2

443 Words
Bapak gelagapan, melihatku yang tiba-tiba tersadar. Bukannya menjauh melihat penolakanku, Bapak semakin mendekat. Selimut yang hanya menutupi bagian perut ke atas ditarik paksa. Membuatku semakin melawan meski tanpa suara. "Jangan ngelawan!" Bapak semakin mendekat, membuatku mau tak mau juga bangun menjauh darinya. Tanganku terasa dingin dengan keringat yang terasa mulai membanjiri badan. Tak tertinggal air mata yang terus saja keluar karena takut menghadapi situasi ini. Dalam hati, sekuat apapun aku berharap supaya pria yang kusebut Bapak ini akan segera berhenti. Sayangnya, tak akan ada yang mendengar mengingat kekuranganku yang tak bisa sekadar berteriak bahkan berbicara. Sejujurnya, bisa saja Dany menolongku yang kamarnya kebetulan berada tepat di samping kamarku. Namun, segera bayangan itu kulenyapkan. Pria itu selalu menyumpal telinganya dengan headset. Belum lagi Ibu, pukul sepuluh begini ia pasti tertidur kecapekan karena seharian bekerja. 'Pak, jangan begini, Pak. Tuhaan, toloong!' Bapak tersenyum biadab. Seolah senang melihatku yang tak bisa bergerak kemanapun. Badanku kian terpojok pada sudut pintu tak tahu lagi harus mengelak kemana. "Enak nggak barusan?" Bapak tak lagi berusaha mendekat. Senyum setan masih bertengger di bibirnya. Dengan congkak Bapak berdiri di depanku dengan tangannya bertumpu pada pinggang. Cuihh! Bapak meludahku, kemudian kembali tertawa. "Jangan munafik, Hilma. Aku tau kamu juga butuh senjataku ini," ucap Bapak seraya menggosok kemaluannya. Aku menangis. Merutuki diri yang bisa-bisanya terbuai dengan apa yang terjadi. Terbuai dengan mimpi palsu padahal nyata adanya. Dan satu hal yang membuat heran, aku tak tau dari mana bisa ia menyelinap ke kamarku. Baik pintu atau jendela, seingatku sudah kututup dengan rapat. 'Aduhh! Pak, jangan, Pak! Ampunn!' Bapak menarik kakiku hingga tubuhku terseret di lantai. Kulambaikan tangan padanya sebagai isyarat memohon jangan. Namun pria itu seolah buta sama sekali tak menghiraukanku. Ia menyeretku dengan cepat lalu berhenti saat sampai di tepi tepat tidur. Sekuat tenaga aku mencoba memberentak, namun sekuat tenaga ia juga berusa mengangkatku dengan tak lupa tangannya yang sengaja meremas kemaluanku seolah menggendongku dari depan, dengan satu tangannya yang ia selipkan di bawah kepala. Beberapa kali ia mencoba, beberapa kali pula aku terjatuh karena pemberontakan yang kulakukan. "Kamu mau main di bawah rupanya, ya? Oke." Bajingan itu membuka celananya juga bajunya. Napasnya memburu meski senyum iblis tak lepas dari mulutnya. Dengan senjatanya yang mengacung keras, saat hendak menjatuhkan badannya di atasku. Entah kekuatan dari mana, sekuat tenaga ia kutendang sampai akhirnya menabrak pembatas kamarku dengan kamar Dany. Pria tua itu mengaduh lirih. Sorot matanya terlihata penuh nafsu dan amarah. Ia bangkit, kembali menuju ke arahku. "Woi, Bisu! Lu ngapain nendang-nendang kamar gue!" Dany berteriak keras hingga Bapak terlihat kaget. Yang dengan itu ia segera mengambil bajunya kemudian keluar lewat jendela yang baru kusadari sudah terbuka lebar. Pria brengsek itu membongkar jendelaku rupanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD