan Sed terulur ke depan d**a Kal saat pria itu maju, kemudian mendorongnya dengan cepat. "Cukup lakukan apa yang aku katakan, preman." Mata Kal berkedut. Angin berpaling ke arah di mana Sed melangkah dengan cepat memasuki mobilnya. Kal mengenali mobil hitam tersebut, itu memang kepunyaan Liu. Hal itulah yang membuat kosa katanya tiba-tiba menghilang. Pikirannya berkecamuk. Ada apa sebenarnya, Liu? tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD