Hingga pukul empat pagi, Gibran masih terjaga menunggu Nada yang kini berbaring lemah di ranjang pesakitan. Sudah sejak satu jam yang lalu dokter pergi meninggalkan bangsal itu. Hening. Hanya deru napas dan detik jarum jam yang terus bergerak terdengar memenuhi ruangan.
Nada mendapatkan beberapa jahitan akibat luka di telapak kakinya yang ternyata menimbulkan robekan cukup dalam. Untunglah Gibran membawanya ke rumah sakit tepat waktu hingga Nada terhindar dari hal yang tidak diinginkan. Dokter mengatakan lukanya akan sembuh dalam beberapa hari ke depan.
Saat membetulkan letak selimut yang membungkus tubuh istrinya, tak sengaja Gibran melihat jejak cinta yang ditinggalkannya di d**a Nada. Sudut bibir lelaki itu terangkat mengingat kejadian manis yang dialaminya sebelum akhirnya semua keindahan itu lenyap tersapu badai.
"Kenapa kamu dan keluargamu bersekongkol untuk menipuku? Seandainya saja aku tahu hal ini sejak awal, mungkin rasanya tidak akan semenyakitkan ini."
Gibran menyandarkan punggungnya di kursi, lambat laun ia merasa matanya mulai berat. Lelah dan kantuk tak lagi bisa ia tahan sampai pada akhirnya lelaki itu tertidur.
Saat matahari mulai menyeruak di ufuk timur, langit yang semula gelap mulai berubah pucat. Nada mengerjapkan matanya dan langsung menyadari jika dirinya tak lagi berada di kamar hotel setelah melihat selang infus yang menempel di nadinya. Gadis itu tertegun melihat keberadaan Gibran di sisinya yang tertidur pulas di kursi.
'Apa dia tidak tidur semalaman?' Nada menggeleng tegas mencoba menepis perasaan bahagianya merasa diperhatikan oleh sang suami.
'Jangan berpikiran terlalu jauh Nada, dia pasti hanya kasihan padamu dan setelah dia bangun nanti bersiaplah untuk menerima status barumu sebagai janda karena Mas Gibran akan mengantarmu kembali ke rumah keluargamu.'
Seingatnya Nada tidur sambil menahan sakit semalam. Sakit pada hatinya yang menimbulkan lubang besar di sana, sakit pada area pribadinya yang baru saja diterobos untuk pertama kalinya, juga sakit pada telapak kakinya. Nada tak menyadari kalau dirinya ternyata jatuh pingsan, dan bukannya tidur.
Gibran menggeliat meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Tidur satu jam cukup untuk mengistirahatkan tubuhnya, meski ia juga merasa kepalanya agak pening. Melihat Nada telah bangun, kembali timbul percikan api amarah dalam diri lelaki itu.
"Apa kau bodoh! Kau mau mati dan menjadikan aku sebagai tersangkanya? Bagaimana jika aku terlambat membawamu ke rumah sakit, mungkin kau sudah tinggal nama! Sudah tahu kakimu terluka, kenapa membiarkannya begitu saja dan malah tidur tanpa mengobatinya?" teriak Gibran menggebu-gebu.
Pagi yang indah ini Nada tak berharap banyak. Ia hanya ingin diberikan jalan terbaik sekali pun pada akhirnya dia dan suaminya harus berpisah. Gibran terlihat sangat marah padanya, dan lagi, Nada tak bisa sekedar memberikan penjelasan.
"Apa sebegitu putus asanya dirimu karena akan kucerai, lalu kamu mencoba menjadikan lukamu itu sebagai ajang peruntungan?"
Tatapan keduanya saling bertemu saat Nada memberanikan diri menaikkan wajahnya. Ia bergeming. Bahkan untuk menggeleng sebagai pertanda penolakan kata-kata Gibran pun tak ia lakukan, karena Nada tahu hal itu tidak akan merubah apa pun. Percuma.
"Apa pun yang terjadi, ingat! Aku akan tetap menceraikanmu!" seru Gibran penuh ancaman.
"Jadi jangan pikir dengan menggunakan lukamu, dengan menatapku begitu, aku akan menjadi iba dan kemudian luluh. Sama sekali tidak!" tegas Gibran lagi.
Nada mengalihkan pandangannya tak mampu jika harus berlama-lama bertatapan dengan Gibran. Melihat ada pulpen dan kertas di nakas ia pun mengambilnya, lalu mulai sibuk menuliskan sesuatu di sana.
"Aku tahu kamu tidak akan pernah memaafkan aku. Keluargaku tidak bermaksud untuk menipumu, dia melakukan itu semua demi aku jadi jika ada orang yang harus disalahkan maka akulah orangnya."
Begitu kalimat yang ditulis Nada dan dia biarkan Gibran membacanya.
"Bawa aku pulang, dan katakan saja pada keluargaku kalau aku tidak layak menjadi istrimu. Carilah alasan apa pun itu, tapi tolong, jangan katakan apa pun tentang kebisuanku."
Kedua alis Gibran menukik tajam melihat tulisan yang kembali diperlihatkan Nada. Ada yang tersembunyi di kedalaman mata Nada yang tak bisa Gibran terka.
'Berani-beraninya dia mengaturku.'
"Bagaimana jika aku katakan kalau kamu sudah tidak suci lagi saat aku menyentuhmu?" Gibran menyeringai. Dia ingin menguji sejauh mana keberanian istrinya.
Gibran lebih suka memutuskan segala sesuatu untuk dirinya sendiri, dan dia tak suka diperintah. Usulan Nada barusan seperti sebuah penghinaan yang tak bisa Gibran terima. Tentu ia tak akan tinggal diam.
'Tak hanya mengatur, dia juga menantangku. Apa dia pikir aku main-main dengan ucapanku?' Lagi, Gibran membatin. Ia sungguh gatal ingin meninju Nada seandainya saja ia tak berpikir Nada hanyalah seorang wanita yang jelas tak sebanding dengannya.
Nada mengangguk dan kembali menuang tinta pada lembar kertas putih itu.
"Begitu lebih baik daripada kamu mengatakan ingin menceraikan aku karena aku bisu."
Gibran terkesiap. Reaksi Nada ternyata sangat jauh di luar dugaannya, Gibran pikir Nada akan marah atau dengan tegas menolak usulannya. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Pria itu memaku tatapannya pada sang istri dengan raut wajah heran.
'Dia bahkan sampai rela menanggung aib yang tak pernah dilakukannya hanya demi memintaku untuk tak membahas tentang kebisuannya. Apa yang sebenarnya sedang dia coba sembunyikan dariku dengan kebisuan ini?'
Dokter yang memeriksa kondisi Nada sebetulnya belum memberikan izin pada gadis itu untuk pulang ke rumah, tapi Nada terus bersikeras meminta pulang.
Setelah ada begitu banyak ketakutan serta pikiran buruk yang hinggap di kepalanya, kini kondisi Nada berangsur membaik. Ia pikir dengan berakhirnya pernikahan ini dalam jangka waktu secepat itu akan jauh lebih baik ketimbang dia dan Gibran bersama tapi saling melukai satu sama lain. Orang tuanya mungkin akan sangat tersakiti, tapi itu tak akan berlangsung lama. Semuanya akan baik-baik saja, begitu pikir Nada.
Nada keluar dari kamar mandi setelah mengganti pakaian yang diberikan Gibran untuknya tadi. Sedikit tertatih ia menghampiri laki-laki yang sedang sibuk dengan gawainya.
"Kamu sudah siap? Sekarang juga aku akan mengantarmu pulang ke rumah orang tuamu. Kuharap nanti kam ...,"
Gibran belum sempat melanjutkan ucapannya karena ketika ia menoleh, ia dibuat terkesima akan kecantikan wanita itu. Nada memang sangat cantik, harus Gibran akui itu. Sayang, dia hanyalah gadis cacat. Dan Gibran tak mau memiliki anak yang juga cacat seperti ibunya.
Nada mengeluarkan pulpen dan kertas kecil dari dalam kantong pakaiannya.
"Kamu bebas mengatakan apa pun yang kamu mau pada keluargaku nanti, tapi sekali lagi aku mohon. Tolong, jangan pernah menyinggung tentang keadaanku. Jika kamu tidak mau melakukannya demi aku, tolong lakukanlah demi rasa kemanusiaan. Terima kasih."
Gibran mendengus kesal. Ia tak suka sikap Nada yang seolah ingin menyetirnya. Dengan kasar ia mengembalikan kertas itu pada Nada.
"Ya, dan sesuai permintaanmu, maka kamu juga harus bersiap untuk menerima konsekuensinya." Gibran berlalu setelah bmenyelesaikan ucapannya.
Nada terseok mencoba mengikuti langkah Gibran sebelum ia semakin jauh tertinggal. Sepanjang perjalanan pun Gibran terus diam, sibuk dengan pikirannya sendiri. Nada melirik takut pria itu dengan ekor matanya, mencoba menebak apa yang sedang menguasai pikiran suaminya saat ini.
Hanya sehari menjadi istri Gibran, dan Nada sudah diperlihatkan dua sisi yang berbeda dalam diri pria itu. Gibran terlihat sangat penyayang di satu sisi, namun di sisi lain ia juga terlihat sangat menakutkan. Nada tersenyum getir. Apa pun yang terjadi, dia harus tetap bersyukur dengan nasibnya. Mencicipi bagaimana rasanya menjadi pengantin, menjadi istri walau dalam waktu sangat singkat. Entah anugerah atau justru bencana.
Nada kira hidupnya akan berubah setelah ia menyandang gelar menjadi istri dari seorang pria sempurna seperti Gibran. Hidup bahagia dengan anak-anak yang lucu, tapi kemudian impian itu musnah. Kenyataannya, Gibran tak sudi memiliki anak darinya dan malah hendak menceraikannya setelah ia memberikan segalanya.
"Apa kau akan tetap di situ," sentak Gibran membuyarkan lamunan Nada.
Gadis itu menyapukan pandangannya dan tersadar bahwa mereka telah tiba di rumah orang tuanya.
Gibran menaruh tangannya di antara tengkuk dan lipatan lutut Nada dan menggendongnya tanpa aba-aba. Sikap manis Gibran itu belakangan Nada ketahui bukan tanpa alasan. Lelaki itu melakukannya hanya demi menjaga sikap di depan ayahnya yang telah berdiri di ambang pintu menyambut kedatangan mereka.
'Hentikan pikiranmu sebelum menjadi semakin ngawur, Nada. Dia terus mengabaikanmu sejak semalam, jadi jangan pikir dia sudi memberikan sedikit perhatian padamu. Ini semua hanya akting, ingat itu.' Nada terus membentengi dirinya, tak akan dia biarkan ada kesempatan rasa kecewa untuk singgah di hatinya.
"Hai, Sayang. Papa sungguh sangat mencemaskanmu setelah mendengar kabar kau terluka, tapi suamimu ini sungguh sangat pengertian hingga dia bisa membuat Papa sedikit lebih tenang."
Hilman menghambur memeluk putri kesayangannya sesaat setelah Gibran mendudukkan Nada di sofa ruang tengah kediaman Hilman.
Nada mengulum senyum dan memberikan bahasa isyarat yang mengatakan jika dirinya baik-baik saja.
"Syukurlah kalau begitu, Papa sampai nggak bisa tidur semalaman karena terus memikirkanmu. Suamimu melarang Papa menjengukmu dan mengatakan akan ke sini, dan Papa sangat bersyukur untuk itu." Hilman kembali berujar. Diusapnya penuh cinta kepala gadis itu dan tak lupa dia hadiahkan beberapa kecupan di dahi putri bungsunya.
"Bagaimana kamu mendapatkan luka ini? Tidak parah kan?" Kecemasan masih belum sepenuhnya lenyap dari raut wajah pria paruh baya itu.
Nada mengangguk, dan kembali menggerakkan tangannya.
'Sialan! Jadi mereka sengaja menyembunyikan tentang kebisuan Nada dariku?' Gibran mengumpat dalam hati. Melihat bagaimana ayah mertuanya itu dapat memahami bahasa isyarat yang diberikan Nada melalui gerakan tangan yang biasa digunakan oleh penyandang tunawicara.
"Papa sungguh sangat bersyukur Nada memilikimu sebagai suaminya."
Gibran mendecih mendengar pujian Hilman. 'Nada memang sangat beruntung memilikiku, sementara aku menjadi buntung dengan memilikinya. Kesialan terbesar dalam hidupku adalah memperistri gadis bisu sepertinya. Buat apa cantik, kalau dia bisu?'
Pembicaraan mereka terjeda saat pelayan datang membawakan minuman dan juga kudapan.
"Ehm, sebenarnya ada yang ingin saya sampaikan sama Papa." Gibran berdehem memulai obrolan serius mengenai tujuannya datang ke sana.
"Silakan. Katakan saja apa yang ingin Nak Gibran sampaikan, jangan sungkan," ujar Hilman mempersilakan.
Gibran menarik napas seolah sedang mengumpulkan kekuatan sebelum dia menumpahkan semua kekecewaan yang ia pendam saat ini. Terlepas dari ketidakjujuran keluarga itu tentang kondisi Nada, mustahil Gibran bersikap tak sopan pada pria yang telah menjadi ayah mertuanya itu.
"Kedatanganku kemari sebenarnya karena ingin membahas soal ...," Gibran menggantung ucapannya, melirik Nada sekilas.
Gadis itu, entah apa yang ada di pikirannya saat ini hingga ia terlihat begitu tenang, yang jelas Gibran tak dapat meraba apa yang tengah dirasakan Nada.
"Soal apa?" Hilman membenahi letak kacamatanya menantikan kelanjutan perkataan Gibran.
Nada meremas tangannya di pangkuan. Jantungnya bekerja lebih cepat dan ketakutan demi ketakutan perlahan singgah di hatinya. Nada tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya perasaan orang tuanya saat tahu Gibran menceraikannya.
"Ini soal ...."