Gibran mencengkeram erat leher gelas kristal berkaki dengan genangan cairan merah pekat di dalamnya, lalu menenggak isinya hanya dengan sekali teguk. Satu botol wine dengan harga selangit telah memasuki lambungnya. Gibran kira minuman istimewa yang telah dengan susah payah dia dapatkan itu bisa ia nikmati untuk merayakan hari yang istimewa baginya, tapi kenyataannya bukan hari baik melainkan hari penuh kesialan Gibran rasakan.
Emosinya terkumpul di ujung kepala tiap kali teringat dirinya baru saja memperistri gadis bisu. Demi Tuhan, sampai kapan pun Gibran tak akan bisa menerimanya. Dirinya pantas mendapatkan gadis yang jauh melebihi Nada dari segala aspek. Hidup bersama Nada hanya akan membuatnya menanggung malu.
"Hentikan!"
Gibran menoleh, tatapannya tajam tak terima saat temannya merebut gelas di tangannya. Gibran berusaha mengambilnya kembali, tapi Romi dengan sigap meminumnya.
"Berengsek!" maki Gibran. Bahkan ketika ia kembali menuang minuman beralkohol itu dari botol kedua dan hendak meminumnya, lagi-lagi Romi berhasil merebutnya dan menyembunyikan botol tersebut.
"Apa sebenarnya maumu!" Gibran berdecih. Emosinya benar-benar tak terkontrol sejak satu jam yang lalu.
"Seharusnya kamu sedang menikmati malam pertamamu, jangan biarkan istrimu menunggumu terlalu lama," ujar Romi menyelipkan senyuman menggoda, menaikturunkan alisnya.
"Aku akan menceraikannya," cetus Gibran.
"Apa! Apa kamu sudah gila? Kalian baru beberapa jam yang lalu menikah, bahkan belum ada sehari dan kamu sudah berniat untuk menceraikannya?"
Romi terkejut bukan main. Ia paham betul watak temannya, Gibran tak akan dengan mudah menjalin hubungan dengan lawan jenis. Dan ketika Gibran memutuskan untuk menikah, itu berarti gadis yang dinikahinya telah berhasil merebut hatinya.
Namun, mendengar keputusan yang baru saja dilontarkan Gibran tadi tentu menimbulkan banyak pertanyaan bagi Romi.
"Aku sedang tidak bercanda." Gibran tersenyum satir membayangkan bagaimana ekspresi wajah Nada ketika ia kesulitan berbicara. Miris.
"Kenapa memangnya? Apa dia sudah tidak bersegel lagi saat kamu mencobanya barusan?" Romi mencoba menebak duduk permasalahan yang dialami sahabatnya.
Cerai bukanlah perkara mudah. Romi yakin ada kesalahan fatal yang telah Nada perbuat sampai Gibran berniat menceraikan istrinya bahkan sebelum satu hari usia pernikahan mereka.
"Dia bukan barang. Aku bahkan belum sempat membersihkan noda darahnya yang mengering dan menempel pada milikku." Ucapan Gibran melemah di akhir kalimatnya.
Romi membeliak menatap Gibran penasaran. "Lantas apa yang membuatmu bertekad menceraikannya, Gibran? Kau sungguh gila! Kamu bahkan sudah menikmati harta paling berharga yang Nada miliki." Menggeleng penuh rasa heran.
"Ternyata dia tak sesempurna seperti yang aku bayangkan selama ini." Gibran menjeda sejenak kalimatnya, membiarkan Romi mengambil napas untuk mendengar berita yang pasti juga akan mengejutkannya.
"Dia bisu," beritahu Gibran, lirih.
Romi ternganga. Apa yang baru saja didengarnya membuatnya nyaris mengalami serangan jantung.
"Ap-apa? Dia bisu?"
Gibran mengangguk, tatapannya berubah sendu dan dipenuhi penyesalan. Akan tetapi dari semua yang sedang Gibran coba sembunyikan, sorot kekecewaan dan marah yang begitu mendominasi.
"Bagaimana mungkin?" Romi menuntut jawaban. Hingga detik ini dirinya masih belum sepenuhnya mempercayai ucapan Gibran.
"Aku yang bodoh. Seperti membeli kucing dalam karung, aku sudah tertipu hanya dengan melihat penampilan luarnya saja tanpa mencoba mencari tahu lebih jauh lagi tentang gadis itu."
"Dia benar-benar bisu? Nada bisu?" Romi bertanya untuk memastikan jika pendengarannya masih berfungsi dengan baik. Untuk memastikan kebenaran dari perkataan Gibran.
"Kamu pikir aku bercanda untuk masalah seserius ini? Aku tidak punya waktu. Aku tidak akan membuang waktuku dengan percuma bersamamu di sini dan lebih memilih menikmati tubuh indah Nada di kamar. Aku tidak punya waktu untuk main-main," balas Gibran, sinis.
Oh, sialan. Milik Gibran kembali berdenyut saat teringat bagaimana aset Nada memanjakannya tadi. Pria itu mengumpat di dalam hatinya.
"Kalau kamu tahu dia bisu dan berniat untuk menceraikannya, kenapa kamu malah menidurinya?" tuding Romi sarkas.
"Itu dia masalahnya. Aku baru mengetahuinya setelah kami selesai melakukan itu."
Romi terbatuk. Hampir saja ia tersedak ludahnya sendiri. Apa yang dialami Gibran sungguh lucu dan aneh menurutnya. Mustahil dua orang dengan lawan jenis itu tidur bersama tanpa berbicara sebelumnya, bukan?
"Jangan mengejekku," sindir Gibran tak terima dengan cara Romi menatapnya.
"Kau ini bodoh, lugu atau bagaimana? Apa sebelum melakukan itu kalian masih sambil diam tanpa membicarakan apa pun? Aneh sekali." Romi mencibir.
"Ah, sudahlah. Kau tidak akan pernah bisa mengerti sekali pun aku membuang waktu untuk menjelaskannya padamu. Hal itu terjadi begitu saja." Gibran berkata sambil menahan kesal.
"Astaga! Ini sungguh lebih rumit dari yang aku bayangkan."
Gibran yang mengalaminya, tapi Romi ikut dibuat pusing hanya dengan membayangkannya saja.
"Aku rasa dengan menceraikannya bukanlah solusi yang tepat, tetapi justru akan menimbulkan masalah baru."
"Apa maksudmu? Kenapa kau membelanya? Apa kau berada di pihaknya?" tuduh Gibran.
Romi menggeleng dengan senyum tipis menghiasi wajahnya. "Aku tidak sedang berada di pihak mana pun saat ini. Aku hanya sedang mengungkapkan kemungkinan yang bisa saja terjadi."
"Banyak wanita mengantre bahkan hanya untuk bisa menghabiskan malam denganku. Tidakkah kau berpikir kalau Nada sama sekali tak pantas menjadi istriku? Aku yang sempurna ini, pantas mendapatkan wanita yang ribuan kali jauh lebih baik dibandingkan dengannya." Gibran menyahut.
"Lalu membiarkanmu menghancurkan reputasimu sendiri," sambar Romi.
Kedua pria itu saling beradu pandang, Gibran masih belum dapat menebak arah pembicaraan Romi.
"Sudah jam dua, kembalilah ke kamarmu." Romi menatap arloji yang melingkari pergelangan tangannya dan bangkit dari kursinya.
"Hei! Kita belum selesai bicara, sialan!" Gibran mencegah kepergian sahabatnya.
"Masih ada waktu. Besok kita bicara lagi. Sekarang sebaiknya kembali ke kamarmu dan jangan mengambil keputusan dengan kondisi marah karena apa pun itu, aku tidak ingin kamu menyesalinya suatu hari nanti." Romi menepuk bahu Gibran sebelum ia benar-benar meninggalkan tempat itu.
"Apa dia sudah tidak waras dengan memintaku untuk bertahan? Istriku bisu, bagaimana dengan penilaian orang nantinya? Istri pengusaha muda yang karirnya tengah meroket hanyalah seorang tunawicara? Aku rasa seluruh dunia akan mentertawakanku." Gibran menggumam kesal.
Mau tidak mau, lelaki itu kembali mengayunkan kakinya menuju kamarnya di lantai atas gedung tersebut. Kejutan yang Gibran terima hari ini seperti mimpi buruk. Nada memang tipikal wanita idamannya, tapi bukan gadis bisu seperti itu. Andai saja waktu bisa diputar kembali.
Gibran memutar gagang pintu. Saat ia memasuki kamar itu, semuanya telah rapi. Pecahan kaca telah dibersihkan dan tak ada sisa-sisa bekas kekacauan akibat perbuatannya. Gibran melirik ke arah kasur, di mana Nada tergolek di sana seperti anak kucing meringkuk kedinginan. Ditatapnya wajah sembab yang masih basah akan air mata.
Nada tidur dengan hanya memakai jubah mandi saja. Gibran menggulir pandangannya sampai tiba-tiba matanya melotot melihat cairan merah yang m*****i bagian bawah Nada. Gibran maju untuk memastikannya, dan saat itulah pria itu dibuat terperangah.
"Astaga. Nada!"
Nada mengira luka di kakinya akan sembuh hanya dengan mencabut serpihan kaca pada sumber lukanya saja, tapi ternyata darah masih terus mengalir hingga menggenangi seprai.
Gibran terkesiap saat mencoba membangunkan istri yang baru dinikahinya itu, sekujur tubuh Nada terasa sangat dingin.
"Nada. Nada bangun! Buka matamu!"
Tak peduli sekeras apa pun Gibran mencoba membangunkan gadis itu, Nada tetap tak bergeming. Gibran mendekatkan wajahnya untuk mendengarkan detak jantung gadis itu.
"Ya Tuhan, Nada."
Gibran mengangkat tubuh Nada dan berlari meninggalkan gedung hotel. Ia terus berteriak seperti orang gila.
Namun, ada satu hal yang menurutnya di luar nalar. Kenapa juga Gibran musti repot-repot membawa Nada ke rumah sakit, padahal ia masih sangat marah karena merasa tertipu oleh wanita itu.