"Aku tanya sekali lagi, apa kamu bisu?"
Tubuh Nada gemetaran, titik keringat dingin membasahi pori-pori kulitnya. Gibran memangkas jarak kemudian mengguncang bahunya dengan kasar.
"Jawab aku, apa susahnya bicara! Diammu sudah sangat keterlaluan! Sudah cukup! Katakan sesuatu." Gibran kembali menyuara dengan nada tinggi.
Tak ada yang aneh saat mereka bertemu untuk pertama kalinya beberapa hari yang lalu. Nada gadis yang cantik, wajah dan bentuk tubuhnya sangat indah bahkan melebihi keindahan wanita di luaran sana. Hanya saja, gadis itu memang sangat pendiam, dan Gibran sama sekali tak menaruh curiga akan hal itu.
Gibran yang kesal karena tak kunjung mendapat jawaban pun membanting gelas yang ada di nakas hingga kepingan kacanya berhamburan. Kilat amarah yang berkobar di matanya membuat Nada ketakutan.
Gadis itu tersiksa setiap kali mencoba untuk berbicara. Lidahnya kebas, dan sekuat apa pun ia mencoba untuk mengeluarkan suara, tapi tak sepatah kata pun bisa Nada ucapkan. Nada menangis dengan tubuh menggigil hebat.
"Jadi kamu benar-benar bisu?"
Tangis Nada terdengar semakin memilukan saat Gibran kembali menanyakan hal yang sama berulang kali. Dia tak berani sekedar menatap Gibran. Suaminya yang sejak awal begitu lembut memperlakukannya, kini berubah bak monster menakutkan dalam sekejap mata. Gadis itu menangkupkan kedua tangannya di depan d**a, hanya itu yang bisa ia lakukan sebagai ungkapan permintaan maafnya karena dia tahu, Gibran tak akan bisa mengerti bahasa isyarat bagi kaum istimewa sepertinya.
Nada tak henti mengatakan maaf dengan gerak bibirnya. Sialnya, hanya suara tangisnya saja yang terdengar karena untuk berbicara sangatlah sulit.
"Astaga! Aku menikahi perempuan bisu?"
Gibran menyugar rambutnya kasar. Ditatapnya Nada dari ujung kepala hingga ujung kaki. Demi Tuhan, tak ada cacat sedikit pun yang berhasil ia temukan. Menyadari istrinya hanyalah seorang wanita bisu seperti sebuah tamparan yang sanggup melemahkan Gibran.
Lelaki itu kini tahu, mengapa Nada tak pernah menjawab ucapan selamat serta doa dari para tamu undangan yang menyalami mereka sepanjang acara resepsi pernikahan itu berlangsung. Untuk mengucap janji suci pernikahan pun tak Nada lakukan dan yang dia lakukan hanya mengangguk atau memggelengkan kepalanya saat pemuka agama menanyainya beberapa hal. Sebagai gantinya pembawa acara menggantikannya membacakan sedikit tulisan tangan tentang isi hatinya.
"Kamu tahu, satu hal yang paling aku sesalkan di dunia ini, adalah menikahimu."
Nada menggeleng memohon pada suaminya agar tak berkata demikian. Sesal suami adalah seperti aib dan simbol kegagalan bagi seorang istri.
"Kamu lihat diriku baik-baik. Aku pria yang bisa dibilang sempurna. Sangat sempurna sampai kamu tidak menemukan ada satu pun kekurangan dalam diriku. Aku sangat tampan dan memiliki bentuk tubuh yang membuat kebanyakan wanita di luaran sana rela mengemis untuk naik ke ranjangku dan mengangkang dengan suka rela. Aku muda, dan kaya raya. Aku bisa mendapatkan apa pun yang aku mau dengan sangat mudah, termasuk wanita. Bagaimana bisa aku menikah dengan perempuan bisu sepertimu?"
Nada mengangsur tubuhnya kemudian memeluk kaki Gibran. Pancaran matanya dipenuhi kesedihan, titik bening yang terus berjatuhan menjadi saksinya. Memang benar ia bisu, tapi apa perlu suaminya mengatakan hal menyakitkan seperti itu padanya?
"Aku tidak sudi anakku terlahir dari rahim perempuan sepertimu. Sayang sekali jika benih unggulku harus terbuang sia-sia. Jika ibunya saja bisu, lantas bagaimana dengan nasib anak-anakku, kelak? Aku ingin anak yang normal! Aku butuh pewaris untuk meneruskan garis keturunan keluarga besarku. Dan kamu harus sadar diri, posisi itu sungguh sangat tidak pantas untukmu."
Nada masih terisak. Ia terus menggeleng sambil menggumamkan kata maaf meski tak ada suara yang keluar dari mulutnya selain geraman, tapi hal itu tak membuat Gibran luluh. Pria itu menepis kasar tangannya, mendorongnya sampai Nada jatuh terjungkal di lantai.
"Jangan berpura-pura di hadapanku. Dasar penipu! Apa kamu pikir air matamu itu bisa membuatku melunak? Jangan harap! Kamu dan keluargamu sudah menipuku. Bisa-bisanya dia memberikan aku seorang istri yang bisu? Keluarkan semua air matamu, bahkan sampai kamu menangis darah pun aku tetap pada pendirianku. Malam ini juga, aku akan menceraikanmu."
Nada meraung. Bagaimana bisa mereka bercerai di saat usia pernikahan mereka bahkan belum genap sehari? Bagaimana bisa Gibran dengan mudah melontarkan kata perpisahan di saat dia sudah membuat Nada menumpahkan darah keperawanannya?
Ranjang yang menjadi saksi bisu perjalanan indah mereka yang baru saja dimulai, bahkan masih berantakan. Tak ubahnya dengan kondisi Nada yang tak kalah mengenaskan. Noda darahnya belum mengering, luka yang ditinggalkan masih begitu terasa.
Namun, melebihi itu semua ada yang jauh lebih menyakitkan bagi Nada. Perceraian adalah hal yang paling ia takutkan. Nada tak sanggup membayangkan bagaimana reaksi keluarganya jika mereka sampai tahu bahwa pria pilihan mereka berniat menjadikannya janda hanya dalam waktu semalam.
"Kamu, dan keluargamu, kalian semua sudah menipuku. Kalian semua pembohong handal." Gibran memaki, meluapkan kekecewaannya. Tak puas dengan hanya membanting gelas, ia terus meninju dinding, menjadikan objek itu sebagai samsak. Akan tetapi rasa marah dan kecewanya pada Nada tetap tak berkurang sama sekali. Justru sesak di dadanya terasa kian menggelegak.
Nada bergeming. Tak ada yang bisa ia perbuat, toh seandainya ia bisa menjelaskan, Gibran belum tentu mau mendengarkannya. Hatinya terlampau sakit, dadanya sesak dan Nada benar-benar tak berdaya. Ia tak bermaksud mengecewakan suaminya, sampai rahasia besar itu akhirnya terkuak dan mereka sama-sama terluka.
Namun, tak ingatkah Gibran pada apa yang baru saja mereka lalui bersama?
"Besok pagi-pagi sekali, aku sendiri yang akan turun tangan langsung mengantarmu pulang untuk mengembalikanmu pada keluargamu, jadi bersiaplah. Kau mengerti ucapanku, bukan? Aku rasa kamu hanya bisu, bukan tuli atau bodoh."
Gibran mengutip pakaiannya yang berserakan di lantai dan memakainya dengan cepat. Berada dalam ruangan yang sama dengan Nada, dalam kondisi suasana hatinya yang masih sangat kacau tidaklah baik untuk kesehatan mentalnya. Sejak tadi uratnya seperti saling tarik menarik. Tegang. Tenggorokannya sampai terasa gersang karena Gibran terus berteriak.
Nada hendak mengejar suaminya, tapi kemudian langkahnya tertahan saat telapak kakinya yang telanjang menginjak serpihan kaca. Ia juga tersadar jika dirinya masih dalam keadaan polos. Setengah berjinjit Nada berjalan meraih jubah mandinya dan langsung membalutkan di tubuhnya untuk menghalau rasa dingin yang perlahan menggerogotinya.
Gadis itu duduk melipat kakinya di bibir ranjang. Dengan penuh kehati-hatian ia berusaha mencabut pecahan kaca itu dari kakinya. Darah masih mengalir dari sumber luka meski Nada berhasil mengambil benda terkutuk itu. Pandangannya lalu berpindah pada kasur dengan sisa-sisa bekas penyatuan mereka tadi, seperti kapal pecah menunjukkan betapa dahsyatnya ritual suci yang telah mereka lewati bersama.
Kelopak mawar yang berhamburan tak lagi terlihat romantis, tapi mengenaskan.
Sayang, dari sekian banyak hal yang sudah diserahkan Nada, tetap tak mampu meredam kemarahan Gibran. Jangankan untuk menggagalkan rencana perceraian mereka, Nada tak memiliki kesempatan untuk menjelaskan semuanya pada Gibran.
'Bagaimana perasaan keluargaku besok pagi saat Mas Gibran mengantarku pulang? Betapa sedihnya mereka jika tahu putri kesayangannya menjadi janda hanya dalam waktu semalam?'
Air mata Nada terus berjatuhan. Ia tak sanggup membayangkan dirinya menjadi janda dalam waktu secepat itu. Manisnya madu cinta belum seberapa ia rasakan, sedangkan pahit getirnya kehidupan yang ia terima jauh melebihi yang bisa Nada bayangkan. Sangat menyakitkan. Impian indahnya mengenai pernikahan dan masa depan yang cerah telah hancur lebur.