3

479 Words
Menjelang pagi, kantuk masih susah menyerang. Kejadian semalam berputar dalam bayangku seumpama slide. Aku tak tahu apa yang membuat Bapak seberani itu. Bahkan, ia berani menggosok kemaluanku yang sialnya kupikir itu hanya mimpi. Namun perbuatan Bapak selama membuatku melayang pada kejadian beberapa waktu siang. Saat itu aku ditugaskan Ibu menjemur pakaian di luar. Dengan telaten, kusampirkan pakaian tersebut satu persatu di atas pagar. Sebelumnya, aku tau jika Bapak memang sedang berada di belakangku. Tepatnya di pintu belakang. Hal itu tak membuatku heran. Toh, ia sibuk bernyanyi sembari bersiul di sana. Tak perlu kujelaskan bagaimana cara menjemur pakaian, terlebih pose menungging saat mengambil pakaian lainnya di dalam ember. Peraturan Ibuku, menjemur juga ada tata caranya sendiri. Dimulai dari pakaian besar seperti seprai lalu diikuti dengan pakaian yang terkecil. Pada saat itu, aku sedang memilih pakaian-pakaian besar seperti arahan Ibu. Pada saat itulah pantatku disentuh seseorang. Sehingga membuatku sangat terkejut sampai reflek langsung berdiri. "Jadi perempuan gausah jorok amat! Noh dipantatmu ada kotoran!" Setelah mengucapkan itu, Bapak berlalu tanpa mengucap sepatah kata pun lagi. Namun, masa itu tak membuatku mencurigai Bapak dengan kelakuannya yang bukan-bukan. Mengingat sejak kejadian itu ia bahkan tak pernah berprilaku aneh terhadapku. Hingga sekarang, potongan kejadian masa lalu itu membuatku sedikitnya berpikir. Kalau Bapak melakukannya bukan karena kebetulan. Akan tetapi, ia melakukannya penuh kesadaran juga dengan unsur sengaja. ******* "Ima, siang nanti banguni Bapakmu kalo Ibu belum balik, ya." Jika takdir tidak seperti ini mengatur keadaanku, ingin rasanya aku memberontak. Menolak perintah Ibu dengan pengakuan sejujurnya dariku mengenai kelakuan Bapak. Sayangnya, meski menggerakkan tangan dengan bahasa isyarat membalas perintah Ibu, Ibu sama sekali tak melihatku, masih terpokus pada nasi goreng buatannya yang akan menjadi sarapan kami pagi ini. "Anak angkat aja belagu, sih, lu! Udah nurut aja kenapa?!" Entah dari mana, Dany datang duduk di meja makan pada kursi yang bersebelahan denganku. Tampaknya pria yang lima belas tahun umurnya di atasku itu melihat penolakan yang kuberikan kepada Ibu barusan. Namun, saat status mulai disentil, aku sama sekali tak berani berkutik lebih dari itu. Seperti kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohon. Dany mewarisi sifat Bapak, ia bahkan tak segan berteriak atau memukul apa saja jika sedang marah atau perkataannya dibantah. "Hilma adikmu!" Ibu menatap Dany marah. Selain dengan Bapak, Dany juga menjadi pemicu rumah ini menjadi kacau. Bahkan dengan Ibu, ia berani berteriak bahkan membentak Ibu. "Ah, bacot! Bawa sini nasinya, lapar!" Ia memakan sarapannya bahkan tanpa mencuci mulut terlebih dulu. Makannya begitu cepat seolah pria gila yang baru saja bertemu nasi. Membuatku sedikit merasa jijik. Terlebih bau napasnya yang pecandu minuman alkohol dan perokok berat. "Ma, makan dulu. Ibu langsung berangkat kerja, ya?" Aku mengangguk, melepas Ibu dengan perasaan yang entah. Hanya dari mengemis di jalan Tol, ia menafkahi kami bertiga. Pernah kucoba meminta untuk ikut bersamanya, namun dengan keras Ibu menolak. Ia hanya memintaku menjaga Bapak dan Dany agar tak membuat kacau di rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD