4

401 Words
Meski dengan langkah yang perlahan, ragu mendera saat kaki mulai mendekat menuju arah kamar Bapak. Ingin rasanya aku memilih mengurung diri di kamar, menjauh dari pria b******k itu. Karena saat ini, rasanya aku seolah membawa diri pada pria itu, sudah barang tentu ia akan sangat senang. Namun, jika mengingat Ibu .... Pintu kamar itu sedikit terbuka. Mematahkan harapanku jika aku cukup memanggilnya saja dari luar jika pintu kamarnya terkunci. Hahah! Terkutuk! Tak hanya cukup bisu, semesta seolah mengutukku untuk sekadar berbahagia sehingga sedikit bantuan darinya seiring doa yang terus kurapalkan tak juga menolongku dari pria bermuka setan itu. Aku masuk. Pintu yang sedikit terbuka semakin kubuka lebar. Sebagai wanti-wanti. Di sana, di atas tempat tidur pria gembrot itu berbaring tanpa baju hanya mengenakan sarung penutup bawahnya. Sejenak, kaki takut untuk kulangkahkan. Padahal jarak pintu dengan tempat tidurnya tak begitu jauh. Hanya saja, segala kejadian yang telah berlaku membuatku semakin gamang. Badan kubalikkan, hendak keluar. Mengingat, ini tak boleh kulakukan. Meski nantinya aku harus pintar-pintar memberi alasan kepada Ibu jika pria itu mengadu dengan alasan aku tak membangunkannya. "Munafik!" Di belakangku, suara pria itu terdengar jelas disertai kekehan juga tangannya yang menyerbu badanku secara tiba-tiba. Seketika, darah dalam tubuhku seolah berhenti mengalir. Pun dengan jantung yang seolah berhenti berdetak. Sungguh, ini di luar bayanganku. Dengan kasar pria itu terus menarikku, membawa ke pojokan di mana di sisi kanan kiri diapit oleh ranjang dan lemari. Semula posisiku terduduk, tak menduga dengan mudah ia mendorongku sehingga terjatuh. Ia menyeringai dengan tangannya mulai membuka sarung. Di saat itu, aku mencoba bangkit lalu menjatuhkan diri di atas tempat tidur dengan kaki menjuntai mampu menyentuh lemari. Setidaknya, ini salah satunya cara meminta bantuan. Ia tertawa lagi dengan penuh nafsu. Memandangku hina seolah aku yang membawa diri kepadanya. Aku sudah menduga, permintaannya kepada Ibu supaya dibangunkan olehku hanyalah sebuah rencana belaka. Pria itu berdiri di antara kedua pahaku dengan tangannya yang kurangajar itu mulai menjamah kehormatanku. Aku tak menangis, karena yakin akan bisa loloa dari pria berbadan gendut itu. Saat tangannya mulai gencar menjamah ke sana ke mari, saat itulah aku menendang lemari. Seluruh tenaga kukerahkan demi menimbulkan suara yang berisik. Pria itu menamparku dengan perintah memintaku supaya berhenti. Sehingga kakiku ikut dipegangnya. Namun, aku terus menendang tak peduli apa saja ada di sana. Hingga kemudian .... "Sialan!" Bapak jatuh ke bawah disertai rintihan keras dari mulutnya. Sementara aku, berlari dengan pegangan kuat dari tangan pria muda itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD