Part 8

2194 Words
Teo meletakkan sepiring pancake apel ke meja makan. Tepatnya, dia menaruh sajian manis itu tepat di hadapan Liu. Bergulir pada piring lain, dia mendorong sajian kedua berupa sandwich dengan irisan tomat dan daging asap. Pandangan Liu tidak berubah melihat sajian itu. Teo meliriknya. "Makanlah." Alih-alih menuruti, Liu punya pertanyaan yang ingin dilontarkan, "Di mana Sed?" "Pulang ke rumahnya ... kurasa." Teo berbohong. Tangannya memotong secuil pancake yang sudah dibaluri madu. "Makanlah sesuatu yang manis sekali-kali, Liu." "Teo?" Empunya nama memberi gumaman kecil. "Kau tidak sedang membohongiku, 'kan?" Teo menghela napas. "Aku tidak tahu tepatnya, itu bukan urusanku. Kau bisa bertanya langsung pada Sed ketika dia sudah pulang." Liu menggigit bibirnya. Teo yang melihat hal itu menjadi merasa bersalah, sebab kemungkinan nada bicaranya barusan tidak begitu menyenangkan bagi Liu. "Makanlah dulu. Kau belum makan apa pun sejak kemarin," pintanya dengan nada memohon. "Omong-omong bagaimana lukamu?" Liu mengerjap. "Sudah membaik." "Baguslah. Katakan padaku jika kau merasa sakit." "Sebenarnya apa yang terjadi padaku?" Liu bertanya lagi. "Aku hanya mimpi buruk, 'kan?" Gerakan tangan Teo terhenti di udara. Ruang dalam tenggorokannya tersumpal sesuatu, rasanya tercekat. Kurang lebih dia sering mengobrol dengan Liu. Tetapi, kali ini lain. Pria di dekatnya ini seperti bukan Liu yang biasanya. "Menurutmu?" Teo memotong pancake-nya lagi, kali ini dengan potongan lebih besar. Santapan itu menyumpal mulutnya sampai penuh. "Seperti nyata bagiku." Teo melirik perban yang melilit di kepala Liu. Luka di dalamnya tidak terlalu parah, namun cukup untuk menyulut kemarahan Sed malam kemarin. Sama halnya dengan yang dirasakan Liu, Teo juga merasa semua seperti mimpi; melihat pria itu terbaring di lantai dengan luka dan pakaian yang terkoyak. "Semuanya seperti nyata, Teo," kata Liu dengan nada yang agak melirih. "Aku bertemu dia di sana. Dia melukaiku." Teo tahu siapa yang dimaksud 'dia' oleh Liu. "Lalu bagaimana kenyataannya? Lihat luka di tubuhmu. Menurutmu itu apa? Luka itu tidak datang dengan sendirinya, bukan?" Luka. Tentu saja. Liu langsung menegang. Teo menyadarinya dan segera berdiri di samping pria itu. Dia merasakan tubuh dalam genggamannya bergetar dengan tangan yang mencengkeram erat pinggiran meja. "Liu, tolong, kendalikan dirimu." Teo memberi sugesti, tangannya mengusap dengan pelan bahu Liu. "Kau harus belajar mengendalikan diri. Lihat. Kau di sini bersamaku. Kita adalah teman." Masih dengan gemetar, Liu menutup kedua telinganya yang berdenging. "T-Tidak bisa," racaunya. "Kau harus melawannya." Liu menggeleng. Dadanya menyempit. "Aku butuh obatku," katanya bersikeras. Teo menarik tangan Liu. "Bukan matamu sekarang dan bernapaslah pelan-pelan. Perhatikan baik-baik sekelilingmu, tempat ini nyaman, kau jangan takut. Kau tidak membutuhkan obat apa pun, mengerti?" Kelopak mata pucat itu terbuka, memperlihatkan pupilnya yang mengecil ketakutan. Jemarinya saling bertaut dengan keringat dingin yang berproduksi lebih banyak. Teo mengusap kembali bahunya. Lalu beralih pada kepalanya. Kalau seperti ini, dia merasa seperti memiliki seorang adik. Teo berinisiatif menuang air putih dalam gelas dan menyerahkannya pada Liu. "Minumlah, kau butuh itu. Jangan sekali-kali kau memikirkan sesuatu yang terlalu berat." "J-Jadi—" "Apa pun spekulasimu, kujawab; ya." Teo memotong. "Dan karena kau sudah mendapatkan jawabannya, aku minta kau untuk tidak memikirkannya lagi." Keheningan menyergap dengan canggung. Suara pisau beradu dengan piring terdengar saat Teo mulai memotong secuil pancake lagi. Sesekali matanya mengarah pada Liu. Pria itu pasif, jemarinya masih menaut satu sama lain. "Liu?" tegurnya. Liu menoleh secepat kilat. Teo membalasnya dengan senyum yang amat tipis, senyum yang menenangkan. "Kalau kau mau menghabiskan makananmu, aku janji akan menceritakan semua yang aku tahu—dari sudut pandangku, bagaimana?" Liu tahu kalau dia harus tersenyum. Maka dia tersenyum. Dia menarik piring sandwich dan melahapnya. Liu bahkan tak melewatkan sedikit pun cerita yang Teo beberkan padanya. Teo memberitahunya bahwa Sed pergi untuk menemui Kal dan membicarakan beberapa hal. Sebelum benar-benar tahu alasannya, Liu merasakan jari-jarinya berkeringat dan dia merasa marah. Kenapa? Dendam apa yang memenuhi hati Sed terhadap Kal sehingga dia terus mengganggu hubungan mereka? Kal adalah pria yang sangat baik dan bukan penuntut. Dengan kebaikannya Kal selalu berhasil membuat Liu melihat dunia luar yang selama ini dia tutup. Kal juga berkata  bahwa bersembunyi di kegelapan itu seumpama menggali sebuah lubang untuk menimbun kertas, lama kelamaan akan rapuh dan hilang; seperti sebuah hati. Percaya atau tidak kalimat itu berhasil menggugah benak Liu. Kal seperti cahayanya dalam gelap. Tetapi kenapa ... tak ada yang melihat kebaikan kecil itu dari sosok seperti Kal? "Aku pulang," sebuah teriakan datang dari pintu, lalu Sed muncul melintasi meja makan dengan senandung kecil di bibirnya. Liu langsung bangun dan menghadangnya tanpa pikir panjang. "Oops! Hei! Ada apa?" "Apa maksud semua ini, Sed?" kata Liu dengan nada menuntut. Namun pria yang dimaksud tidak memedulikannya, dengan santainya membuka lemari pendingin dan mengambil air di sana. "Katakan padaku untuk apa kau menemui Kal? Apa yang kau bicarakan dengannya?" Liu bersikeras. Mengikuti sepupunya yang telah lepas dari dahaga, dan punya tujuan lain, ruang keluarga. Pria bermata ungu itu mengerling pada Teo yang menatapnya dengan wajah tak terdeskripsi. Lantas dia mengambil remot dan menyalakan layar plasma di depannya. Masih menutup mulut. "Sed!" bentak Liu. "Ada apa, hm?" balasnya pongah. Liu tidak bisa menahan kemarahannya, dia menarik remot dan menekan tombol off di sana. "Hei!" "Katakan padaku kenapa kau menemui Kal?" Liu menarik kerah bajunya. "Jangan berani bicara macam-macam padanya!" "Lepaskan!" Satu entakan berhasil membuat cengkeraman itu lepas. Sed membenarkan posisi duduknya dan sengaja menatap wajah Liu dalam jarak dekat. Auranya mengintimidasi. "Otakmu benar-benar sudah penuh dengan racun! Apa yang dilakukan berandalan itu sampai-sampai kau berani berniat memukulku? Hah?!" "Dia pacarku!" teriak Liu tidak peduli. "Aku akan melawan siapa pun yang mengganggunya!" Sed berdecak. Dadanya bergemuruh karena rasa iri dan marah. Sebelum dia meledak, dia menarik napas dalam-dalam dan mengendurkan bahu di sofa. "Aku menyuruhnya untuk menjauhimu," pungkasnya. Dia mengangkat tangannya pada saat Liu akan menyela. "Ya—kau marah padaku. Bagus. Tapi aku tidak peduli." Sunyi senyap. "Sudah kukatakan kau harus meminta izin padanya," sahut Teo dari ruangan lain, suaranya kecil, namun masih terdengar. "Kau memang tidak pernah mau mendengarku." "Diam kau!" hardik Sed. Pandangannya mengarah pada Liu yang menatapnya dengan tatapan bengis dan napas yang kembang kempis. Ini pertama kali Sed melihat sepupunya punya tatapan seperti itu. Sed menduga kalau Liu sudah mengetahui rencananya dari Teo dan membuatnya sangat murka. "Asal kau tahu, aku melakukan ini demi kebaikanmu." "Memangnya apa yang kau rencanakan?" "Bukankah Teo sudah memberitahumu?" Sed balik bertanya. Tak lama sosok yang dimaksud muncul sambil membawa minuman kaleng. "Tidak, belum," jawab Teo. "Aku hanya mengatakan kalau kau ingin menemui Kal. Tapi dia terlanjur marah dan tidak mau mendengar penjelasan apa pun." "s**t! Ini jebakan?!" Embusan napas Sed meluncur serupa ban bocor. Tubuhnya meringkuk di sofa dengan kedua kaki naik ke atas. Sebelum itu dia mengeluarkan ponsel dari kantungnya. Ponsel milik Liu. Hal itu membuat Liu sadar bahwa ponselnya memang tidak ada padanya. Lagipula Liu tidak ingat pada benda itu semenjak dia sadar dari pingsan kemarin malam. Tangan Sed dengan lincah membuka menu di dalamnya. Beberapa saat saja, dia langsung menunjukkan sesuatu yang ada di sana pada Liu. Pria bermata silver itu sukses membelalak. "I-Ini—" "Benar," Sed menyela, "Kal berselingkuh." Terdengar suara kait kaleng yang terbuka dan soda yang mendesis, Teo menenggaknya buru-buru karena isinya nyaris tumpah. Pria oranye itu memandang bergantian kedua saudara sepupu yang dilanda keheningan yang janggal itu. Yang pasti Teo sudah mengetahui apa isi gambar yang diperlihatkan Sed pada Liu. Sed melirik sepupunya sebentar sebelum melanjutkan, "Dan kau tahu siapa yang mengirim foto ini ke ponselmu?" Liu tidak menjawab, dahinya mengernyit. Tidak ada alasan untuk Sed berbohong. Dia menarik napas. "Rua." Tubuh Liu jatuh merosot ke lantai, kaki-kakinya terasa seperti agar-agar yang rentan. Sepasang tangannya mulai bergetar, tepat setelah mendengar nama itu. Sed segera berjongkok di sampingnya. Memegang bahunya. "A-Aku ...." Sed menariknya berdiri. "Jangan pikirkan apa pun, aku akan mengantarmu ke kamar." Tetapi Liu cepat-cepat menepisnya dengan tangan gemetar. Dia menatap Sed, dan matanya telah berair. "A-Aku butuh ponselku," katanya terbata-bata. Sed melihat dahi pria itu mengerut dan ekspresinya tampak linglung dan kosong. Jadi Sed menariknya lagi. "Kau butuh istirahat." Tangannya ditepis lagi, hanya untuk dicengkeram kuat oleh sepasang tangan "Aku butuh ponselku, Sed." Liu memohon. "Di mana ponselku?" Sed mendengus remeh. "Kau mau apa dengan benda itu? Seluruh nomor kontak Kal sudah aku hapus." Liu tahu Sed akan melakukan hal itu. Tetapi nomor Kal sudah tersimpan rapi di dalam kepalanya. "Sed, kumohon?" "Kenapa kau tidak mau menuruti sepupumu ini sekali saja?" "Aku harus memberitahu Kal sesuatu. Aku butuh ponsel." "Liu, aku tidak berpikir seperti itu," timpal Sed kalem. "Kau tidak butuh ponsel. Yang kau butuhkan hanya beristirahat di sini." Dari sofa berbeda di ruang santai itu, Juugo memerhatikan mereka, mencoba untuk tidak ikut campur. "Aku ingin mengatakan sesuatu padanya." "Tidak." "Kita tidak bisa berdiam diri begini, sementara Kal terancam!" Liu mengerang jengkel. "Kal dalam bahaya!" "Kalau kau menjauhi Kal maka Rua akan melakukan hal yang sama." Liu menatap Sed dengan ekspresi marah. Ujung pakaian habis diremat oleh tangannya yang dingin. Sedikit lagi air matanya jatuh. Kalau dia tidak bisa menahannya, akan ada kubangan air wastafel kedua di sana. Sed melirik dengan sangsi. "Ini adalah pilihan terbaik. Tolong jangan paksa aku untuk luluh. Kau tahu seperti apa diriku kalau melihatmu menangis." "Aku tidak menangis." "Ya, kau tidak menangis!" Sed mendadak kesal setengah mati. "Dia itu selingkuh darimu, Liu!" Liu merasa tersinggung. "Kau tidak mengenal Kal, dia tidak mungkin melakukan hal serendah itu!" "Tidak perlu mengenalnya untuk tahu dia pria seperti apa. Dalam sekali lihat di mataku dia adalah pria urakan dan bodoh." Liu ingin sekali memukul wajah sepupunya, tapi tangannya hanya diam seperti dipasung. Kedua tangan Sed terlipat di d**a. Keadaan menjadi hening, Sed mulai menekan tombol-tombol remot. Saluran televisi berpindah-pindah dalam hitungan detik dengan resonansi suara yang kacau. Tiba-tiba Teo berdeham. "Sed, aku pikir mereka perlu bicara. Kenapa kau tidak bersamaku ke dapur dan kita bisa membuat ramen. Bukankah kau lapar?" "Apa-apaan kau?" Teo mengangkat bahu. "Membantu pria malang ini ... mungkin? Sepertinya dia sangat membutuhkan ponselnya." "Tidak!" Kepala Sed memang keras seperti batu. Lagipula, tidak ada yang bisa mengubah kalimat negatifnya dengan mudah begitu saja. Harus ada intimidasi keras, meski itu berarti memulai percekcokan lagi. Teo menghampiri Sed dengan langkah ringan. Berdiri menjulang di depannya dengan aura gelap. "Di mana kau sembunyikan ponsel itu?" tanyanya. "Ponsel mana yang kau maksud?" Sed balik bertanya. "Ponsel milik Liu." "Tidak ada. Mungkin aku sudah membuangnya di tong sampah. Kau ingin memeriksanya? Silakan saja." Sed lupa kalau Teo bisa keras kepala. "Ya, aku akan memeriksanya." Dia meraih kerah belakang milik Sed dan menariknya dengan keras. "Tapi kau harus ikut." Sed meronta melepas. "Apa-apaan kau ini? Lepaskan aku!" Seberapa kuat dia berusaha melepaskan cengkeraman Teo dari kerahnya, dia tak bisa. Teo memiliki porsi tubuh lebih besar dua kali lipat. Dapur terlihat sangat menyakitkan begitu mereka tiba di sana. Kaki Sed mengentak-entak sementara tangannya memukul lengan Teo yang keras seperti baja. Kekuatan mereka jelas tidak sepadan. Sedangkan Liu tergopoh-gopoh mengikuti mereka. "Lepaskan aku, berengsek!" "Tidak akan." "Oh, astaga." Sed merasa kepalanya mulai sakit. "Berikan ponsel itu," kata Teo bersikeras. Tangannya masih menarik-narik. "Sudah kubilang aku tidak akan memberikannya!" "Kau benar, kau memang sedang menantangku, 'kan?" Tanpa bisa dicegah, tangan Teo memelintir kerah bagian belakang milik Sed membuatnya tercekik erat dan terbatuk-batuk. "Teo—ah! Iya, iya. Fine. Baiklah!" Sed berteriak. "Lepaskan aku dulu! Leherku tercekik! Ouh—Teo! Lepaskan—" Lantai dapur terasa sekeras beton saat tulang ekornya terbentur. Sed menggeram tertahan sambil mengumpat-umpat. Dia berteriak protes. "Kau—apa yang kau lakukan?!" "Melepaskanmu," kata Teo kalem. Melirik pada Liu yang menatap mereka tanpa berkedip. "Padahal aku sudah memikirkan cara lain kalau cara ini gagal." "Membusuklah di neraka," kutuk Sed. "Bersamamu?" Sed memutar matanya, mengumpat, tulangnya berderak saat mencoba bangun. Dia mulai merogoh kantungnya dan mengambil ponsel milik Liu. Dia melemparnya asal-asalan. Saat itu, Liu punya kesigapan tinggi dengan benda miliknya. "Kuharap akulah yang membunuh Kal jika dia ada di hadapanku sekarang. Tch! Membuat repot saja." Sed memegang pinggangnya hati-hati, bagian itu sedikit ngilu. "Perlu bantuan?" Tangan Teo ditepis kuat oleh Sed. Dia berdecih, kemudian beranjak menuju ke kamar disusul bantingan pintu yang kuat dan nyaring. Teo mendesah. "Aku harus minta ganti rugi pintu nanti." "Terima kasih, Teo." Kedua alis Teo bertaut. Liu sama sekali tidak menatapnya. Tangannya terkulai di sisi tubuh. Pandangan kosong dan linglung. Teo mengerti situasi apa yang berperang di kepala Liu. Ledakannya benar-benar membuat orang vertigo. Dia berharap Liu bisa segera mendinginkan kepalanya. "Katakan padaku, apa yang akan kau bicarakan dengan Kal?" Liu mendongak. "Aku tidak yakin, tapi aku rasa akan lebih baik kalau aku tidak merahasiakan apa pun darinya," katanya melirih. "Apa kau khawatir padanya?" Tidak ada yang bisa Liu katakan untuk menjawab. Sebaliknya, dia kembali menunduk sambil menggelengkan kepalanya. "Entahlah. Aku bahkan tidak bisa menebak, apakah pria itu benar-benar mengincar Kal." Teo sependapat dengan Liu. Baginya apa yang dilakukan Rua mungkin hanya sebuah gertakan dan umpan. "Aku tidak terlalu mengenal Kal, tapi dia bukan pria yang perlu kau cemaskan." Teo menjeda sebentar, kemudian melanjutkan, "Dan meskipun aku tidak suka cara Sed, tapi aku setuju dengan rencananya. Itu adalah rencana yang terbaik dalam keadaan mendesak seperti ini." Sunyi senyap. "Kalau kau tidak ingin Kal terancam, maka menjauhlah darinya. Katakan padanya dengan cara baik-baik." "Cara baik-baik?" gumam Liu, terapung dalam kebimbangan. Teo menepuk bahu pria itu, memberi remasan ringan. "Temuilah Kal dan katakan kau ingin putus." Liu membeku oleh kalimat penuh aksentuasi yang diberikan oleh Teo. Bibirnya yang mengatup rapat melengkung dengan getir. Habis sudah. Kubangan air di matanya jatuh sesaat dia tahu kalau Teo sudah menghilang dari sekitarnya. Rasa sakit ini benar-benar datang tanpa permisi. "Sial!" tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD